Bab 1: Long Live the King

1249 Words
Aku berjalan gontai menyeret gaun yang berwarna hijau emerald menuju istana utama. Aku tidak bisa melewatkan Perayaan Raja Baru itu, tentu saja Derich tak akan membiarkanku. Padahal dia pasti akan asyik berdansa dengan beberapa wanita bangsawan, tapi kenapa pada akhirnya dia akan mencariku? Hall istana yang mewah itu sudah dipenuhi oleh bangsawan dari setiap sudut Barbaria. Setelah acara penobatan selesai, Derich sengaja menggelar pesta di sini. Apa dia tidak merasa sedih ditinggalkan ayahnya baru-baru ini? Tentu saja dia sudah lupa kesedihannya karena mahkota besar sudah dimilikinya. Aku memandangi kerumunan orang di sana, kabarnya Grand Duke masih berada di istana setelah acara penobatan tadi. Aku tidak perlu takut bertemu dengan Ratu karena wanita berambut merah yang sudah tua itu dipastikan tidak menghadiri pesta ini. Dia sudah sadar dengan umurnya dan memilih berdiam diri di tempat yang tenang.  "Jangan ke sana, apa kau tidak lihat ada wanita licik itu..." tak sengaja aku mendengar seseorang berbisik tak jauh dariku.  "Mentang-mentang kekasih Yang Mulia dia bisa berjalan dengan angkuhnya."  "Sst... dia bisa mendengarnya." "Apa bagusnya anak angkat seperti dia?"  "Apa kau tahu, Putri Briana tengah dekat dengan Grand Duke?" "Grand Duke? Apa maksudmu?" "Sepertinya selera Tuan Putri adalah pria yang sudah beristri." Kali ini banyak suara berbeda tang terdengar olehku.  Bahkan mereka menyebut-nyebut Grand Duke, itu adalah ayahku. Aku langsung menoleh ke sumber suara. Rupanya tiga orang wanita tidak menarik yang sedang bergosip. Aku berjalan sambil menatap mereka dengan sinis. Dengan ekspresi takut mereka langsung mundur beberapa langkah, seolah seekor singa akan memakan mereka. "Aku bisa saja mengusir kalian dari sini..." kataku pelan, tapi dengan nada mengancam. Beberapa orang yang berdiri di dekat sana juga tampak menjauh dariku.  "Tapi, apa yang kalian bicarakan tentang Grand Duke barusan?" Aku melirik mereka satu per satu. Aku tidak pernah melihat mereka sebelumnya atau pernah bertemu tapi aku lupa. Tidak penting bagiku. Mereka hanyalah seonggok semut yang mencari gosip untuk makanan. "Maafkan kami... itu hanya..." salah seorang dari mereka membuka mulut dengan takut-takut. "Kau pikir aku tuli?" "Itu... Tuan Putri..." "Benarkah Putri Briana menggoda Grand Duke?" Aku menatap wanita berambut coklat itu dengan sorot mata yang tajam. Dia harus menjawabnya.  "Saya hanya mendengar gosipnya..." katanya dengan bibir bergetar, tapi itu sudah cukup bagiku. Ini sudah kedua kalinya aku mendengar wanita itu mendekati ayahku. Yang benar saja? Briana De Barbaria adalah saudara kembar kekasihku, Derich. Mereka sama-sama memiliki rambut semerah darah. Dia wanita yang sangat menyebalkan yang pernah kutemui. Selain sifatnya yang sombong dan suka menghinaku, dia adalah orang pertama yang menjuluki sebagai penjahat. Dia pasti kesal karena aku selalu bersama kembarannya. Apalagi setelah tahu kalau aku adalah anak angkat di keluarga Winterson. Dia semakin membenciku. Namun, ini di luar pemikiranku. Seorang Briana, yang usianya lebih muda dariku, digosipkan dekat dengan ayahku yang sudah kepala empat. Aneh-aneh saja. Beberapa waktu ini memang ibuku dikabarkan sakit. Sebenarnya sudah dari dua tahun lalu, semenjak Luca, adikku, dikirim Raja untuk mengikuti perang. Dia begitu mengkhawatirkan anak laki-laki satu-satunya itu.  Luca sendiri yang mengajukan diri menggantikan ayahku untuk berperang. Dia sangat menyukai seni pedang, tentu saja turunan dari ayahku. Begitu pula aku. Tidak ada yang tidak bisa berkelahi di keluarga Winterson. Itu adalah didikan sejak kecil. Dari situ pula aku dan Luca bisa berteman dengan Derich. Hampir setiap hari kami berlatih bersama, tapi itu dulu.  Sejak Luca pergi, ibuku tidak bersemangat. Ini juga menjadi salah satu alasanku untuk kembali ke rumah. Sudah lebih dari dua tahun adikku belum kembali juga. Aku berharap mendapat kabar baik darinya. Tidak jarang sekarang ayahku menghadiri perayaan seorang diri, mungkin itu yang menyebabkan adanya gosip tersebut.  "Setelah ini kunci mulutmu rapat-rapat. Apa kau melihat Putri Briana?" Aku menatap wanita itu lagi, tapi dia hanya menggeleng.  Kemudian aku berbalik dan pergi meninggalkan mereka. Mataku jelalatan mencari keberadaan wanita berambut merah itu, tapi yang kutemukana adalah kembarannya. Derich. Dia terlihat sedang duduk di singgasana barunya sambil memegang segelas minuman. Apa yang dilakukannya? Kenapa dia tidak menyapa tamu dan berdansa dengan para wanita? Tatapannya terlihat kosong, dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.  Aku tidak berniat mendekatinya. Percakapan kami beberapa jam yang lalu membuatku sedikit canggung. Aku akan melanjutkannya jika tidak ada orang di sini. Apa dia memikirkan perkataanku tadi?  Aku berharap dia mengajak seorang wanita untuk bermalam bersamanya. Seorang Derich selalu melakukannya setiap habis berpesta. Wanita-wanita itu hanyalah pacar semalamnya, setelah itu dia pasti lari padaku.  Bisa dibilang aku adalah pelarian terakhirnya. Aku bisa menjadi apa saja yang dia mau kecuali menjadi ibunya. Dia tidak pernah mendengarkanku. Itulah hal yang paling tidak kusukai darinya. Wajahnya yang terlahir tampan itu tentu saja menjadi pujaan banyak wanita. Tidak ada wanita yang tidak pernah ditidurinya, tapi mereka tahu dia tidak pernah serius. Di usia 18 tahun dia juga ikut berperang bersama Luca. Keahliannya dalam bercinta dan menggunakan pedang tidak perlu diragukan lagi. Aku mengalihkan pandanganku saat pria itu menangkap mataku dan tetap melanjutkan langkahku. Awalnya aku memang jatuh cinta padanya, tapi lama-lama cinta itu semakin pudar dan hilang seperti sekarang. Aku bosan dengannya atau bosan dengan hidup seperti ini saja? Entahlah. "Ayah?" aku melihat seorang pria mengenakan topeng hitam di lantai dansa. Tunggu, ayahku berdansa dengan Briana?? Kebetulan sekali! "Ayah... kenapa tidak menemuiku?" Aku mendekati mereka dan mengambil tangan ayahku dengan santai. Aku sempat tersenyum pada wanita berambut merah itu dan kemudian wanita itu mundur tanpa berkata apa-apa, tapi aku tahu wajahnya sangat kesal padaku. "Tadi aku mencarimu." Ayahku tampak senang melihatku.  "Apa yang Ayah lakukan dengannya?" Aku lalu berdansa dengan pria itu, menggantikan Briana. "Ayah tidak mungkin menolak ajakan Putri, untung saja kau cepat datang."  "Benarkah? Tapi itu tidak enak dipandang. Bagaimana keadaan Ibu?" "Ibumu sudah baikan, tapi tetap saja dia harus berisitirahat." "Syukurlah. Aku akan segera pulang." "Yang Mulia mengijinkannya?" "Ya..." walaupun tidak yakin, tapi aku mengiyakannya. "Baiklah, kurasa aku sudah cukup mendengar berita baik ini. Aku akan pulang..." dia menghentikan dansanya dan memelukku. Aku tahu ibu yang menyuruhnya menghadiri pesta ini untuk bertemu denganku. Aku benar-benar merindukan mereka. "Emm, sepertinya aku akan ikut dengan Ayah." Kataku sambil tersenyum pada pria itu. Walaupun sudah mulai tua, tapi kuakui ayahku masih enak dilihat. Aku bangga memiliki ayah tampan seperti dirinya. Wajahnya tampak terkejut, tapi juga senang. "Tunggulah, aku akan berpamitan dulu." Lalu aku meninggalkan lantai dansa dan mencari seorang pelayan yang kukenal. Aku tidak mungkin mengatakannya langsung pada Derich.  "Lady Winterson..." baru beberapa langkah aku berjalan, wanita yang kutemui bersama ayahku tadi menyapaku. Putri Briana.  "Kau sangat tidak sopan padaku tadi." Wajahnya terlihat menyimpan sebuah dendam padaku. Apa yang maksudnya di lantai dansa tadi? Tidak sopan? Astaga, apa dia tidak mendengar rumor buruk tentangnya? "Kau seperti berdansa dengan ayahmu. Apa yang kau rencanakan? Mereka bahkan membuat gosip tentang itu."  "Mereka siapa? Apakah ada larangan berdansa dengan seorang Grand Duke?" Dia mulai mendekatkan wajahnya padaku. Kenapa dia tampak kesal sekali? "Apa kau tidak dengar gosip itu? Jangan dekati ayahku lagi walaupun hanya berbicara dengannya." "Apa? Beraninya kau... Kau hanyalah anak pungutnya." Kali ini suaranya terdengar hampir setengah ruangan itu. Sepertinya perhatian para tamu kini berada pada kamu. Sial. Wanita ini selalu saja membuatku emosi. "Emm... Tuan Putri, Lady... saya mohon jangan bertengkar di sini." Tiba-tiba Lucio sudah berada di sampingku. Suara seperti berbisik, tapi jelas terdengar olehku dan Briana.  Kebetulan sekali, aku dari tadi mencarinya. "Lucio, aku akan ikut bersama Grand Duke, jadi sampaikan salamku pada Yang Mulia." Tanpa menunggu tanggapannnya aku langsung berlalu. Briana dan juga Lucio terdiam saat itu. Mereka seperti terkejut dengan ucapanku tadi. Apa ada yang salah? Selama ini aku memang selalu minta ijin secara langsung pada Derich untuk melakukan sesuatu, tapi sekarang aku tidak bisa menghadapinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD