Part 2

1075 Words
Sejak menjadi mahasiswi, Kalya melewati hari-harinya dengan semangat menggebu-gebu meskipun kadang letih menggerogoti tubuhnya. Ia harus pandai membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Sungguh melelahkan. Malam-malam sunyi Kalya lalui dengan mengepulkan harapan agar bisa menyelesaikan kuliah dengan lancar. Awalnya Kalya sempat khawatir akan biaya kuliah yang harus dibayar. Untung saja, seperti janjinya beberapa bulan lalu, Nevan benar-benar membantu Kalya mendapatkan beasiswa, utamanya dengan memberi arahan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bagai sebuah keajaiban, ternyata harapannya terkabulkan. Tangis haru tak mampu Kalya tahan bahwa betapa ia bahagia. Semua perasaan suka cita memenuhi batin Kalya. Orang yang pertama kali Kalya beritahu kabar gembira itu adalah ibu Bintang, yang tidak langsung mengucap selamat, tetapi gagu beberapa saat. Kalya tahu, ibu tersayangnya itu pasti sangat kaget karena Kalya memang belum memberitahu perihal kuliahnya kepada orang-orang di panti, lalu kabar mendapatkan beasiswa itulah yang lantas membuat ibu Bintang tidak menyangka. Kalya tak memberitahu dari awal karena takut ibu Bintang semakin kepikiran, dengan meninggalkan panti saja ia sudah memberatkan pikiran ibu Bintang, lalu bagaimana jika Kalya turut mengutarakan niatnya meraih mimpi melanjutkan pendidikan? Pasti khawatir. Kalya bisa menebaknya. "Kal, kamu follow **-nya Kak Aleta nggak?" "Aku nggak—" "Kamu nggak follow? Gila, cantik bangettt! Dia tuh mewakili aura cewek tulen yang sesungguhnya. Pernah tuh aku liat dia ngomong, halusss banget. Asli, kelembutan cewek secara hakiki ya si Kak Aleta inilah. Face-nya sesuai sama sikap dia. Bikin iri tahu nggak?" celoteh Adel atas kekagumannya pada cewek yang tak Kalya tahu seperti apa wajahnya. Kalya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Masa, sih? Kok nggak pernah keliatan?" Adel memutar bola mata. "Kamunya yang nggak pernah liat. Emang sih, beberapa hari ini dia kan lagi sakit." Adel mendekatkan ponselnya ke depan Kalya, memperlihatkan layar cerita ** dari gadis yang menjadi topik pembicaraan mereka. "Kamu nggak liat Instastory-nya yang ini, ya? Tuh, liat. Dia lagi sakit, tangannya pakai diinfus segala." Dengan senyum getir, Kalya menjawab, "Aku, kan, nggak main **. HP aku cuma bisa buat telepon sama kirim SMS." Adel menepuk kening. "Aku lupa, astaga. Duh, maaf-maaf, aku nggak maksud gitu." Adel meringis bersalah. Kalya berusaha tersenyum. Di zaman sekarang, mungkin cuma dia yang menggunakan telepon genggam model jaman dulu, di mana dalamnya tidak bisa mengunduh aplikasi kekinian yang dimainkan para generasi yang orang-orang sebut generasi milenial. Kalya mengerti, jadi wajar saja bila Adel lupa. "Santai aja, nggak apa-apa." Kalya tersenyum maklum. "Suer, aku lupa. Kamu jangan marah, ya? Kita, kan, temen." Adel mengangkat dua jarinya dengan raut bersalah. "Nggak marah kok. Udah, tuh, Pak Razak masuk." Kehadiran dosen mereka membuat suasana di ruangan berubah tenang. Kalya menyimak baik-baik materi yang dijelaskan Pak Razak serta tidak lupa mencatat bagian-bagian yang menurutnya penting. *** Bocah kembar tak identik itu berebutan meraih gagang pintu, beberapa kali keduanya berjinjit. Awalnya kembar berusia tiga tahun itu kompak mengangsurkan tangan ke atas, tapi karena tak mencapai gagang pintu yang ingin mereka sentuh, salah satu dari mereka pun duduk di lantai. Raf tak berniat lagi membantu saudara kembarnya, Zee. Hanya memerhatikan usaha adik perempuannya yang sudah kesal sebab keinginannya untuk membuka pintu kamar tidak bisa ia lakukan. Di belakang keduanya, pemilik kamar diam-diam menertawai tingkah konyol keponakannya dengan bersembunyi di balik tembok pembatas ruang tamu. Zee menyerah. Wajahnya memerah dan mata indahnya mulai berair. Belum sempat suara tangis meledak, sepasang tangan dewasa memeluk Zee dan Raf berbarengan. Keduanya kompak menoleh, lantas binar bahagia terpancar saat tahu siapa orang itu. "Om!" Mereka berdiri memeluk pria yang sengaja menekukkan lutut agar tingginya sejajar dengan Zee dan Raf. "Cari Om?" Si kembar mengangguk bersamaan. "Kangen nggak?" "Kangennn!" Zee meloncat tak karuan, tak lupa kedua tangannya pun saling bertepukan. Senyum Raff tersungging bahagia. Mereka sangat merindukan omnya. "Peluk dong, kalau kangen. Om Nevan nggak ajak kalian jalan-jalan bareng lagi kalau nggak dipeluk." "Ikuuut!" Langsung saja keduanya memeluk Nevan dengan riang. Zee merajuk karena Raf menguasai Nevan lebih banyak. Sedangkan Zee, dia hanya kebagian memeluk sebelah lengan Nevan. Pria itu baru saja pulang bekerja dan disambut oleh dua tuyul lincah yang sepertinya sedang ingin menerobos masuk ke kamarnya. Nevan membawa Zee dan Raf ke tempat di mana orang tuanya berada. "Papa sama mama kamu di mana?" Nevan bertanya pada dua anak dalam gendongannya. Uh, untung saja otot lengannya kuat membawa beban Zee dan Raf. "Papa kerja," jawab Raf dengan pelafalan huruf ‘r’ sekenanya. "Mama?" Nevan menaikkan alis pada Zee. "Nggak tahu." "Sarah lagi ada reunian sama temen SMA-nya. Zee sama Raf Mama yang jaga dari tadi." Mama Nevan muncul dari kamar. "Sama Eyang, sini. Om Nevan mau mandi dulu, bau Om mah." Sontak, Nevan mencium kedua ketiaknya. "Harum, kok, Ma. Mandi parfum sebelum mandi betulan." Nevan terkekeh dan menyugar rambutnya perlahan, lalu mengacir untuk mandi betulan. Nevan: Dua minggu nggak ketemu, nggak kangen apa? Di sini ada yang kangen. My A: Makanya ke sini. Sibuk banget kamu, ya? Padahal papa lagi nggak ada. Bukannya membalas pesan dari Aleta, Nevan malah langsung meneleponnya. 'Halo?" suara dari seberang sana terdengar sangat pelan. "Aku ke sana sekarang, ya?" Tak ada jawaban. "Aleta?" "Aku tunggu dari kemarin tapi kamu nggak dateng-dateng. Sibuk banget pasti." Hati Nevan menghangat atas pengertian yang selalu gadisnya berikan. Bolehkah Nevan merasa beruntung karena telah mendapatkan Aleta? Hubungan mereka sudah berjalan hampir tiga tahun. "Kamu udah sampai rumah, kan?" tanya Aleta. "Iya. Udah mandi juga, nggak bau lagi kayak kata Mama." Gelak tawa Aleta menggema lewat speaker ponsel. Nevan ingin mendengar suara itu secara langsung—tanpa perantara jaringan telepon dan jarak. Jarak? Nevan jadi ingin tertawa. Bukan jarak yang membuat mereka jauh, justru minimnya restu orang tua yang menjauhkan mereka hingga tercipta jarak. Mereka masih berada di negara yang sama, di kota yang sama, juga perasaan yang masih terpaut sama. Nevan melempar handuknya sembarangan arah. Sekali saja ia ingin berbodo amat. Dengkusan yang akan berulang tertahan karena selaan suara dari ujung ponsel. "Nevan?" "Ya?" "Aku—juga kangen. Jengukin aku ya besok." Nevan tersentak. "Kamu sakit?" "Cuma demam kok." Cuma katanya? Nevan mengepalkan tangan. "Dan kamu nggak ngasih tahu? Aku ke sana sekarang." "Ih, nggak usah. Besok aja, udah malem ini." Nevan mengambil kunci mobil yang tergeletak di nakas. "Kasih tahu, kamu di mana," kata Nevan tegas. "Nevaannn ... besok aja, ya? Aku baik-baik aja. Tidur, gih. Habis itu besok baru ke sini, terus kita ketemu deh." Pada akhirnya, Nevan berbaring telentang di tempat tidur. Membayangkan wajah imut Aleta saat merayu saja sudah membuatnya luluh, apalagi jika memandang Aleta secara langsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD