Chapter 30

1306 Words
Jakarta, kota metropolitan yang ramai dan padat. Sebuah kota besar yang terkenal dengan aktivitas para penduduknya. Baik dari segi bisnis, seni, dan pemerintahan. Tidak memandang waktu lalu lalang kendaraan. Mulai dari yang beroda dua sampai yang beroda empat. Tidak ada larangan bagi setiap masyarakat untuk melakukan perjalanan transportasi darat di jam-jam tertentu. Dari ayam jantan berkokok merdu sampai matahari berdiri tegak menjadi raja siang yang gagah, kemudian tergelincir perlahan menutup waktu sehingga muncul yang bernama malam. Jalanan tak pernah sepi dari para pengendara. Segala usia, lalu lalang kendaraan yang mengangkut jiwa-jiwa tersebut. Dan di tengah hiruk pikuk yang padat ini, sejumlah orang-orang cerdas yang memiliki kemampuan dan ilmu tak ingin menyia-nyiakan potensi mereka. Selagi ada bakat, minat, dan peluang, didukung oleh ekonomi yang berkecukupan. Tidak sedikit di antara para orang-orang cerdas itu melakukan kreativitas mereka sendiri. Dan salah satu dari orang di atas ada Alan yang sedang berpusing ria, dengan proyek robotnya yang akan segera ia presentasikan di kantor. Masih ingatkan dengan usulannya yang menyita perhatian Mr. Jazz saat itu? Dan sempat Benzie tertawakan. Karena itu, semua pekerjaan yang ia lakukan jadi tidak fokus. Seperti hari ini misalnya, paginya di kampus ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Pikiran Alan justru melayang-layang pada Future dan proyek kerjanya. Dan sekarang, saat berada di toko buku pun lelaki berusia awal dua puluhan tersebut masih belum fokus. Yang membuat Shasa harus menghembuskan napas panjang berulang kali. Puk! Sebuah pukulan ringan mendarat di sebelah bahu Alan. Pelakunya tentu saja Shasa. “Eh!” Alan tersentak kaget. “Aku bicara dengan berarti!” jengkel Shasa. Gadis itu memanyunkan bibirnya. “Maaf, Sha. Kau bicara apa tadi?” tanya Alan dengan polosnya. Tuh kan tuh kan, begini nih. Gimana Shasa tidak mau emosi saja bawaannya. Tadi waktu diajak ke toko buku bersama, menolak. Eh tiba-tiba malah menerima begitu saja dengan alasan sibuknya di cancel. Tidak masuk akal kan? Dan sekarang, sekalinya mau mengantarnya malah ia dijadikan nyamuk. Dilalat-lalati, diangin-anginkan, tak dipedulikan sama sekali. Padahal sejak tadi Shasa terus saja mengoceh. “Sejak di mobil kau melamun terus, Al. Ada apa Alan? Kepikiran kerjaanmu ya? Ck, seharusnya kau tidak perlu mengantarku kalau seperti itu. Aku bisa pergi sendiri kok.” “Eh bukan kok, aku ke sini juga mau membeli buku untuk urusan kerja sih,” sahut Alan. Ia jadi tidak enak dengan Shasa. Demi semut-semut di batang pohon, Alan sama sekali tidak mendengar apa yang Shasa katakan padanya. “Tapi pikiranmu sepertinya sedang tidak di sini. Sepenting itu ya urusannya?” Menyahuti pertanyaan Shasa, Alan hanya mengangguk singkat. “Kita sudah hampir dua tahun saling mengenal loh, Al. Dan kau belum memberitahuku di mana kau bekerja?” Eh, untuk kesekian kalinya Alan tersentak kaget. Iya juga ya, dia lupa. “Kau juga tidak ada bertanya kan, Sha?” Gadis bergaya busana kasual itu tampak berpikir sejenak. Kemudian kerutan di dahinya semakin bertambah setelah ia mencerna pertanyaan asisten ayahnya di kampus itu. “Sudah pernah tau, kau saja yang lupa. Atau jangan-jangan waktu aku bertanya waktu itu kau juga sedang tidak konsen ya? Kau melamunkan? Makanya tidak tahu kalau aku bertanya.” Duh repot sekali memang berurusan dengan yang namanay perempuan. Kaum hawa, selain menyandang gelar si selalu benar, mereka juga tipe pribadi yang perfectionist. Satu hal lagi, mereka juga pengingat yang handal. Suka mengungkit-ngungkit kejadian lama, ataupun membesar-besarkann masalah yang kecil menjadi semakin runyam. Ya begini nih misalnya. Sayangnya Shasa termasuk dalam golongan kaum hawa. “Sha, kok jadi kau menyudutkanku begini sih. Aku beneran lupa.” Alan menyahuti. “Kalau begitu dan kalau boleh tahu juga sih, kau bekerja di mana terlepas dari mahasiswa dan asisten dosen di kampus?” “Dulu, sempat bekerja sebagai barista di cafe The Light tapi sepertinya pekerjaan itu tidak cocok denganku.” “Kenapa?” “Racikan kopiku selalu saja kena kritikan customer, padahal aku megikuti cara para barista senior yang mengajariku. Sebisa mungkin ku copy paste cara mereka tapi, tetap saja tidak ada perubahan. Akhirnya aku diberhentikan di bulan ketiga aku bekerja.” Mengingat masa-masa itu, Alan meringis kecil. Rasanya sangat memalukan jika harus dikenang balik. Bagaimana pula ia bisa tidak sekreatif itu dalam meracik kopi. Yang awalnya, menurutnya adalah hal sepele. Ternyata memang harus berhati-hati dan membutuhkan keahlian khusus. Dari situ pula Alan dapat belajar bahwasannya, semua pekerjaan, semua profesi, tidak boleh dianggap remeh apalagi sampai menghinanya. Semuanya memiliki trik-trik tersendiri dan pastinya berguna bagi banyak orang. Don’t judge something bye the cover! Yah ... seperti itulah kira-kira. “Jadi, sekarang kau bekerja di?” “Doujav Corp,” jawab Alan santai. Singkat, jelas, padat. Dan membuat Shasa pada detik itu sontak saja membelalakkan matanya. Gadis itu terlihat syok setelahnya. Mungkin temannya ini salah bicara kali ya atau sedang ngelantur ngomongnya? Ya ampun Alan bisa-bisanya. Batin Shasa heboh sendiri. “Apa, Al? Doujav apa?” tanyanya sekali lagi. Ia ingin betul-betul memastikan kalau Alan pasti typo menyebut nama perusahaan tersebut. Dalam hati, Shasa menghitung mundur secara perlahan. “Doujav Corp, Shasa.” Namun, lagi-lagi jawaban Alan masih sama dengan yang awal. “Fix, ini sih Alan sedang mabok sepertinya.” “Maksudmu, Doujav Corp perusahaan robot raksasa itu, Al?” Dan Alan pun mengangguk sebagai respon. Sepasang matanya masih sibuk menelusuri rak-rak buku untuk menemukan buku yang sesuai dipinta Andrew. Kemudian arah pandangan Shasa yang tadinya menatap wajah Alan dengan tak percaya kini justru menjatuhkan fokusnya pada sebuah buku yang berada di genggaman Alan. Dan sedang pemuda itu baca. “Robotics Sound Sistem Secret.” Shasa membaca judulnya. Wait, seriously? Alan? “Kayaknya buku ini cocok deh.” Terdengar gumaman dari Alan. Yang membuat Shasa sulit berkedip. Shasa juga juga bisa melihat sedikit isi dari buku tersebut berisi bahasa-bahasa pemrograman yang banyak sedikitnya ia ketahui walau tidak banyak. “Al, itu pembahasan tentang coding ya?” tanya Shasa. Sama-sama mengambil jurusan ilmu komputer, mereka juga diajarkan mengenai coding walau tidak banyak dan tidak serinci itu. Hanya arti dan cara pembahasannya, tidak sampai mendalami secara utuh. Oleh sebab itu Shasa bisa mengetahui sedikit. “Ini buku yang kau maksud untuk kepentingan proyek kerjamu itu ya, Al?” “Uhum. Sebenarnya bukan aku yang menggunakannya sih tapi temanku. Kebetulan dia berada di bagian data pemrograman dan memintaku untuk mencarikan buku untuknya,” jelas Alan. Karena tidak mmungkin kan ia memberitahu profesi Andrew yang sebenarnya ke sembarang orang. Meskipun Shasa termasuk putri salah satu dosen besar di kampusnya. Selain itu, sebagai white hat hacker yang bekerja untuk perusahaan sebesar Doujav Corp, data pribadi pegawainya harus dirahasiakan. Sebab pekerjaan mereka yang berhubungan langsung dengan sistem tertentu perusahaan. Meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Maka dari itu reputasi Andrew di kalangan kampus hanya sebatas Andrew si pintar komputer. Selebihnya tidak ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang hacker yang handal. “Jadi, maksudmu kau benar-benar bekerja di Doujav Corp, Alan?” Sekali lagi. Dan masih dengan pertanyaan yang sama. Sesaat Alan menghembuskan napas panjang. “Apa wajahku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?” Karena Alan juga tahu bagaimana sulitnya masuk ke perusahaan seterkenal dan sehebat itu. Alan juga berpikir mungkin saja ia bisa masuk sana karena keberuntungannya. Well, jadi Alan memaklumi ekspresi keterkejutan Shasa yang pasti juga sama dengan yang lainnya. “Wow! Hebat sekali Alan. Ngomong-ngomong kau bagian apa di sana?” “Machine Learning, ya seperti robotics healty begitu.” “Keren banget, Al. Bisa bekerja di sana adalah impian banyak orang. Ck, ck.” Shasa berdecak kagum. “Terima kasih ya, Sha,” ucap Alan sebagai sopan santun. “Oh ya, Al. Ngomong-ngomong salah satu kenalan Ayahku ada juga yang bekerja di sana.” “Oh ya? Siapa?” “Namanya Prof. Nellam, teman Ayahku. Dia juga merupakan profesor di salah satu kampus di Jakarta. Prof. Nellam cukup dekat deengan Ayah jadi sering main ke rumahku.” “Profesor Nelam?” batin Alan bertanya-tanya. “Kau mengenalnya kan, Al?” “Ha?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD