BAB 1 | Menjadi Pengantin Pengganti

2109 Words
*** *** "Mengapa kau melakukan ini, Nak?" tanya Morgan, tangannya lembut membelai wajah putrinya. "Apakah kau bertekad melindungi nama baik keluarga kita, atau ada alasan lain yang mendorongmu?" Morgan mencoba memahami alasan di balik keputusan Clarissa yang telah dipertimbangkan matang untuk menjadi pengantin pengganti bagi Axel, meskipun pernikahan itu bukanlah pilihannya. Clarissa memalingkan pandangannya sejenak ke arah lain, sebelum kembali menatap Ayahnya. "Ya," jawabnya sambil mengangguk pelan. "Aku memilih ini karena tidak ingin merusak nama baik keluarga kita. Dan aku ingin melihat Caroline bahagia bersama Kak Gabriel," tambah Clarissa. "Caroline tidak mencintai Axel, Dad. Caroline hanya mencintai Kak Gabriel. Sedangkan aku, aku tidak memiliki kekasih dan aku tidak mencintai pria manapun. Dan mengenai keputusanku ini..." Clarissa menjeda sejenak, lalu meraih tangan kanan Ayahnya dan menggenggam hangat, mencerminkan kehangatan dan keintiman hubungan antara mereka. "Aku bisa belajar mencintai Axel. Seiring berjalannya waktu, aku pasti bisa mencintainya. Begitupun dengan Axel. Kami hanya butuh waktu untuk saling mengenal satu sama lain, Dad. Kamu tidak perlu mencemaskan ku. Aku baik-baik saja." lanjutnya. Morgan menggeleng pelan, tidak setuju dengan apa yang barusan putrinya katakan. “Tidak, Dad tidak sependapat denganmu. Nak, semua itu tidak semudah yang kau bayangkan. Dan Dad sarankan sebaiknya urungkan niatmu. Kau tidak perlu mencemaskan nama baik keluarga kita, karena Dad berjanji padamu semuanya akan baik-baik saja.” "Tidak bisa, Dad. Aku sudah membuat keputusan dan aku tidak akan mengubahnya. Dad tenang saja, aku bisa menjaga diriku sendiri," ucap Clarissa. Dia kembali melanjutkan. "Axel tidak akan mungkin berani menyakitiku. Bukankah Dad mengenal Axel sejak dulu? Dad selalu bilang kalau Axel adalah anak yang baik. Jadi, seharusnya Dad tidak perlu cemas bukan? Aku sangat yakin kalau Axel tidak akan mungkin tega menyakitiku.” "Aku bisa belajar mencintai Axel. Seiring berjalannya waktu, aku pasti bisa mencintainya. Begitupun dengan Axel. Kami hanya butuh waktu untuk saling mengenal satu sama lain, Dad. Kamu tidak perlu mencemaskan ku. Aku baik-baik saja," lanjutnya dengan keyakinan dalam suaranya. Morgan menggeleng pelan, tidak setuju dengan pendapat putrinya. "Tidak, Nak. Semuanya tidak sesederhana yang kamu kira. Dad menyarankan kamu untuk urungkan niatmu. Kita tak perlu khawatir tentang nama baik keluarga kita, karena Dad jamin semuanya akan berjalan baik," ucap Morgan. "Tidak, Dad. Aku sudah memutuskan dan tidak akan berubah pikiran. Jangan khawatir, aku bisa menjaga diri sendiri," kata Clarissa dengan mantap. Ia melanjutkan, "Axel pasti tidak akan berani menyakitiku. Bukankah Dad kenal Axel sejak lama? Dad selalu bilang bahwa Axel adalah anak yang baik. Jadi, tidak perlu khawatir, bukan? Aku yakin sekali bahwa Axel tidak akan menyakitiku." Suara dan ekspresi Clarissa menunjukkan tekad dan keyakinan yang tak tergoyahkan. Morgan terdiam, ekspresinya penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. Clarissa mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Baiklah, mari kita sudahi pembahasan ini. Pemberkatan akan dimulai sebentar lagi, bukan? Bisakah Daddy mengantarku ke sana?" ucap Clarissa, sambil tersenyum lebar. Morgan bergeming, masih terlihat ragu. "Axel sudah kecewa pada Caroline, Dad. Jangan biarkan dia kecewa lagi karena menungguku terlalu lama," tambah Clarissa sambil memeluk lengan Ayahnya dengan erat. "Tolong, antar aku," pintanya dengan nada penuh harap karena Ayahnya masih ragu untuk bergerak. Ekspresi wajah Morgan menunjukkan perjuangan batin yang rumit di dalam dirinya. Morgan menghela nafas, semakin gelisah dengan situasi yang semakin rumit. Pemberkatan akan segera dimulai, sementara ia tidak berhasil mengubah pikiran sang putri. "Atau aku pergi sendiri saja?" ucap Clarissa lagi, mencoba mencari solusi lain. Morgan memaksa senyum tipis di bibirnya. "Tidak mungkin Dad membiarkanmu pergi sendirian, Nak. Dad akan mengantarkanmu," ujarnya dengan suara penuh emosi campur aduk. Clarissa mengangguk, memeluk lengan Ayahnya dengan erat. Mereka kemudian bergegas menuju Altar di mana Axel menunggu Clarissa sebagai pengantin pengganti. °°° Menit berlalu... Setelah menyerahkan Clarissa kepada Axel, Morgan bergegas turun dari altar dan bergabung dengan istrinya serta tamu lainnya yang menyaksikan pasangan itu mengucapkan janji suci pernikahan. Di atas altar, Pastor mulai mendekat dan bertanya kepada keduanya tentang kesiapan mereka. Setelah mendapat jawaban pasti dan penuh keyakinan dari kedua mempelai, Pastor berdiri di antara Axel dan Clarissa yang saling berhadapan. “Axel Beatrice Addison, apakah saudara bersedia meresmikan perkawinan ini sungguh dengan ikhlas hati?” “Ya, sungguh” jawab Axel. Wajah tampan itu terlihat dingin ketika menjawab. “Bersediakah saudara mengasihi dan menghormati istri saudara sepanjang hidup?” “Ya, saya bersedia.” “Bersediakah saudara menjadi Bapak yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudara, dan mendidik mereka menjadi umat yang setia?” “Ya, saya bersedia” Setelah mendapatkan jawaban penuh kesungguhan dari Axel, sang mempelai pria, kini sang pastor pun bertanya kepada sang mempelai wanita Clarissa. “Clarissa Leonara Blaxton, apakah saudari meresmikan perkawinan ini sungguh dengan ikhlas hati?” “Ya, sungguh.” jawab Clarissa dengan nada penuh keyakinan. Berbeda dengan hatinya. Ia ragu, namun tak berniat mundur. “Bersediakah saudari mengasihi dan menghormati suami saudari sepanjang hidup?” “Ya, saya bersedia.” “Bersediakah saudari menjadi Ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudari, dan mendidik mereka menjadi umat yang setia?” “Ya, saya bersedia.” jawab Clarissa masih dengan nada yang sama. Pasti. Aula terasa senyap. Para tamu undangan menatap haru dan senyum bahagia ke atas Altar saat mendengarkan kedua mempelai mengucapkan janji suci pernikahan mereka. Mereka terharu, sebab tidak menyangka bila pernikahan tersebut akan berjalan lancar setelah kejadian beberapa jam yang lalu. “Silakan saling menyematkan cincin pernikahan kalian berdua," ucap sang Pastor. Axel cepat-cepat meraih cincin berlian dari kotak beludru yang disodorkan bridesmaid dan memasangkannya di jari manis Clarissa. Cincin itu adalah buatan khusus Axel untuk Clarissa, sementara cincin untuk Caroline telah dibuangnya. Clarissa melihat cincin berlian yang cantik itu tanpa ekspresi khusus. Setelah Axel memasang cincinnya, giliran Clarissa memasang cincin pernikahan Axel dengan hati-hati. Kedua pasangan saling memandang, mencerminkan harapan dan ketidakpastian di masa depan mereka. Clarissa pasrah menerima apapun yang akan dilakukan oleh Axel, meskipun dalam hatinya ia berharap agar tidak sampai benar-benar dicium. Sementara Axel, penuh antusias dan keinginan, meraih veil Clarissa dan mengangkatnya dengan lembut, menampakkan wajah cantik gadis itu. Tanpa ragu, Axel membawa kedua tangannya ke tengkuk Clarissa dan mencium bibirnya dengan lembut, memperdengarkan ciuman pertama mereka sebagai suami istri. Clarissa menikmati lumatan lembut dari Axel, membuat hatinya berdebar-debar dalam kehangatan ciuman itu. Sementara itu, Morgan dan Celine memandang dengan mata memerah, air mata mengalir di pipi mereka saat melihat pengorbanan Clarissa. Mereka khawatir akan perlakuan Axel terhadap putri mereka. Di sisi lain, seorang pria berusia 30 tahun kecewa melihat Clarissa dicium oleh Axel. Dengan hati yang hancur, pria itu meninggalkan tempat tersebut, membawa perasaan sakit dan kekecewaan yang mendalam. Perpisahan itu meninggalkan rasa hampa dan penyesalan dalam diri pria tersebut. °°° Morgan memandang Charles dengan kekhawatiran yang jelas terpancar di matanya. "Aku berharap Axel tidak menyalahkan Clarissa atas kepergian Caroline, Charles." Charles, dengan sabar dan bijaksana, menyahut, "Aku mengerti, Morgan. Ini masalah perasaan, dan kita tidak bisa memaksakan mereka." Mereka berdua saling memandang, saling memahami bahwa di balik konflik yang terjadi, ada perasaan yang perlu dihargai. Setelah itu, mereka mengalihkan perhatian kembali kepada Axel dan Clarissa, yang tengah menjalani momen penting dalam hidup mereka sebagai pasangan yang baru menempuh jalan bersama. Janeeta, wanita paruh baya yang juga Ibu kandung Axel, tersenyum bahagia sambil memandangi Clarissa dan Axel. "Mommy akan mendoakan yang terbaik untuk kalian," ucapnya penuh kasih. Clarissa tersenyum, "Terima kasih, Mommy." Clarissa melirik sebentar ke sampingnya, melihat Axel yang hanya diam tanpa senyuman di wajahnya yang nyaris sempurna. Clarissa kemudian menatap Ibu mertuanya dengan senyum lebar, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Janeeta tersenyum lebar. "Sama-sama, sayang. Mommy berdoa semoga pernikahan kalian langgeng dan bahagia selalu. Dan semoga, Tuhan segera menitipkan rezeki-Nya kepada kalian," ujarnya penuh harap. Deg! Clarissa tertegun oleh ucapan tulus mertuanya. Dengan berat hati, ia meng-Aminkan doa tersebut. Sementara itu, Axel tampak biasa saja, misterius dalam ekspresi wajahnya, entah apa yang dipikirkannya. Setelah Janeeta memberi ucapan selamat, giliran Morgan menyampaikan harapannya untuk kebahagiaan dan kesuksesan bagi pasangan muda tersebut. "Aku tahu kau kecewa, Axel. Tapi, aku berharap tidak mendapatkan kabar buruk mengenai putriku selama hidup bersamamu," ucap Morgan sambil memandang wajah tampan Axel. "Aku akan berusaha bersikap baik," jawab Axel dengan nada sedikit tegang. "Kau harus bisa bersikap baik, karena yang menginginkannya adalah kau sendiri. Selama ini aku sangat respek padamu, tetapi semua itu bisa saja berubah jika putriku meneteskan air matanya karenamu," tegas Morgan, memberikan peringatan kepada Axel. Kali ini Axel tidak merespon. Ia menyadari bahwa ungkapan tadi adalah peringatan keras dari mertuanya. Meskipun begitu, ia tetap bersikap biasa saja, misterius dalam ekspresinya. Setelah itu, Morgan membiarkan istrinya menyapa menantunya. Celine memeluk Axel dan disambut hangat. Wanita paruh baya itu mengungkapkan harapannya kepada Axel, menantunya yang pertama kali. Celine berharap Axel tidak akan menyakiti Clarissa karena kesalahan yang dilakukan oleh Carolina. Axel menyetujui permintaan Ibu mertuanya kali ini, bahwa dia tidak akan menyakiti Clarissa. Namun, pertanyaan masih menguak, apakah itu akan dilakukannya dengan tulus atau hanya sekedar janji tanpa niat menjaga. °°° Beberapa jam kemudian... Setelah beberapa jam berlalu, acara pun berakhir. Para tamu undangan telah pulang dan gedung terasa sepi, hanya keluarga inti yang masih berada di sana. Setelah pesta, keluarga Addison akan diajak oleh Morgan dan Celine ke Mansion Blaxton, karena Wellington bukanlah tempat tinggal tetap mereka. Keluarga tersebut berasal dari California. Sementara itu, pasangan pengantin baru, Axel dan Clarissa, akan pergi ke hotel yang telah disiapkan sebelumnya untuk menghabiskan malam pengantin mereka di sana. "Kamu baik-baik ya, Nak," ucap Celine setelah melepaskan pelukannya dari Clarissa. Clarissa mengangguk sambil tersenyum. "Ya, Mom, aku pasti akan baik-baik saja. Sudahlah, berhenti khawatir. Aku lelah mendengarnya terus-menerus. Mom terus mengulanginya," kata Clarissa sambil mencoba menenangkan Ibunya. Celine menghela nafas pelan. "Mommy hanya cemas, sayang," gumamnya. "Artinya, Mommy tidak percaya padaku. Aku bisa menjaga diriku sendiri, Mom. Lagi pula, Axel..." Clarissa menjeda sejenak, melirik ke arah Axel di sampingnya. Kemudian, ia melanjutkan, "Dia tidak akan melakukan hal buruk kepadaku. Dia juga sudah berjanji padamu tadi." Celine mengangguk pelan sambil melemparkan senyum sendu pada Axel, yang dibalas dengan santun oleh pria itu. "Ya, Mommy percaya pada Axel," balas Celine, mencoba meyakinkan hatinya meskipun sebenarnya dia ragu. Setelah berpamitan dengan keluarganya, Clarissa dan Axel bergegas masuk ke dalam mobil pengantin. Tak berselang lama, mobil itu meluncur meninggalkan gedung menuju hotel. °°° Tiga puluh menit kemudian... Mobil pengantin berhenti di depan lobby hotel. Axel keluar terlebih dahulu, membuat Pak sopir mengira Axel akan membukakan pintu untuk Clarissa. Namun, Axel langsung memasuki bangunan tersebut tanpa melakukannya. "Sebentar, Nona, biar saya bukakan pintunya," ucap pak sopir. "Ah, tidak perlu, Pak, saya bisa buka sendiri. Terima kasih." Clarissa menolak. "Tolong jangan ceritakan apapun kepada keluarga saya dan keluarganya Axel. Bisa?" Pinta Clarissa pada sopir. Pak sopir tampak ragu, namun akhirnya mengangguk dengan gerakan kaku. "Baik, Nona," jawabnya setuju. Clarissa tersenyum ramah ke sopir, lalu mengucapkan kata 'terima kasih'. Setelah itu, ia membuka pintu mobil dan turun. Susah payah ia mengangkat gaun pengantinnya, lalu bergegas mengejar langkah Axel yang sudah agak jauh. Saat Clarissa berbelok menuju lift, ia melihat Axel di sana. Ternyata pria itu masih menunggunya. Axel menatap dingin, tetapi Clarissa memilih untuk tidak merespons. Ia mendekati Axel, dan sebentar kemudian pintu lift terbuka dan keduanya masuk. Beberapa menit berlalu, mereka tiba di lantai kamar tempat mereka akan menginap. Axel tetap maju dengan langkah lebar, tanpa memperhatikan Clarissa yang berjalan dengan susah payah di belakangnya. Gaun yang dikenakan oleh Clarissa cukup menyusahkan perempuan itu. Axel membuka pintu kamar hotel dengan lebar. "Masuk!" ucapnya dingin pada Clarissa. Tidak masalah, Clarissa tidak akan mempermasalahkannya sama sekali. Clarissa melangkah hendak masuk, namun Axel meraih lengan kanannya dan dengan paksa menariknya ke dalam. "Sshhh ... Axel, sakit," Clarissa merintih kesakitan. Axel menutup pintu dengan kasar, lalu mendorong tubuh Clarissa hingga perempuan itu tersungkur ke lantai. Brugh! Clarissa meringis, menahan rasa sakit. Axel mendekati Clarissa, merendahkan tubuhnya dengan menekuk sebelah kaki di hadapan Clarissa. Ia mengapit kedua pipi Clarissa dengan tangan kanannya sambil menatap tajam pada perempuan itu. "Aku yakin kau tahu apa yang akan kulakukan padamu setelah ini, Clarissa!" desis Axel. Clarissa diam, memandang wajah penuh kebencian Axel terhadap dirinya. "Jika sebelumnya kau tidak pernah merasakan hidup 'menderita', maka setelah ini aku akan memberimu pengalaman yang luar biasa. Aku akan membuat pernikahan ini bagaikan neraka bagimu! Kau akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh adik kembarmu dan sepupu sialanmu padaku!" Clarissa tetap diam. "Aku bersumpah akan membuatmu menyesal telah lahir ke dunia ini, Clarissa!" geram Axel. Axel menghempaskan wajah Clarissa dengan kasar, lalu berdiri dan menatap dingin pada Clarissa yang mendongak padanya. Setelah itu, Axel menjauh dan meninggalkan Clarissa sendirian di kamar hotel. ‘Kau salah, Axel. Aku tidak akan pernah menyesal telah dilahirkan ke dunia ini. Justru sebaliknya, aku yang akan membuatmu menyesal karena perlakuanmu padaku!’ Monolog dalam hati Clarissa, sambil menatap pintu yang sudah tertutup rapat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD