Scars 3 Hilang

845 Words
Part 3 Jangan pergi dariku... Jangan tinggalkan aku... ~~~ "Kamu kenapa? Datang-datang langsung maen meluk ajah. Sekarang lagi berantem sama siapa? Mama? Papa?" "Sama Adhia, kak!" Ya, perempuan cantik itu, Tyas, adalah kakaknya yang terpaut usia enam tahun darinya. Dia sangat manja padanya, tentu saja. Karena mamanya sangat sibuk dengan urusan t***k bengek kehidupan sosialita, arisan sana sini, jalan-jalan, hang out sana sini, jadinya dia lebih dekat kepada kakaknya. Kakak tiri lebih tepatnya. Mereka satu ayah tapi beda ibu. Mamanya Tyas meninggal karena menderita batin. Karena hubungan yang tidak direstui. Eyang dari papanya Tarendra adalah orang kaya jaman dulu yang kolot dengan pemikiran bahwa status keluarga harus murni. Pacarnya kala itu - mamanya Tyas - hanyalah pegawai biasa, berasal dari keluarga biasa juga. Tidak sekelas dengan keluarga katanya. Nekat, karena tidak direstui, kawin lari. Awal pernikahan mereka bahagia. Tapi kemudian timbul masalah ini itu, tak berhenti bagai gelombang di lautan. Menyerah kalah, mamanya mengundurkan diri, merawat anak mereka sendirian karena suaminya dipaksa untuk menikah lagi dengan perempuan lain yang sebanding dengan mereka. Tyas bahkan tidak diakui sebagai anggota keluarga. Papanya juga tampaknya tidak terlalu peduli akan hal itu. Hanya mengirim uang untuk keperluan pendidikan Tyas saja. Beruntunglah, selepas kuliah Tyas bisa mandiri bahkan membuka usaha skala kecil yang penting bisa berguna bagi orang lain, memberi lapangan pekerjaan dengan pekerjaan yang halal. Tarendra yang baru tahu keberadaan Tyas saat dia kelas lima SD, segera saja dekat dengan kakaknya itu. Tyas juga sangat menyayanginya, karena dia merasakan hidup tanpa kasih sayang orang tua lengkap. Dia tidak mau Tarendra merasakan hal itu. Seringkali Tyas dimarah, diancam oleh mamanya Tarendra yang merasa iri karena anaknya lebih dekat pada orang lain. Hanya dibalas dengan anggukan dan senyuman manis Tyas. Sejauh apapun dia pergi, adik kecilnya yang mencarinya. "Kenapa? Tumben bertengkar sama Adhia. Sepertinya dia gadis penurut gitu kan?" Tanya Tyas kemudian memberikan sepiring nasi goreng untuk makan malam adiknya. "Kakak tahu aja kalau aku lapar." Segera Tarendra menandaskan nasi goreng itu. Saat sedang asyik makan, terdengar suara menyapanya. "Eeh ada Om Taren... salim dulu sama Om..." Kakak iparnya masuk ke ruangan sambil menggendong keponakan kecilnya yang baru berumur tiga tahun. "Mas..." Tarendra memeluk Kakak iparnya, erat. Menciumi si kecil yang lucu dan cantik. Cucu yang tidak pernah diakui oleh keluarga papanya. "Kalian ngobrol saja dulu, sepertinya penting melihat mukamu yang kusut gitu! Ayo..., mbak sama ayah yuk. Kita jualan kopi duluuuu..." Teriak kakak iparnya sambil mengangkat tubuh kecil anaknya seperti pesawat, hingga membuat si anak tertawa senang. "Adhia kenapa?" Tanya Tyas, setelah suami dan anaknya pergi. "Sebenarnya semua salahku sih, kak. Aku yang terlalu kekanakkan. Aku yang gak becus jadi kepala keluarga." Mengalirlah cerita Tarendra kepada kakaknya itu. Dia merasa nyaman cerita padanya. Selalu diberi nasehat yang masuk akal. Seperti sekarang ini. "Lah kalau kamu tahu kamu yang salah, kenapa sekarang malah melarikan diri? Bukannya minta maaf pada Adhia? Atau kamu mau jadi seperti papa?" Sindir Tyas. "Enggak! Aku bukan papa, kak! Aku gak akan meninggalkan Adhia! Aku cinta dia. Aku cuma bingung dan malu karena selama ini, Adhia yang cari nafkah. Sedangkan aku...? Mama saja sudah mulai curiga, sudah dua bulan aku gak ditransfer uang bulanan." "Sayang kamu gak bisa kerja sama kakak ya... bisa-bisa mamamu langsung menutup coffee shop ini. Mending kalau cuma ditutup, lah kau sampai dibakar gimana? Ada beberapa karyawan yang harus kakak nafkahi." "Mama segitu bencinya sama kakak ya? Padahal kan kakak gak salah. Malah mama yang merebut papa." Jawab Tarendra pelan. Rumit sekali kehidupan keluarganya. "Ren, kalau gak salah, bengkel langganan Mas Dino lagi butuh tambahan karyawan deh. Mas Dino kenal sama pemilik bengkelnya. Kalau kamu mau, dan emang niat jadi kepala keluarga yang bertanggung jawab, besok Mas Dino bisa mengantarmu ke bengkel itu. Kan lumayan, bisa buat tambahan tabungan." "Iyaa kak... makasih... makasih..." Tarendra langsung memeluk kakaknya penuh suka cita. "Kalau gitu, gih cepet pulang. Kamu gak kasihan sama Adhia? Sendirian dia." Sesampainya di rumah petak kontrakan, Tarendra dengan sangat pelan memasukkan motornya. Sudah lewat tengah malam. Adhia pasti sudah tidur, karena lampu ruang depan yang multifungsi - bisa jadi ruang tamu, ruang tivi dan ruang bersantai - sudah dimatikan. Sudah gelap. Tarendra segera mandi dan menyusul Adhia tidur. Perlahan dia memeluk Adhia dari belakang, dan berucap maaf beberapa kali. Mungkin saja Adhia sudah benar-benar tertidur karena tiada respon balasan. "Di..." Tarendra bergumam, mencari keberadaan tubuh mungil istrinya yang dia dekap semalaman. Tidak ada! Sontak dia duduk. Mengucek matanya dan memindai sekeliling ruang tidur itu. Memanggil nama Adhia berkali-kali. "Di... kamu di mana? Adhia... kamu di mana?" Dibukanya pintu kamar mandi, tidak ada tubuh istrinya. Dia mencari di area jemuran, yang letaknya di sebelah dapur. Juga tidak ada. Tarendra menjerit..., "Adhiaaa... kamu di manaaa?" Dia pernah beberapa kali bermimpi, Adhia menghilang dari dirinya. Entah kemana. Dia berusaha mencari ke sana ke mari, bahkan tak tentu arah, tapi Adhia tetap tidak ia temukan. Entah apa arti mimpi itu. Dia hanya berharap mimpi buruk itu tidak akan pernah terjadi. Cukup terjadi di mimpinya saja. Andaikan dia tahu, suatu saat nanti, Adhia benar-benar akan menghilang dari dirinya. Tidak hanya Adhia, tapi juga cintanya. Hilang, begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD