EMPAT

1206 Words
"Lo disuruh nyiapin ruangan meeting? Nggak salah tuh, Pak Bos Ganteng?" tanya Ayu heboh, ketika aku bilang akan ke ruangan meeting untuk memastikan jika ruangan ready untuk digunakan, mengecek kebersihan serta menyiapkan proyektor semisal dibutuhkan nantinya. Kalau belum rapih, aku akan meminta OB untuk membersihkan terlebih dahulu. Aku mengedikkan bahu. "Maya lagi banyak kerjaan emang?" "Enggak juga." Aku memang bertanya pada Maya setelah keluar dari ruangan CEO. Tapi Maya bilang, dia malah agak santai hari ini. Tak begitu banyak yang akan dikerjakannya. "Wah, tanda tanya nih!" Ayu menatapku dengan mata menyipit. "Lo pernah bikin kesalahan nggak? Pak Bos jadi kesel gitu, sama lo?". Aku merasa tak melakukan kesalahan apa pun semenjak Ervan menjadi bos kami. Hanya pada hari pertama dia bekerja saja, aku yang menawarinya untuk makan siang bersama. Sejak hari itu, aku belum berani lagi untuk mendekat padanya. Apa Ervan marah padaku kejadian di hari pertamanya kerja hari itu, lalu balas dendam padaku? Tapi masa, sih? Itu sudah agak lama, hampir 1 bulan yang lalu. Lagi pula, bukannya Ervan bilang padaku untuk tidak mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan? "Mana ada! Gue aja nggak ada interaksi sama dia." "Heran gue. Tiba-tiba aja gitu dia nyuruh elo, sementara sekretarisnya malah duduk santai." "Entahlah." Sebelum pergi ke ruang meeting yang berada di sebelah kanan lift, aku bertanya satu hal kepada Lily yang mengganjal pikiranku sejak keluar dari ruang Ervan beberapa menit yang lalu. "Ly?" "Paan?" tanya Lily tanpa menoleh. "Menurut lo, pakaian yang gue pake sekarang ada yang salah nggak?" Mengingat kata Ervan, aku merasa tak ada yang salah dengan penampilan. Aku sudah terbiasa ke kantor menggunakan kemeja dengan rok span sebagai bawahannya atau dress yang dilapisi dengan outer berkerah. Aku memang jarang menggunakan celana panjang. Penampilan seperti ini juga untuk menunjang posisiku sebagai seorang senior business development. Lily menoleh dan memperhatikan penampilanku dari atas hingga ke ujung kaki. "Nggak ada yang salah. Cantik kayak biasa. Emang kenapa nanya gitu?" "Nanya doang, sih." Aku menyengir. "Tapi Ly, lo pernah ditegur sama Pak Bos nggak?" "Pak Bos yang mana nih?" "Pak Ervan." "Oh, Pak Bos Ganteng. Belum pernah tuh. Kenapa emang? Tadi lo ditegur?" "Enggak, sih." Berarti Ervan cuma menegur cara berpakaian saja, tidak dengan Lily. Padahal, penampilan Lily jauh lebih 'wow' dari padaku. Rok yang dikenakannya kadang bisa beberapa jengkal di atas lutut. Tak jarang dia menggunakan dress seksi yang bukan hanya di atas lutut, tapi juga ada belahannya. Aku heran, dia itu mau kerja atau pamer tubuh? Selama ini tak ada teguran dari CEO kami sebelumnya tentang apa pun yang kami gunakan ke kantor. Yang penting kerjaan lancar, profesional dan attitude baik. Lily memang kerap kali tampil seksi ke kantor, namun dia pernah bilang kalau tujuannya bukan untuk menggoda kaum adam. Dia hanya merasa senang dengan apa yang dikenakannya. *** Pak Hendry bertemu klien tak jauh dari kantor, sehingga sebelum pukul 10 pagi dia sudah bisa berada di kantor. Ini kali keduanya aku terlibat meeting bersama Ervan dalam bulan ini sejak dia menjabat sebagai CEO baru. Yang pertama adalah meeting semua divisi, namun hanya beberapa orang yang penting saja yang hadir. Perwakilan dari masing-masing divisi adalah tiga orang. Dari divisiku sendiri, aku hadir bersama Pak Hendry dan Lily. Meeting itu sekaligus momen Ervan memperkenalkan dirinya secara pribadi. Tentu saja semua perempuan yang hadir di ruangan itu dibuat terpesona dengan penampilan dan kharismanya. "Sering-sering aja meeting sama Pak Bos begini. Lumayan, bisa cuci mata," ujar Ayu yang duduk di sampingku persis. Aku memutar bola mataku. Ervan berdehem di ujung kursi sana dengan matanya yang mengarah tajam padaku. Hanya sesaat, kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Gila, An, barusan dia ngeliatin gue! Gue nggak lagi mimpi, 'kan?" Ayu mengguncang lenganku pelan. "Lagi meeting, Yu. Lagi meeting," ujarku mengingatkan tanpa melirik ke arahnya. Ayu ini paling berisik di divisi kami. Paling heboh kalau menyangkut Ervan. Bukannya yang lain tidak, semua begitu. Tapi Ayu yang paling parah. Dan tingkat percaya diri dia itu tak jauh berbeda dengan Lily. Hanya saja, Lily menang karena lebih cantik dari pada Ayu. Ayu ini tampak biasa saja, namun terbantu karena sapuan make up. Meeting sudah dimulai dengan Ervan yang bertanya lebih dulu kepada Pak Hendry tentang kinerja divisi kami dan marketing plan. Menyusul dengan target pasar marketing yang kami gunakan. Pak Hendry membuka slide presentasi tentang marketing plan dan menjelaskan secara rinci kepada Ervan. Ervan tampak memgangguk-angguk paham, sesekali bertanya yang dijawab dengan lancar oleh Pak Hendry. Kepala divisi kami yang juga merupakan marketing manager tersebut, memang cerdas. Di usia 35 tahun, Pak Hendry tampil cekatan di berbagai kesempatan. Aku sering ikut bertemu klien bersamanya. Dari dia juga lah aku banyak belajar selama ini. Tipe pemimpin yang tak pelit ilmu dan juga terkenal ramah. Idola banyak perempuan juga, sayangnya dia telah mempunyai seorang istri dan anak. Ervan dan kami semua bertepuk tangan setelah Pak Hendry menyudahi presentasinya. "Saya percaya sama Pak Hendry. Bapak memang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya," ujar Ervan memuji. "Tapi, bisa kah saya meminta salah seorang dari bawahan Bapak untuk mempresentasikan seperti marketing plan barusan? Saya juga ingin tahu bagaimana cara tim Bapak meyakinkan klien di luar sana." "Oh, tentu saja bisa, Pak," jawab Pak Hendry cepat. Kemudian dia menoleh padaku. "Anita, coba kamu yang maju!" "Sa-saya, Pak?" "Iya." Aku mendadak gugup. Aku memang sudah biasa berbicara panjang lebar di depan klien, mempresentasikan sebuah proposal dan lain-lain. Tapi, di depan Ervan? Apa aku bisa? Melihat tatapan tak dinginnya saja, aku langsung kincep. Walau ragu, aku tetap berdiri setelah menyambungkan slide presentasi yang berada di laptopku dengan proyektor. "Anita ini adalah yang terbaik dari tim kami, Pak," ujar Pak Hendry kepada Ervan. "Oh, ya? Saya jadi penasaran lihat gimana cara dia presentasi." Walau sempat gugup, aku bersyukur bisa lancar menjelaskan setiap slide presentasi yang ditampilkan di pantulan proyektor. Beberapa pertanyaan yang ditujukan Ervan juga dapat kujawab dengan baik. Namun, di akhir presentasi ada pertanyaan Ervan yang agak sulit bagiku. Aku tetap bisa menjawabnya, namun sedikit terbata. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana tatapan remeh yang ditunjukkan Ervan padaku. Seolah mengejek bahwa aku tidak layak dibanggakan oleh Pak Hendry. "Bagaimana, Pak?" tanya Pak Hendry kepada Ervan setelah aku duduk kembali. "Lumayan, tapi lebih ditingkatkan lagi supaya lebih ke depannya." Ervan beralih padaku. "Itu tadi kamu sendiri yang slide presentasinya?" "Iya, Pak." "Overall, isi presentasi kamu bagus. Tapi, menurut saya tampilan slide-nya tidak menarik. Kamu tidak kreatif dalam memilih background dan beberapa design di sana." "Mohon maaf, Pak. Nanti saya akan perbaiki lagi." Ervan tersenyum sinis. "Kamu pernah pake ini buat presentasi kepada klien?" Aku mengangguk. "Memalukan," ejeknya membuat semua orang yang ada di sana terkejut mendengar kata yang keluar dari mulut Ervan. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menangis di tempat ini. Aku memang agak sensitif, gampang menangis jika ada yang membuatku merasa sedih. "Yang penting isinya bagus, Pak. Dan saya juga bisa meyakinkan klien agar mereka tertarik untuk join bersama kita." Aku memberanikan diri untuk menjawab. "Bisa aja kliennya tertarik bukan karena presentasi kamu. Tapi karena tampang kamu yang menjual." Oh Tuhan. Kenapa Ervan mulutnya begitu pedas? Dulu dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu. Ervan menyorot kembali penampilanku. Maksudnya apa? Aku seperti tidak mengenal Ervan yang sekarang. Ke mana perginya Ervan yang dulu? Apa yang membuat Ervan berubah menjadi begitu dingin dan tampak arrogant dimataku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD