3. Pesantren

1323 Words
Jangan mudah menyerah, tetaplah berusaha. Percayalah, Allah telah merencanakan sesuatu yang terbaik untukmu. -ALYA- *** ALYA membuka mungkenah yang ia kenakan, lalu melipat dan menyimpan di lemari. Alya berbalik dan betapa terkejutnya dia melihat Bundanya yang sudah duduk di tempat tidur sambil memperhatikannya lekat. "Astaghfirullah, Bunda ngageti aja, ih," ucap Alya sembari mengambil hijabnya yang tadi ia letakkan di tempat tidur lalu memakainya. "Khusyu banget sholatnya sampek Bunda masuk kamu gak tau," ucap bundanya sambil terkekeh kecil. Alya juga ikut terkekeh. Ia duduk tepat di sebelah bunda. "Ada apa, Bun? Kok sampai nyusul, Alya?" tanya Alya. Bunda tersenyum, lalu mengusap lembut puncak kepala Alya. "Kamu ada masalah?" tanya bunda setelahnya. Alya terdiam sejenak. Ia tahu baik Bunda, Ayah, maupun Abangnya selalu sadar akan perubahan yang terjadi pada dirinya. Sekalipun perubahan itu sekecil biji zarah. "Emm, Alya gak papa kok, Bun," jawabnya. Bundanya tersenyum lagi, "Jangan bohong, sayang," ucap bunda lagi namun lebih lembut. Alya luluh. Inilah kelemahan Alya, ia sama sekali tidak bisa berbohong baik itu pada keluarga maupun orang lain. Alya menarik napas pelan lalu membuangnya. "Emm, Bun," panggil Alya pelan. "Iya, sayang?" "Bun, kalau Alya minta pindah sekolah boleh, gak?" tanyanya sedikit gugup. "Kenapa? Kamu ada masalah di sekolah?" tanya bunda khwatir. Alya menggeleng pelan. "Enggak, Bun. Alya cuma pengen pindah ke pesantren, Alya mau lebih mendalami tentang islam di sana," ucapnya. Memang ini adalah kesalahan Alya. Dulu, sewaktu Alya tamat SMP, ia meminta untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah yang ada di Bogor, Dan keluarganya menyetujui bahkan sangat mendukung justru ayah Alya menawarkannya untuk masuk pesantren tapi sayangnya Alya menolak lantaran ia tidak bisa jauh dari keluarga. Dan jadilah ia melanjutkan SMA di Madrasah Aliyah Negeri yang ada di Bogor. Sayangnya, Alya harus pindah tepat saat ia kelas XI, di karenakan ayahnya yang di pindahkan tugas. Alya yang berasal dari sekolah Madrasah, sebenarnya ingin melanjutkan sekolah di Madrasah yang ada di Jakarta tempatnya saat ini. Tapi, jarak antara rumah dan madrasah tersebut sangatlah jauh hanya SMA CADIKA lah yang dekat. Dan, dengan sangat terpaksa Alya memilih SMA tersebut. "Sayang, bukanya bunda gak ngijini kamu untuk masuk pesantren. Tapi, ingat kamu udah kelas XII dan waktu kamu bersekolah tinggal beberapa bulan lagi. Kan, sayang kalau kamu pindah lagi pula bakalan sulit nantinya." jelas bundanya. Ia menggenggam tangan Alya seolah memberi kekuatan. Sementara, Alya hanya diam menatap bundanya tanpa berkedip. "Kalau memang kamu mau masuk pesantren lebih baik setelah lulus SMA saja ya, sayang. Bunda, Ayah, dan Bang Ilham akan mendukung kamu seratus persen. Percaya sama bunda." lanjut bundanya lagi, ia memeluk Alya lalu mencium kening putri kesayangannya itu. Ia tahu Alya sedang ada masalah. Dan sebagai seorang ibu, ia haruslah memberi dukungan kepada putrinya agar Alya tidak merasa sendiri. Karena, keluarganya akan selalu bersama dan mendukung apapun kemauan Alya selama hal itu masih berada di jalan Allah. "Makasih, Bunda. Alya sayang bunda," ucap Alya sambil mengecup punggung tangan bundanya lalu berlanjut ke pipi. Bunda Alya tersenyum, "Udah, yuk makan. Kasihan abang nunggui di bawah, sendirian lagi." ajak bundanya. "Loh, bunda sama abang belum makan?" Bunda menggeleng sambil tersenyum, "Abang kamu gak mau makan kalau gak ada kamu. Makanya dia suruh bunda jemput kamu ke kamar," jawab bundanya di sertai kekehan kecil. Alya tertawa, "Dasar abang manja." ucapnya. Keduanya segera turun untuk makan bersama, Alya sudah tidak tahan ingin mengejek abangnya yang kelewat manja itu. "Kan Alya udah bilang Abang sama Bunda makan duluan aja," ucapnya setelah sampai di ruang makan. Ia menarik bangku yang berada tepat di sebelah abangnya lalu duduk di sana. "Mana enak makan cuma berdua, mana ayah belum pulang lagi. Kan, Bun?" "Halah bilang aja Abang manja. Abang kan nggak bisa makan sebelum Alya yang ambilin," ledek Alya. Ia mengambil piring lalu meletakkan nasi dan kemudian di berikan untuk bang Ilham. "Terima kasih adekku sayang." Bunda hanya terkekeh pelan melihat kelakuan kedua anaknya itu. Ia sangat bersyukur memiliki putra dan putri yang sangat akur seperti ini. Ia berharap keharmonisan keluarganya akan terus berlangsung sampai kapan pun, bahkan ketika dirinya sudah tidak bersama mereka lagi. *** Zikri mengacak rambunya frustasi. Bosan. Itulah yang di rasakannya saat ini. Rumah yang terbilang mewah, di penuhi barang-barang mahal tampak tak berharga di matanya. Ia tak perlu barang-barang mewah seperti itu yang ia perlukan adalah keluarganya. Itu saja. Selama hampir 18 tahun ia hidup, tak pernah dalam seminggu full orang tuanya berada di rumah, mereka selalu sibuk dengan kerjaan bahkan seolah lupa bahwa mereka masih mempunyai seorang anak yang butuh kasih sayang dari orang tua. Bahkan ketika kedua orang tuanya dirumah, mereka malah sibuk dengan ponsel masing-masing bahkan terkadang masih memikirkan pekerjaan. Jika situasinya seperti itu Zikri tak bisa apa-apa, ia lebih memilih pergi dari rumah hanya sekedar nongkrong bersama teman-temannya atau pergi ke rumah Gina untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Sampai sejauh ini hanya itu yang bisa meredakan segala kekesalan di dirinya, nggak ada yang lain. Zikri mengambil handphone yang ada di nakas, ia membuka sebuah aplikasi chat berwarna hijau, mencari kontak siapa pun yang bisa menghiburnya. Sialnya, tak ada yang berhasil menarik perhatiannya. 102 kontak cewek di simpannya tapi tak ada satu pun yang berhasil menarik perhatiannya. Lalu ia mengambil sebuah rokok yang di simpannya di lemari buku, namun matanya tak sengaja melihat sebuah kertas berwarna biru bergambarkan karakter doraemon. Rokok yang tadi berada di tangannya kini kembali di letakkan di meja. Ketimbang merokok, ia lebih tertarik membaca tiap kalimat yang ada di kertas itu. Zikri mulai membuka kertas tersebut, sebuah senyum tercetak di bibirnya ketika membaca kalimat pertama dari kertas itu. *Untukmu, Jodohku di Masa Depan.  Percayalah, aku menulis ini di sunyinya malam, bersama rintik hujan dari luar jendela kamar yang terdengar sangat merdu menemani malamku yang sunyi. Aku tahu, mungkin kau tidak membacanya, tapi yasudah lah aku juga tidak perduli toh, aku hanya menuliskan segala hal yang memenuhi pikiranku.* Lagi-lagi Zikri tersenyum membaca surat itu. Dritt Suara ponsel yang berada di tempat tidur, membuat perhatiannya teralihkan. Zikri bergerak mengambil ponselnya, lalu mangangkat sebuah panggilan di sana. "Hallo." ucap Zikri mengawali percakapan. " ... " "Lo kenapa lagi?" " ... " "Sekarang lo dimana?" " ... " "Yaudah, tunggu gue di sana. Jangan kemana-mana sebelum gue sampai." Zikri memutuskan panggilan secara sepihak. Kertas yang tadi masih ada di tangannya, lantas ia simpan di tumpukkan buku. Tangannya mengambil asal jaket dari lemari tak lupa ia mengmbil kunci motornya. Setelah itu ia langsung keluar dari kamar berharap cepat sampai ke tempat yang di tuju. Ia membawa motor dengan kecepatan di atas rata-rata, pikirannya mendadak jadi cemas. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu-- yang tadi menelponnya, tetapi yang pasti saat ini ia harus segera sampai. Jalanan ibu kota tampak ramai, rintik-rintik dari langit mulai turun membasahi bumi. Zikri berusaha agar bisa secepatnya sampai ke tempat yang di tuju, ia tidak perduli tatapan marah beberapa pengendara lain yang melihatnya kebut-kebutan di jalanan umum. Hanya membutuhkan waktu 20 menit untuknya sampai ke tempat yang berjarak hampir dua kilometer itu. Ia langsung turun dari motornya lalu masuk ke sebuah cafe dimana seseorang telah menunggunya di sana. Cafe tersebut tampak ramai, Zikri berusaha mencari seseorang yang sedari tadi telah menunggunya hingga tatapannya beralih ke pojokan ruang itu dan saat itulah ia melihat seseorang yang tadi dicarinya. Zikri langsung melangkahkan kakinya ke sana dan setelah sampai ia duduk tepat di sebelah gadis itu. "Lo kenapa lagi?" Tanyanya. Sementara orang yang ditanya tidak menjawab, ia justru langsung bergerak dan memeluk Zikri erat. Tangisnya pecah diiringi suara hujan yang semakin deras membasahi bumi. "Gue capek, Ki ..."  "Sekarang cerita sama gue, kenapa?" ucapnya lembut. Dari balik tubuhnya, terdengar isakan tangis gadis itu, menandakan dirinya sangat rapuh. "Na," panggil Zikri lembut. Tangannya mengelus bahu gadis itu. "Gue ...." ia menggeleng, seolah tak sanggup melanjutkan ucapannya. Tangisannya semakin pecah sehingga menarik perhatian beberapa pengunjung yang ada di kafe tersebut. "Hei, suaranya di pelanin. Kita di lihati banyak orang," ucap Zikri masih tetap lembut. Ia tahu gadis yang bersamanya saat ini sedang dalam keadaan rapuh. Ia tidak mau semakin membuatnya terluka, untuk saat ini Zikri akan bersedia meminjamkan bahunya untuk tempat bersandar gadis itu. Ya, hanya itu yang bisa ia lakukan. Sebenarnya tanpa perlu di jawab, Zikri sudah tau alasannya. Ia sangat paham masalah apa yang saat ini di hadapi gadis itu, karena sejak awal maslah mereka sama. Sama-sama di anggap tidak ada oleh orang yang mereka anggap sangat berharga. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD