Chapter 8

1057 Words
“Dia bilang datang dari masa depan, dapat berbicara lebih dari seratus bahasa asing.” “Biru? Kemerahan kemudian dia bilang dayanya habis, lalu kehilangan charge?” Hening. “Ck, ah sudahlah aku harus cepat pulang ke rumah.” Cepat-cepat kuputar persnelling dan menginjak gas lebih tinggi lagi. Disaat seperti ini aku merasa sangat bersyukur memiliki Van butut ini, setidaknya aku tidak perlu repot-repot lagi berlari mengejar taxi ataupun mencari angkutan umum yang lain. Ponselku bergetar, kulirik sekilas siapa gerangan yang menelepon. Lantas, begitu nama Andrew tertera di sana tanpa tunggu lama segera kuangkat panggilan tersebut. “HOI ALAN, KAU INI MAIN KABUR-KABURAN SAJA SEPERTI ANAK PERAWAN MINTA KAWIN! DI MANA KAU? CEPAT KEMBALI! SEBENTAR LAGI JAM ISTIRAHAT SELESAI. PEKERJAAN KITA MASIH BANYAK SIALANN!” Astaga, lekas kujauhkan benda pipih yang menempel di telingaku sampai beberapa centi. Andrew si buaya darat tak bermodal itu memberondongku dengan rentetan kalimatnya yang luar biasa sekali. Ya ampun bisa pecah gendang telingaku kalau seperti ini terus. “Hei Brother, tidak usah pakai otot. Bicaralah santai saja. Ada apa?” “Monyet lampung! Ayam bekantan! Tikus tanah!” Oh ... Andrew sedang mengabsen nama-nama sahabat karibnya. Jadi memang suka seperti itu. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu Alan sialann! Kenapa kau tiba-tiba lari tunggang langgang seperti habis melihat setann saja ha?” Jenis pertanyaan yang mengandung pemaksaan. Huh ... Oke-oke, tarik napas buang. Jangan ditahan nanti keluarnya yang lain. “Begini, And. Ada urusan mendadak yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Kali ini benar-benar urgent. Kau mengerti kan?” Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Mengenai apa?” “Proyek baruku, sepertinya aku belum bisa memberi tahumu sekarang. Secepatnya, mungkin akan segera kuberi tahu.” Ya, itu pun kalau gadis aneh itu terbukti benda luar angkasa yang jatuh dari langit sore kemarin. Kalau bukan, memangnya apa yang bisa kuberi tahukan pada Andrew? Bisa-bisa dia akan menuduhku yang tidak-tidak karena sudah menyekap seorang gadis di rumah sendirian. Lalu, menuduhku melakukan tindak asusila? Ya Tuhan, itu adalah opsi yang paling mengerikan. Begini-begini aku tidak sebejad itu, ya bejad pakai d. Walaupun jomblo dari lahir. “Lalu pekerjaanmu?” “Kan ada kau. Bisa kerjakan setengahnya kan? Nanti aku traktir makan di pizza hut.” “Ck, kau ini. Setengahnya saja ya?” “Iya, Bro.” “Yasudah. Kututup.” “Hmm ...” Napasku benar-benar bisa lancar sekarang. Tapi, masih belum bisa tenang sepenuhnya. Bagaimana kalau ternyata apa yang kutakutkan terjadi? “The Future?” gumamku. Kalau benar dia manusia planet yang jatuh ke bumi, lalu tidak sengaja kutemui dan yang sekarang singgah di rumahku. Apakah tidak akan booming nantinya? Alan si pelajar rantau yang bertemu langsung dengan makluk luar angkasa. Kira-kira judul beritanya akan seperti itu kan. “Jadi ...” Tapi, kalau makluk luar angkasa seharusnya bentuk mereka tidak sesempurna itu kan? Dari beberapa serial tv dan film yang tonton, makhluk luar angkasa itu sering dijuluki ufo. Mereka mengeluarkan suara yang aneh dan mengerikan lalu kekuatan tidak biasa yang membahayakan. Maka dari itu, kesimpulan yang bisa kutarik adalah, “Apakah aku bisa selamat setelah kembali ke rumah dan bertemu kembali dengan gadis itu?” Ya ampun, ke mana perginya rasa excited-ku barusan? Mengapa semudah itu berganti dengan ketakutan sehingga detak jantungku pun tak lagi senormal yang awal. Jujur, aku jadi takut. Apakah tidak sebaiknya aku putar balik saja? Kembali ke kantor? *** Kosong, saat kumembuka pintu dan menyalakan lampu setelah menekan saklarnya. Ruang tamu yang terpantau dari depan sini terlihat lengang, seperti tidak ada orang. Tapi ... “Oh?” Di salah satu dudukkan sofa tidak kosong. Gadis aneh itu masih teronggok di sana. Ya, berbaring seperti terakhir kali aku melemparkan tubuhnya ke sana. Otomatis atensiku melirik jam tangan yang kukenakan. Setengah dua siang. Mari berhitung. Kemarin malam saat kami pulang, ya kami. Aku dan gadis aneh yang tidak jelas asal-usulnya ini. Sesampainya di rumah pukul setengah dua belas malam tapi, dari perjalanan pun gadis berwujud manusia namun mengaku sebagai the future ini sudah tertidur dari masih di jembatan sekitar sungai. Sebelas titik no-nol waktu malam. Setengah jam perjalanan dari sungai Hiles menuju ke rumah dan sepanjang perjalanan itu pula kesadarannya sudah raup. Sekarang, setengah dua siang. Tepatnya 14.29 menit, dan orang aneh itu masih belum juga membuka matanya? Terhitung sudah empat belas jam lebih dia tertidur kan? Wow! Patut dijuluki putri tidur. Iya, kalau lihat parasnya cantik cocok menjadi putri tapi, akalnya? Diragukan! Tiga langkah ke depan, kini tubuhku tepat berhenti di hadapannya yang masih berbaring tak sadarkan diri. Demi dapat melihatnya lebih detail lagi, aku menunduk. Mensejajarkan kepalaku dengan bantalan sofa. Jadilah diriku yang lesehan sembari menatap orang tidur. “Hei, bangun gadis aneh,” kataku pelan. Dua buah tepukkan singkat pun kulayangkan pada dahinya yang terlihat agak lebih putih dari milikku. Apa dia ini benar-benar manusia atau makhluk luar angkasa yang jatuh waktu itu? Tapi, kalau makhluk luar angkasa kenapa memerlukan charge untuk mengisi daya? Tidakkah itu aneh? Bukannya sama saja itu dengan robot? Memang ada robot yang tinggal di planet lain dan menjadi penghuni tetap? Ah! Tombol yang di belakang lehernya. Ya, aku pernah merasakannya. Apakah masih berfungsi? Dengan rag-ragu kuselipkan tanganku di lipatan lehernya yang tertutupi rambut. Menyibak sebagian dan mencari-cari keberadaan benda itu di sana. “Ketemu!” ucapku sebagai spontanitas. Yap, sesuai dugaan. Benar-benar tombol yang bisa ditekan pada bagian tengahnya. Mulai dari perlahan hingga kuat kutekan beberapa kali sampai gadis ini bangun. Iyakan, biasanya seperti itu. Atau paling tidak menunjukkan reaksi lain dari tidurnya. Lima belas menit berlalu~ Namun, sayang. “Ck, kenapa belum bangun-bangun juga sih,” gerutuku kesal. Oh, tunggu. Katanya dia kehilangan chargenya kan? Itu berarti dia memang harus diisi daya? Wush~ Secepat kilat aku berlari menuju meja belajarku di dalam kamar untuk mengambil charge ponselku. Aku hanya mengikuti logika, jika katanya memang kehilangan charge alternatif satu-satunya adalah diisi ulang. Jadi, mari kita cas dia. Tapi ... “Di mana aku bisa mencoloknya?” Mencolokkan cas-an yang akan kugunakan untuk mengisi dayanya tentu saja. Bukan mencolok lubang hidung atau matanya apalagi yang lain. Kupindai keseluruhan tubuhnya dengan teliti, mencari kira-kira tempat yang tepat untuk mencasnya. Tapi, karena tubuh kurusnya terbalut baju aku tidak bisa menemukannya semudah itu. Tidak mungkin kan kubuka kain-kain yang menempel di tubuhnya? Lalu bagaimana aku bisa mencasnya? Di mana? “Oh Gosh!” Musibah, ini musibah! Fix! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD