2. Gadis yang Mengejar Kebenaran

1250 Words
Ardena Callista tidak pernah suka acara seperti ini. Ruangan penuh orang-orang yang berpura-pura peduli pada "masa depan" sambil menghitung berapa banyak uang yang bisa mereka peras dari rakyat kecil. Lampu kristal yang terlalu terang. Wine mahal yang rasanya tidak jauh beda dengan yang dijual di minimarket. Dan tentu saja, pidato-pidato inspiratif dari orang-orang yang hidupnya jauh dari kata "menginspirasi." Tapi ia tetap datang. Karena pekerjaannya bukan tentang kenyamanan. Ia berdiri di pojok belakang ballroom Hotel Grandeur, memegang gelas mineral water yang bahkan tidak ia sentuh, mata tajamnya mengamati setiap gerak-gerik Leonard Varghese di podium. Pria itu berbicara dengan percaya diri yang mengesalkan karena terlalu halus, terlalu tenang, terlalu... sempurna. "Varghese Corp bukan hanya tentang profit," kata Leonard dengan senyum yang Ardena yakin sudah ia praktikkan di depan cermin berkali-kali. "Kami tentang membangun masa depan..." Ardena hampir mendengus. Membangun masa depan. Klise yang sama dipakai oleh semua orang kaya untuk menutupi kenyataan bahwa mereka hanya peduli pada satu hal: kekuasaan. Ia membuka ponselnya, membuka catatan digital yang sudah ia susun selama enam bulan terakhir. Nama-nama. Tanggal. Transaksi mencurigakan yang melibatkan perusahaan-perusahaan di bawah naungan Varghese Group. Semuanya terhubung seperti jaring laba-laba yang rumit, dan di tengahnya selalu ada satu nama: Leonard Varghese. Lima tahun lalu, ayahnya—Aryanto Callista—ditemukan mati di kantornya. Kasus ditutup sebagai bunuh diri. Depresi, kata mereka. Tekanan pekerjaan. Tapi Ardena tahu ayahnya bukan tipe orang yang menyerah. Ia sedang menyelidiki sesuatu. Sesuatu yang besar. Dan tiga hari sebelum kematiannya, ia menelepon Ardena dengan suara tegang, berbisik bahwa ia menemukan bukti korupsi besar-besaran yang melibatkan "orang-orang di atas." Lalu ia mati. Dan semua bukti menghilang. Ardena menghabiskan lima tahun terakhir mencari-cari jejak yang ditinggalkan ayahnya. Ia belajar menjadi jurnalis bukan karena passion, tapi karena itu satu-satunya cara untuk menggali kebenaran tanpa dianggap mencurigakan. Ia bekerja di surat kabar independen kecil, Jurnalis Terbit, yang masih punya nyali untuk menyelidiki hal-hal yang media besar tidak berani sentuh. Dan semua petunjuk berupa semua transaksi mencurigakan, semua nama yang terlibat, semua uang yang mengalir di belakang layar mengarah pada satu tempat: Varghese Group. Tapi bukan Leonard yang ia curigai. Setidaknya, bukan pada awalnya. Leonard Varghese terlalu bersih. Terlalu sempurna. Profilnya di media seperti dongeng modern: anak muda brilian yang membangun kerajaan bisnis dari nol, filantropis yang peduli lingkungan, pemimpin yang visioner. Tidak ada skandal. Tidak ada gossip. Bahkan hidupnya yang pribadi seperti dikurasi oleh PR profesional. Tapi justru itu yang membuat Ardena curiga. Tidak ada orang yang sebersih itu. Tidak di dunia bisnis. Tidak di Ardencia. Ia mulai menggali lebih dalam menelusuri jejak-jejak kecil yang orang lain abaikan. Sebuah transaksi aneh di perusahaan konstruksi. Aliran dana gelap yang muncul di laporan keuangan perusahaan tambang. Nama-nama perantara yang tiba-tiba menghilang setelah proyek selesai. Dan semakin dalam ia menggali, semakin banyak ia menemukan pola. Pola yang sama dengan kasus yang sedang diselidiki ayahnya lima tahun lalu. Tepuk tangan menggema di ruangan, memaksa Ardena kembali ke kenyataan. Leonard turun dari podium, berjabat tangan dengan para investor yang mengerumuninya seperti lebah ke madu. Ardena memperhatikannya dari kejauhan untuk melihat cara ia tersenyum, cara ia mengangguk, cara ia berbicara dengan orang-orang itu seolah mereka adalah teman lamanya. Semuanya kalkulasi. Semuanya terkontrol. Ardena menarik napas panjang. Ia harus lebih dekat. Harus bicara dengannya. Atau setidaknya, mendapat akses ke orang-orang yang ada di lingkaran dalamnya. Ia melangkah maju, menyusuri tepi ruangan, menghindari para pelayan yang lalu-lalang dengan nampan wine dan canapé yang tidak akan ia makan. Ia bukan tipe orang yang nyaman di acara seperti ini—di tengah orang-orang dengan jas mahal dan pembicaraan kosong tentang investasi dan return on investment. "Ardena Callista?" Suara itu membuatnya berhenti. Ia menoleh dan melihat seorang pria muda dengan kacamata tipis dan senyum ramah berdiri di sampingnya. "Daniel Kusuma," kata pria itu, mengulurkan tangan. "Saya investor di Varghese Group. Anda dari media, kan? Saya lihat Anda mencatat sesuatu tadi." Ardena menjabat tangannya dengan senyum profesional. "Jurnalis dari Jurnalis Terbit. Saya sedang meliput acara ini." "Oh, media independen," Daniel mengangguk-angguk. "Jarang lihat wartawan dari media kecil datang ke acara seperti ini. Biasanya yang hadir media besar yang sudah punya 'akses,' kalau Anda tahu maksud saya." Ardena tahu persis apa maksudnya. Media besar yang sudah dibayar untuk menulis artikel manis tentang perusahaan-perusahaan seperti Varghese Corp. Media yang tidak akan pernah menggali terlalu dalam karena takut kehilangan sponsor. "Saya suka cerita yang lebih... substansial," jawab Ardena diplomatis. Daniel tertawa kecil. "Hati-hati. Orang yang terlalu suka menggali cerita kadang menemukan hal-hal yang tidak seharusnya mereka temukan." Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu di balik kalimat itu yang membuat Ardena merasa tidak nyaman. Ia memaksakan senyum. "Itu risiko pekerjaan." Sebelum Daniel bisa menjawab, perhatian Ardena teralihkan oleh gerakan di seberang ruangan. Leonard Varghese berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan kerumunan investor yang masih sibuk mengobrol. Ini kesempatannya. "Permisi," kata Ardena cepat pada Daniel, lalu melangkah pergi sebelum pria itu sempat merespons. Ia mengikuti Leonard dari jarak aman, melewati lorong hotel yang sepi. Pria itu berjalan dengan langkah tenang, tangan di saku celananya, seolah tidak ada beban di pundaknya. Ardena mempercepat langkah, mencoba mendekat. "Mr. Varghese!" Leonard berhenti. Perlahan, ia menoleh. Dan untuk pertama kalinya, Ardena melihat wajahnya dari jarak dekat. Matanya gelap. Tajam. Seperti pisau yang tersembunyi di balik selubung sutra. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang tidak cocok dengan senyum ramah yang selalu ia pasang di depan kamera. Sesuatu yang dingin. "Ya?" suaranya sopan, tapi ada jarak di sana. Jarak yang sengaja dibuat. Ardena menarik napas, memaksa dirinya tetap tenang. "Ardena Callista, dari Jurnalis Terbit. Saya ingin meminta waktu untuk wawancara singkat tentang proyek teknologi hijau Anda." Leonard menatapnya sejenak—terlalu lama, terlalu intens, seolah ia sedang membaca setiap pikiran di balik tatapan Ardena. Lalu, ia tersenyum. Tapi senyumnya tidak mencapai matanya. "Saya tidak memberikan wawancara tanpa perjanjian sebelumnya. Hubungi PR saya." Jawaban standar. Jawaban yang sudah ia siapkan untuk wartawan-wartawan seperti Ardena. "Saya hanya perlu lima menit," desak Ardena, tidak mau menyerah begitu saja. "Ini tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Tentang bagaimana Varghese Group berkontribusi pada—" "Saya tahu apa yang Anda cari, Ms. Callista." Kalimat itu membuat Ardena terdiam. Nadanya berubah lebih tajam, lebih dingin. Tidak ada lagi kesopanan di sana. Hanya peringatan. Leonard melangkah lebih dekat, dan Ardena merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena takut. Tapi karena ada sesuatu di mata pria itu—sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang tersembunyi di balik topeng sempurna yang ia kenakan. "Anda tidak seperti wartawan lain," lanjut Leonard pelan. "Mereka datang ke sini untuk menulis pujian. Anda datang untuk menggali." Ardena mengangkat dagu, tidak ingin menunjukkan bahwa ia terganggu. "Bukankah itu tugas jurnalis yang baik?" Leonard tersenyum lagi tapi kali ini, senyumnya berbeda. Ada sesuatu yang gelap di sana. Sesuatu yang membuat Ardena merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang. "Hati-hati, Ms. Callista," bisiknya, hampir tidak terdengar. "Kadang-kadang, orang yang terlalu penasaran... menemukan hal-hal yang membuat mereka menyesal." Lalu ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Ardena berdiri sendirian di lorong yang sunyi. Tapi ada satu hal yang tidak bisa ia lupakan. Sesaat sebelum Leonard berbalik, tatapan mereka bertemu. Dan di mata pria itu—di balik semua dingin dan kalkulasi—Ardena melihat sesuatu yang tidak ia sangka. Ketertarikan. Bukan ketertarikan romantis. Bukan juga ketertarikan biasa. Tapi ketertarikan seorang predator yang menemukan mangsa yang tidak biasa. Ardena berdiri di sana, menonton punggung Leonard menghilang di balik pintu lift. Jantungnya masih berdetak cepat, tangannya sedikit gemetar—tapi bukan karena takut. Karena ia tahu. Ia baru saja memasuki permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira. Dan tidak ada jalan mundur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD