Chapter 45

1306 Words
"Bisa." Sebuah senyuman puas terukir indah di bibir seorang lelaki. Jas mahal, pantofel hitam yang mengkilap, dan warna dasi yang selaras dengan kemeja juga pastinya memiliki harga tidak murah. "Bagus, Benzie. Kau memilih pilihan yang tepat. Karena sudah seharusnya kau menjawab itu sejak awal." Dan seringai yang sarat akan tanda tanya pun turut pria dewasa itu tampilkan. Ya, orang itu adalah Mr. Jazz sang pimpinan perusahaan IT raksasa di Indonesia, Doujav Corp. "Pilihan yang sangat sempurna. Jangan takutkan apa pun karena kau telah berada di anak tangga yang paling atas. Kerjakan saja semua perintahku dan namamu akan semakin melejit tinggi karena kerja keras dan kecerdasanmu." Dalam ruangan pribadi bernuansa putih yang mewah itu. Keberadaan Mr. Jazz dengan Benzie terlihat sangat gagah. Balutan jas rapi seolah lencana yang pantas mereka sandang. "Megan akan mengerjakan beberapa mega proyek di Thailand untuk next robot yang akan mengikuti kontes internasional robotik se-asia. Sementara untuk beberapa saat ini kau ku bebaskan dan beristirahatlah sejenak." "..." "Mega proyek kali ini hanya untuk meredakan antusias publik atas dirimu yang sangat melambung tinggi. Sementara itu kau bisa mengerjakan proyek lainnya sampai robot rakitanku selesai." Ide bagus, ini lah yang Benzie impikan sejak dulu. Kefanatikan media terhadap dirinya memanglah bagus tapi, lebih dari itu Benzie sedang mempersiapkan yang baru dan jika saatnya tiba ia akan kembali menggemparkan dunia. "Terima kasih, Sir. Anda sangat banyak berjasa pada saya," ucap Benzie. Tawa renyah meluncur dengan ringannya dari Mr. Jazz. Pria dewasa itu melegut air mineralnya di gelas dan tersenyum simpul. Lagi-lagi Benzie melihat makna tersembunyi dari jenis senyuman itu. Yang kembali menyenggol rasa penasarannya. Benak yang bahagia dan puas dalam dirinya pun kembali goyah. Sesaat, ia merasakan dadanya seperti berkata lain. "Sudah benarkah yang kupilih saat ini?" benaknya bertanya-tanya. "Bukan apa-apa, Benzie. Justru akulah yang sangat beruntung karena memiliki pegawai secerdas dan kompeten sepertimu. Kau itu ibarat berlian di dasar laut. Semakin menyelam dalam semakin berharga." Tapi, satu hal yang mengusik ketenangannya. "Sir, lalu mengapa Anda menunjuk Alan sebagai lawanku untuk mencipta robot? Bukankah tidak biasanya perusahaan kita mengadakan kompetisi? Apalagi ini sesama pegawai Doujav Corp." "Rahasia perusahaan bukan untuk dipertahankan, Benzie. Terkadang bisa kita jadikan alat untuk menyembunyikan s*****a perusahaan." Jawaban yang rumit. Benzie bahkan tak merespon apa pun selain diam. Ia hanya berperan menjadi pendengar yang baik. Tapi, salah satu kalimat yang Mr. Jazz ucapkan membuatnya salah fokus. "Alat?" bingung Benzie. "Bukankah seseorang yang ingin maju harus mengorbankan salah satu dari kehidupannya? Tidak mudah menjadi bagian dari Doujav Corp itu sendiri." Tidak menempel di benak Benzie sedikit pun dengan apa yang Mr. Jazz jelaskan. Sepertinya benak ia betul, kalau di balik ini semua pasti ada sesuatu yang bosnya itu rencanakan diam-diam. Termasuk padanya. "Dunia robotic sudah kita genggam dan bukan hanya itu saja, aku mengingjnkan lebih dan lebih. Tidak ada yang boleh dan bisa mengalahkan Doujav Corp. Tanpa terkecuali." "Alan?" celetuk Benzie yang membuat perhatian Mr. Jazz langsung tertuju padanya. "Apa maksudmu dengan Alan?" "Apa yang Anda maksud sebagai alat itu adalah Alan? Kita akan menjadikannya sebagai alat untuk mendongkrak popularitas Doujav Corp kembali?" Ya, ntah kenapa dari pertama kali Mr. Jazz mengucapkan kata-kata alat. Benak Benzie langsung tertuju pada Alan. Yang merupakan karyawan bagian machine learning di sini. "Kompetisi ini dibuat seolah Anda akan memberikan dukungan kepadanya dan membantunya dengan cukup baik. Namun, di balik itu semua Anda hanya ingin agar para wartawan dan publik penasaran pada sosoknya. Sehingga nama perusahaan akan kembali berada di atas dalam deretan trending di media. Bukankah begitu, Sir?" "Hahaha ..." Asal tawa itu berasal dari Mr. Jazz yang duduk di singgasananya. Jenis tawa yang sulit Benzie artikan. Tergelak di hadapannya sembari memandangnya dengan seksama. Pancaran mata itu, menggambarkan rasa tak lagi asing baginya. Ini bukanlah jenis tawa yang biasa ia lihat dari sosok Mr. Jazz. "Haha ... kau memang cerdas sekali Benzie. Sepertinya kau bisa membaca pikiranku ya," ucap Mr. Jazz masih dengan pandangan dan tatapan yang mengarah penuh pada Benzie. Benar, sepertinya memang ada yang Mr. Jazz sembhnyikan darinya. Jelas-jelas arti tatapan itu bukan tatapan bangga karena pemikiran mereka yang sama. Tidak, bukan! "Aku harus mencari tahu ini diam-diam." Tekad yang bulat dan hati yang kuat. Pada saat pembicaraan mereka, ponsel genggam Mr. Jazz berbunyi. Satu panggilan masuk dari keponakannya. Clava. "Halo, Clava. Tumben kau menelepon Paman lebih dulu. Ada apa?" *** Keluar dari ruangan Mr. Jazz setelah pembahasan berat mereka, Benzie memutuskan untuk ke kantin. Mengisi ulang perutnya untuk memulihkan tenaga dan pikirannya yang telah terkuras habis. Ngomong-ngomong, ini masih menunjukkan pukul 2 siang. Dan bukan waktunya jam istirahat makan siang atau apapun itu. Tapi, dengan gelarnya di perusahaan ini bisa membuat lelaki itu bebas berkeliaran di seluruh penjuru Doujav Corp meskipun jam kerja masih berlangsung. Sebuah burger lengkap dengan minuman yang sudah tersaji di atas meja. "Huh ..." Benzie menghembuskan nafas kasar. "Jadi Mr. Jazz berniat menjadikan Alan sebagai alat untuk menarik perhatian netizen?!" Percayalah itu sebuah gumaman bukan pertanyaan. Kalaupun pertanyaan, lebih pantas dibilang bahwasannya Benzi bertanya kepada dirinya sendiri. Bukannya menikmati burger yang sudah tersaji di hadapannya, Benzi justru terlihat murung. Terlihat dari kerutan yang tersaji di keningnya, lelaki itu terlihat cukup frustasi. "Alat semacam apa yang Mr. Jazz maksud itu?" Yang pastinya bukan alat berupa benda pecah belah tapi, alat yang setara sebagai Samurai untuk Doujav Corp. Benzie Dilema pada beberapa hal, pasalnya perkataan yang Mr. Jazz ungkapkan kepadanya tidak sesuai dengan ekspresi yang pria itu gambarkan. Well, dia sudah cukup lama oh tidak-tidak Bahkan dia sudah sangat lama bekerja dengan bosnya tersebut. Sehingga banyak sedikitnya Benzie tahu bagaimana perilaku aneh yang kerap kali Mr. Jazz tampilkan. "Apa ini ada kaitannya dengan rangkaian robot dan perlombaan robot itu?" Ya ... tidak bisa dibilang perlombaan juga sih. Tapi, dari sistem yang berlaku saat ini, bahkan lebih cepat dari sebuah perlombaan itu sendiri. Benzie pernah bertekad suatu saat nanti dia memang ingin menguasai atau setidaknya berkuasa sedikit saja di perusahaan tempat kerjanya sekarang. Namun, kekuasaan yang dia maksud itu bukanlah kekuasaan yang berkonotasi negatif melainkan sebaliknya positif. Karena secara pribadi, Benzie memiliki misi dan visinya untuk menyukseskan dan mengembangkan kan semua hal-hal berguna yang tertanam di dalam pikirannya. Dalam beberapa tahun terakhir ini dia cukup optimis namun, tidak sedikit pula ia juga merasa bahwa banyak yang sudah mulai berubah dalam diri bosnya tersebut. Pepatah pernah mengatakan, sebuah keberhasilan akan mendatangkan keinginan untuk berhasil-berhasil yang selanjutnya. Sehingga tanpa kita sadari bahwa semua itu telah tertanam dalam jiwa dan pikiran kita, dan keserakahan itu muncul. Lebih-lebih dan terus menginginkan yang lebih. Seperti itulah kodrat manusia. Lalu, bagaimana dengan kodrat robot? Mereka hanya teknologi canggih yang berhasil diciptakan oleh manusia yang pintar dan tersusun dari hasil kemajuan teknologi tersebut. Bagi sebagian orang mengatakan bahwa robot itu nyata namun, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa robot itu tidak nyata. "Ya ampun, pikiranku ntah kemana-mana!" gumam Benzie kesal. Sebelah tangannya yang tidak memegang garpu dan pisau makan pun ia kepalkan. Setelah Mister Jazz kini pikirannya justru melayang-layang ke robot. Astaga emang dasar manusia, tidak ada kata istirahat sebelum menutup mata. Ya, tutup mata yang benar-benar menutup mata. Kata lainnya adalah dead. "Oh ya, perkara robot ... benar Mr. Jazz menunjuk si anak baru bau kencur itu yang menjadi lawanku?" Masih sama, Benzie terlalu gelisah untuk tidak bertanya pada dirinya sendiri. "Ck, dunia yang penuh kerepotan!" Benzie berdecak malas. Sementara di waktu yang sama namun pada tempat yang berbeda, sebuah robot didampingi oleh ketiga orang manusia lainnya terlihat sedang saling bercengkrama di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh alat-alat elektronik canggih. "Sistem aksesnya sepertinya butuh pembaharuan, Kak." "Lanjutkan yang awal saja, nanti kita ganti sensornya." "Dia harus bisa memasak dengan baik dan benar, Al. Agar saat kita pulang ke rumahmu kita idak perlu repot-repot masak lagi pasti sangat menyenangkan." "Kita? Kau bukan siapa-siapa di rumahku sampai memiliki hak tinggal berdua denganku. Jadi, tolong diralat ucapanmu barusan." Andrew memutar bola matanya malas. "Begitu saja dipermasalahkan. Dasar telur dadar!" nyinyirnya sembari bersungut-sungut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD