Ardena tidak pernah mengira dirinya akan berdiri di depan pintu mansion megah di kawasan Pondok Indah dengan gaun malam hitam pinjaman dari teman kuliahnya dan undangan palsu yang ia cetak sendiri. Tapi begitulah hidup jurnalis investigasi, kadang kau harus jadi orang lain untuk mendapat kebenaran.
Pesta malam ini adalah acara pribadi Leonard Varghese untuk merayakan kemitraan baru dengan investor dari Singapura. Tidak ada media yang diundang. Hanya kalangan elite berupa politisi, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh yang namanya sering muncul di dokumen-dokumen yang Ardena temukan minggu lalu.
Ia menunjukkan undangan palsu pada satpam di pintu, jantungnya berdebar keras. Satpam itu menatapnya sekilas, lalu mengangguk dan membuka pintu.
Terlalu mudah. Atau mungkin ia terlalu percaya diri.
Ardena melangkah masuk, disambut oleh cahaya lampu kristal yang menyilaukan dan dentingan gelas wine yang bercampur dengan tawa-tawa palsu. Ruang tamu seluas lapangan basket ini dipenuhi orang-orang dengan tuxedo dan gaun mahal yang bahkan tidak akan pernah bisa ia beli dengan gaji setahun.
Ia merasa seperti penyusup. Dan memang begitu. Tapi ia punya misi. Di suatu tempat dalam rumah ini, Leonard pasti punya ruang kerja atau kantor pribadi.
Dan di sana, mungkin ada sesuatu yang bisa menghubungkan dokumen-dokumen anonim itu langsung kepadanya. Sesuatu yang konkret. Sesuatu yang tidak bisa ia sangkal.
Ardena mengambil gelas champagne dari nampan pelayan yang lewat, tidak untuk diminum, tapi sebagai properti supaya tidak terlihat mencurigakan. Ia berjalan perlahan menyusuri tepi ruangan, mengamati setiap pintu, setiap lorong, mencari celah untuk menyelinap.
"Sendirian?"
Suara itu membuat Ardena hampir menjatuhkan gelasnya. Ia menoleh dan melihat seorang pria paruh baya dengan kumis tipis dan setelan abu-abu berdiri di sampingnya.
Wajahnya familiar—salah satu nama di dokumen. Komisaris di perusahaan tambang yang terhubung dengan Varghese Group.
"Oh, tidak," jawab Ardena dengan senyum yang ia paksa keluar. "Teman saya ke toilet."
Pria itu mengangguk, tapi tatapannya tidak lepas dari Ardena. "Wajah Anda tidak familiar. Anda investor baru?"
Ardena merasakan keringat dingin mulai muncul di tengkuknya. "Hanya teman dari teman. Diajak sekalian."
"Hmm." Pria itu masih menatapnya dengan curiga. "Siapa teman Anda?"
Sebelum Ardena sempat menjawab, suara lain memotong percakapan mereka.
"Dia teman saya."
Ardena menoleh, dan jantungnya hampir berhenti. Leonard Varghese berdiri di sana, dengan tuxedo hitam sempurna dan senyum yang tidak mencapai matanya.
Ia memegang gelas whiskey dengan satu tangan, sementara tangan lainnya ia masukkan ke saku celananya dengan santai. Tapi ada sesuatu di tatapannya—sesuatu yang membuat Ardena merasa seperti sedang dipelajari, dibedah, dilihat sampai ke tulang-belulangnya.
"Oh, Leonard!" Pria paruh baya itu langsung tersenyum lebar. "Maaf, saya tidak tahu. Saya hanya—"
"Tidak apa-apa, Pak Gunawan," potong Leonard halus. "Silakan nikmati pestanya."
Pak Gunawan mengangguk cepat, lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Ardena berdiri di sana, otaknya bekerja cepat mencari alasan, mencari cara kabur, mencari—
"Ardena Callista," kata Leonard pelan, tapi suaranya terdengar seperti guntur di tengah keheningan.
"Wartawan dari Jurnalis Terbit. Anda berani juga datang ke sini."
Ardena menelan ludah. Tidak ada gunanya berbohong sekarang. "Saya—"
"Ikut saya."
Leonard berbalik dan berjalan menuju lorong di sisi ruangan. Bukan permintaan. Perintah.
Ardena tahu ini bodoh. Tahu ini berbahaya. Tapi kakinya bergerak mengikuti pria itu seolah punya kehendak sendiri.
Mereka melewati beberapa ruangan—perpustakaan pribadi dengan rak-rak buku tinggi, ruang biliar yang sepi, sampai akhirnya Leonard berhenti di sebuah balkon luas yang menghadap ke taman belakang mansion. Udara malam terasa dingin di kulit Ardena, tapi yang membuatnya bergidik bukan angin—melainkan tatapan Leonard yang sekarang fokus sepenuhnya padanya.
"Anda pikir saya tidak tahu Anda masuk dengan undangan palsu?" tanya Leonard, suaranya tenang tapi ada ancaman tersembunyi di sana.
Ardena mengangkat dagu, memaksa dirinya tidak terlihat takut. "Kalau Anda tahu, kenapa membiarkan saya masuk?"
Leonard tersenyum tipis. "Karena saya penasaran. Apa yang membuat seorang jurnalis dari media kecil nekat sampai segini? Apa yang Anda cari, Ms. Callista?"
"Kebenaran," jawab Ardena cepat. Terlalu cepat.
Leonard tertawa pelan—tawa yang tidak ada kehangatan di dalamnya. "Kebenaran. Kata favorit orang-orang yang pikir dunia itu hitam putih."
"Bukankah memang begitu?" tantang Ardena. "Benar atau salah. Jujur atau bohong. Bersih atau kotor."
"Naif," kata Leonard sambil melangkah lebih dekat.
Jarak di antara mereka sekarang hanya sejengkal. Ardena bisa mencium aroma cologne mahal yang ia pakai—woody, maskulin, berbahaya.
"Dunia tidak sesederhana itu. Dan Anda tahu itu. Kalau tidak, Anda tidak akan datang ke sini dengan undangan palsu."
Ardena menatapnya tajam. "Saya tidak seperti orang-orang di dalam sana yang berpura-pura bersih sambil mengisi kantong dengan uang haram."
"Uang haram," ulang Leonard dengan nada mengejek.
"Siapa yang menentukan mana yang haram dan mana yang tidak?"
"Pemerintah yang sama yang ambil suap? Media yang sama yang dibeli sponsor? Atau Anda, wartawan muda yang pikir punya moral lebih tinggi dari orang lain?"
Kata-katanya seperti tamparan. Tapi Ardena tidak mundur. "Setidaknya saya tidak membunuh orang untuk menutupi korupsi."
Keheningan.
Leonard tidak menjawab. Tapi ada sesuatu yang berubah di matanya—kilatan gelap yang membuat Ardena tiba-tiba merasa sangat kecil, sangat rentan.
"Hati-hati dengan tuduhan tanpa bukti, Ms. Callista," kata Leonard pelan, tapi ancamannya sangat jelas. "Itu bisa menjadi masalah hukum yang sangat serius."
"Saya punya bukti," balas Ardena, meskipun hatinya berteriak untuk diam.
Leonard menatapnya lama. Terlalu lama. Seolah ia sedang menimbang sesuatu di kepalanya. Lalu, ia tersenyum—tapi bukan senyum ramah yang ia pasang di depan investor. Ini senyum yang berbeda. Senyum yang membuat bulu kuduk Ardena berdiri.
"Tunjukkan kalau berani," bisik Leonard, wajahnya sekarang sangat dekat dengan Ardena sampai ia bisa merasakan napasnya.
"Publish artikelmu. Buat seluruh dunia tahu. Kita lihat siapa yang akan percaya."
Ardena merasa napasnya sesak. Bukan karena takut. Tapi karena ada sesuatu di mata pria ini—sesuatu yang gelap, berbahaya, tapi juga... menarik. Seperti jurang yang memanggilmu untuk melompat meskipun kau tahu di bawah sana hanya kehancuran.
"Kenapa Anda tidak mengeluarkan saya?" tanya Ardena, suaranya lebih lemah dari yang ia inginkan.
Leonard diam sejenak, tatapannya turun sekilas ke bibir Ardena sebelum kembali ke matanya. "Karena Anda menarik."
Jantung Ardena berdetak dua kali lebih cepat.
"Bukan banyak orang berani menentang saya," lanjut Leonard, suaranya seperti beludru hitam.
"Apalagi dengan cara senekat ini. Anda bodoh, Ms. Callista. Tapi jenis kebodohan yang... menggugah."
Ardena merasa seharusnya ia mundur. Seharusnya ia menampar pria ini dan pergi. Tapi kakinya tidak bergerak. Matanya terkunci pada mata Leonard yang gelap dan berbahaya itu.
"Saya tidak takut pada Anda," kata Ardena, meskipun itu setengah bohong.
"Saya tahu," jawab Leonard dengan senyum tipis. "Dan itu yang membuat Anda berbahaya."
Ia mengangkat tangannya—perlahan, terkontrol—dan jari-jarinya menyentuh pergelangan tangan Ardena yang memegang gelas champagne. Sentuhannya ringan, hampir tidak terasa, tapi cukup untuk membuat listrik menjalar ke seluruh tubuh Ardena.
"Tapi berbahaya bukan berarti tidak bisa dihancurkan," bisik Leonard, jemarinya masih menyentuh kulit Ardena dengan tekanan yang sangat halus.
"Ingat itu."
Lalu ia melepaskan tangannya dan mundur selangkah, menciptakan jarak yang tiba-tiba terasa terlalu lebar.
"Nikmati pestanya, Ms. Callista," kata Leonard dengan nada formal kembali, seolah percakapan intim mereka tidak pernah terjadi.
"Tapi jangan terlalu lama. Tamu yang tidak diundang sebaiknya tahu kapan harus pergi."
Ia berbalik dan berjalan kembali ke dalam mansion, meninggalkan Ardena berdiri sendirian di balkon dengan jantung yang masih berdetak kacau. Ardena menatap pergelangan tangannya—tempat jari Leonard menyentuh tadi. Kulitnya masih terasa hangat. Masih terasa... hidup.
Ia seharusnya merasa terancam. Seharusnya merasa marah. Tapi yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari itu.
Ketertarikan.
Bukan ketertarikan romantis seperti di film-film. Tapi ketertarikan yang gelap, yang berbahaya, yang membuatmu ingin lebih dekat meskipun kau tahu itu akan menghancurkanmu.
Ardena menarik napas panjang, memaksa dirinya fokus. Ia datang ke sini untuk mencari bukti. Bukan untuk... ini. Apapun ini.
Ia berbalik dan berjalan kembali ke dalam mansion, menyelinap di antara tamu-tamu yang masih sibuk berbasa-basi. Ia harus keluar. Sekarang. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
Tapi saat ia melewati pintu besar menuju keluar, Ardena merasakan tatapan seseorang di punggungnya. Ia menoleh sekilas dan melihat Leonard berdiri di ujung ruangan, gelas whiskey masih di tangannya, matanya terkunci pada Ardena.
Tidak ada senyum. Tidak ada ekspresi.
Hanya tatapan yang mengatakan: Aku tahu siapa kamu. Aku tahu apa yang kamu cari. Dan aku membiarkanmu pergi... untuk sekarang.
Ardena keluar dari mansion dengan napas yang masih belum teratur. Udara malam terasa dingin di kulitnya, tapi yang membuatnya menggigil bukan suhu—melainkan kesadaran bahwa ia baru saja masuk ke dalam permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.
Dan yang lebih menakutkan lagi adalah... sebagian dirinya ingin kembali.
Ingin menatap mata gelap itu lagi.
Ingin merasakan sentuhan jari-jari itu lagi.
Ingin tahu apa yang sebenarnya bersembunyi di balik topeng Leonard Varghese.
Tapi ia tahu—jika ia terlalu dekat, ia tidak akan selamat.
Pertanyaannya adalah: apakah ia peduli?