Bab 19 : Pulang Bareng

2334 Words
Sepulang kerja. Gagal bertemu dengan Emilia tadi pagi, Aydan kemudian berencana mengunjunginya sore ini. Aydan segera meluncur menuju swalayan kecil dekat bank Sumut seperti yang diucapkan pria penjaga kasir. Aydan mencari di sisi kiri dan kanan lalu melihat plang nama minimarket tempatnya bekerja. Aydan parkir di tempat yang tersedia lalu turun. Membawa tas selempangnya, menarik napas dulu sebelum membuka pintu. Klining. Aydan juga mendengar suara lonceng yang sama dengan swalayan kecil sebelumnya. “Selamat da-tang!” ucap Emilia yang baru saja melongok dari lorong makanan ringan. Aydan menoleh dan berpura-pura kaget. Emilia tersenyum lebar hingga giginya terlihat. “Kau?” sapanya lalu berjalan ke arah Aydan membawa sebungkus makanan yang sedang disusunnya. “Oh, kau di sini juga? Bukannya kemarin di sana?” tanya Aydan. “Hihi, iya. Aku ditugaskan kemari.” “Oh, gitu.” “Mmh, tapi ini juga udah mau pulang. Ganti waktu sama temen.” “Oya?” Aydan mendadak punya rencana lain setelah mendengar ucapannya. Emilia mengangguk. “Selesai menyusun ini, aku langsung balik,” sahutnya. “Oh.” Aydan tersenyum. “Kau mau beli apa?” tanyanya. “Mmh, makanan ringan.” Aydan menunjuk ke arah rak di tengah. “Silahkan!” Emilia memberinya jalan. Aydan melaluinya, aroma tubuh yang berasal dari tubuhnya pun tertinggal di sel olfaktori milik Emilia. Wanita itu tersenyum simpul lalu melanjutkan pekerjaannya di rak yang sama dengan arah Aydan memilih makanan. “Kau pulang ke arah mana?” tanya Aydan. “Aku ke arah karya,” jawabnya sembari bekerja. “Oh, pulang naik apa?” tanya Aydan. “Naik angkutan umum kadang naik ojek online,” jawabnya. “Mmh, hati-hati kalau di jalan. Aku sering mendengar kabar buruk dijalanan, banyak orang jahat.” Aydan mengajaknya ngobrol. “Iya, sebenarnya semua tergantung nasib. Kalau memang Allah ngasih musibah, ya sebaik apa pun kita jaga pasti terjadi.” “Setidaknya bisa dihindari.” Emilia tersenyum. “Makasih ya atas nasehatnya.” Ia menoleh pada Aydan. Aydan membalas senyumannya lalu mendekati Emilia. Wanita itu terdiam, tangannya menjulur ke arah kirinya. Perlahan Emilia mengikuti arah tangan itu dan melihat Aydan mengambil sebungkus keripik. Emilia tertawa sendiri. ‘Astaga! Apa yang kupikirkan? Dia kan mau belanja, bukan merayuku,’ gumamnya dalam hati sambil menunduk. Aydan tersenyum menatap wajahnya yang sedang malu lalu memasukkan keripik itu ke keranjang. “Emilia!” panggil temannya. “Ya.” Wanita itu menyahut. “Si Nana udah datang,” kata temannya. “Oh, iya-iya. Aku akan segera berganti shift,” sahutnya. Aydan masih berada di sana. Emilia membawa kotak kosong yang sudah dipindahkan semua isinya ke rak. “Kau mau bayar?” tanyanya. Aydan mengangguk. Emilia berjalan ke arah meja kasir, Aydan mengikutinya. Emilia menghitung semua belanjaan, kali ini tidak ada yang salah. Aydan membayar totalannya lalu keluar. Emilia melihatnya, pipinya kembali memerah karena mengingat kejadian tadi. “Dih, napa lu senyum sendiri?” tanya temannya. “Apaan? Gak ada!” Emilia pun pergi dari sana dan segera berganti pakaian. Temannya heran sendiri melihat Emilia pipinya merah jambu. Sepuluh menit kemudian. “Aku pulang ya, hati-hati jaga toko!” “Yoi, hati-hati lu ya!” Emilia membuka pintu lalu berdiri di depannya. Menatap ke arah langit dengan posisi tangan memegang tali tas selempangnya. “Mau pulang?” Seseorang bertanya padanya dari sisi kanan. Emilia menoleh dan terkejut karena suara itu berasal dari Aydan. “Kau? Kukira udah pulang,” sapa Emilia dengan rasa heran, kelopak matanya terus mengayun beberapa kali. “Tadinya aku mau pulang, tapi mengingat daerah sini gak ada angkutan umum dan kau juga akan pulang - jadi aku putuskan untuk mengantarmu sampai ke jalan yang ada angkutan umumnya,” jawab Aydan. Emilia tersenyum menahan tawanya. Ia menganggap bahwa Aydan terus memberikan alasan lucu sejak kemarin. Emilia angguk-angguk kecil dan memainkan bibirnya. “Oke, aku terima tawaranmu. Kupikir tadi aku ingin jalan saja ke arah sana,” sahutnya. Aydan menggerakkan kepalanya ke kanan lalu beranjak ke arah motornya. Aydan memberikan helm padanya dan Emilia menerima lalu memakainya. Setelah itu Emilia malah bingung. ‘Bukannya dia anti bersentuhan? Lalu gimana aku naiknya? Nanti kan pasti megang bahunya?’ tanyanya dalam hati. Emilia masih mematung di samping Aydan. “Kenapa?” tanya Aydan. “Mmh, apa aku boleh megang bahumu? Motormu tinggi, aku gak bisa naik kalau gak pegangan, tapi kan kau anti sentuhan ya?” katanya terus terang dengan polosnya. Aydan tersenyum simpul. “Aku pakai jaket, tidak bersentuhan secara langsung.” “Oh, oke!” Aydan menahan motornya selama Emilia naik, perlahan duduk di belakangnya tanpa berpegangan ke pinggang. “Udah?” tanya Aydan. “Ya, sudah. Hati-hati ya!” Aydan mengangguk lalu menjalankan motornya dengan kecepatan lambat di awalnya. Emilia pun terpaksa memegang jaketnya dari bagian belakang. Jika tidak dia bisa jatuh karena posisi yang tidak menguntungkan untuk dua orang yang tidak ada hubungan sama sekali. Tiba-tiba ada mobil yang berhenti mendadak. Aydan otomatis mengerem kuat dan membuat Emilia terhempas ke depan dan menyatu dengan punggungnya. “Astaghfirullah! Maaf ya, Aydan! Aku gak liat tadi, jadi menabrakmu.” Emilia malah gak enak hati sendiri karena tidak fokus melihat ke depan. “Mmh, bukan salahmu. Mobil di depan berhenti mendadak.” “Oh.” Emilia pun meletakkan tasnya di tengah-tengah mereka, ketika ada gerakan mendadak, ia akan menahannya dengan tas. Aydan sudah masuk ke arah jalan karya, Emilia bingung karena tujuannya tadi kan untuk mengantarnya sampai ketemu angkutan umum, kenapa jadinya sampai tujuan? “Aydan!” panggilnya. “Ya.” “Kayaknya di sini juga ada angkutan ke rumah temenku,” kata Emilia. “Oh, gitu. Gak mau aku antar sampai rumah temannya?” “Eh, Kau mau antar? Yakin?” “Terserah, kalau mau biar aku antar, kalau gak mau ya kita berhenti di sini.” Emilia memutuskan untuk berhenti saja. Aydan pun menepi lalu Emilia turun. “Kenapa gak sekalian aja?” tanya Aydan. “Aku segan sama temanku. Dia orangnya gak suka melihatku di antar jemput pria,” jawab Emilia. Aydan mengerutkan alis, merasa aneh dengan tipe temannya. “Baiklah, aku tungguin sampai kau dapat angkutan.” Aydan menerima helm yang diberikan oleh Emilia. Mereka pun menunggu angkutan lewat. Aydan tetap duduk di motornya sembari memegang helm. “Jadi kau belum pulang? Kenapa gak dibicarain sama ayahmu?” Emilia menggeleng. “Aku ingin memberinya pelajaran. Dia dari dulu selalu membuat keputusan sepihak tanpa tanya pendapatku.” “Dia ayahmu, kau adalah anaknya. Tidak baik terlalu lama marahan. Pulanglah dan omongin baik-baik sama ayahmu.” Emilia terdiam dan menunduk. “Baiklah, aku akan coba menghubunginya nanti malam.” Aydan mengangguk. Emilia melambaikan tangan pada angkutan berwarna hijau di belakang. “Aku pulang ya, makasih udah antarin sampai sini. Hati-hati di jalan.” Aydan tersenyum. “Oke!” ia melambai singkat lalu Emilia naik ke dalam angkutan dan melaju. Aydan masih memperhatikan mobil itu jalan sampai jauh kemudian kembali ke arah rumahnya. Sehari sebelum acara arisan. Tukang masak yang sudah dipinta Raihan datang untuk menyiapkan bahan yang akan dimasaknya besok. Hari ini dia akan membuat bumbu agar besok tidak terlalu sibuk. Hanin menemaninya di dapur. Raihan menghampiri dan memanggil istrinya. “Hanin.” “Ya, Mas?” Hanin mendekati suaminya. “Mas mau pergi, bu Erin sudah di sini. Kamu jangan capek-capek ya,” kata Raihan memegang bahunya. “Iya, Mas. Makasih ya udah manggil bu Erin untuk bantuin Hanin.” Raihan memeluknya. “Untukmu apa sih yang enggak Mas kasih?” “Hanin sayang Mas.” Hanin melingkarkan tangannya ke pinggang. Aydan melihat orangtuanya bermesraan pagi ini, tidak ingin mengganggu, ia melambatkan gerakan agar mereka selesai tanpa merasa malu. Raihan melepas pelukannya dan Hanin menyalam tangannya. Raihan mencium keningnya. “Assalamu’alaikum,” ucapnya. “Wa’alaikumsalam.” Aydan tiba di lantai satu dan Hanin melihatnya. “Aydan! Gak bareng Papa ke kantor?” tanyanya. “Aydan naik mobil aja.” “Mobilmu dipake sama Kaif,” sahut Hanin melihat anaknya pergi pagi-pagi sekali. “Oya, kalau gitu Aydan naik motor aja.” Ia menghampiri mamanya lalu menyalam tangannya. “Hati-hati, Nak!” “Iya, Mama. Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam.” Aydan pergi bersama dengan papanya dengan kendaraan berbeda. Raihan memanggilnya. “Aydan!” “Ya, Pa?” “Pakai saja mobil kakakmu,” jawab Raihan. “Kuncinya sama kak Kaif, Pa!” “Ada serepnya dengan mama, ambil lah,” pinta papanya. “Iya, Pa!” Aydan tidak mau melawan dan menuruti perkataan Raihan. Aydan kembali masuk, minta kunci cadangan pada Hanin. Hanin memberikannya lalu Aydan pun berangkat. Untuk surat mobil biasa diletak Kaif di dashbor. Kebiasaan buruk darinya yang tidak berpikiran kalau dicuri maka pencurinya akan merasa beruntung. Dapat mobil dan suratnya. Aydan memasukkannya ke dalam dompet demi keamanan. Bahkan surat tanda nomor kendaraan milik Aydan saja di masukkan ke dompet khusus. Aydan mendapat panggilan dari nomor tidak dikenal. Ia pun menjawabnya. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” suara wanita terdengar dari sana. “Siapa ya?” tanya Aydan. “Jadi udah gak kenal lagi nih sama aku?” tanyanya. Bau-baunya seperti penipu. “Maaf, gak kenal!” jawab Aydan. “Hmm, Beib! Ini aku Tania.” Aydan sontak menghentikan mobilnya di tengah jalan. Untung saja dia melewati jalanan yang sepi. ‘Tania? Astaghfirullah, dia tau nomorku dari mana?’ tanyanya dalam hati. Aydan menjalankan mobilnya lagi perlahan. “Aydan, aku ingin bicara.” “Maaf, aku sibuk.” “Aku samperin ke kantor ya?” “Gak usah, aku sibuk.” “Ck, kau selalu sibuk. Aku serius ini mau bicara.” “Masalah apa?” tanya Aydan. “Masalah kita,” jawabnya. Aydan mulai geram padanya. “Kita? Siapa kita? Kita adalah dua orang yang tak pernah saling kenal.” “Aydan, aku suka padamu!” Ciiiit! Kembali Aydan mengerem mobilnya dengan mendadak. Ia mengaktifkan perekam suaranya lalu menepikan mobilnya. “Kau tau nomorku dari mana?” tanya Aydan. “Aku mencarinya, namanya juga usaha,” jawab Tania. “Kau udah punya pacarkan? Kenapa harus menggangguku?” “Aydan, aku gak punya pacar.” “Tania, aku tau kau adalah kekasihnya kakakku.” “Hmm, aku sudah tidak menyukainya.” Tania tidak tau kalau percakapan ini direkam Aydan. “Oya, serius kau tidak suka lagi padanya?” tanya Aydan. “Ya, Kaif itu tidak baik. Dia kejam, tidak selembut dirimu.” Aydan tertawa miring. “Kau belum kenal aku, bagaimana bisa tau kalau aku lembut?” “Itu tidak penting. Aku menyukaimu, aku ingin bertemu denganmu sekarang!” pintanya memaksa. “Maaf, gak bisa. Aku harus kerja.” “Ya udah, aku akan mendatangi kantormu.” Aydan mematikan panggilannya dan menutup mata, nafasnya terasa berat karena menghadapi wanita ini. Sebotol air mineral ia teguk untuk menenangkan dirinya. “Kak Kaif gak boleh bersama dengannya, aku tidak suka dia dengan Tania. Wanita beracun itu bisa mengelabui kak Kaif.” Aydan pun melanjutkan perjalanan ke kantor. Sesampainya Aydan di ruangan, ia menitip pesan pada Yuni untuk tidak menerima tamu atas nama Tania. Yuni mencatatnya dalam buku agenda. “Dia siapa, Pak?” “Saya gak kenal, dia sedikit sakit sepertinya.” Aydan tersenyum lalu menggerakkan jari telunjuk kanannya di samping kepalanya dengan maksud menjelaskan bagian yang sakit ada di sana. Yuni pun tersungging lalu tertawa kecil. “Oke, Pak!” “Ada tamu di dalam?” tanya Aydan. “Gak ada, Pak. Pagi ini juga jadwal kosong, sepertinya Bapak akan banyak istirahat setelah kemarin sibuk bekerja.” “Tidak ada yang bersantai, kalau Saya tidak ada kegiatan maka Saya akan berkeliling memantau bagian perancangan dan lainnya.” “Siap, Pak! Saya akan mengikutinya.” Aydan tersenyum lalu masuk ke ruangannya. Lagian masa kerjanya juga tinggal sebentar lagi. dia harus menikmati semuanya. Aydan mengunjungi masing-masing bagian dan mendapat sambutan hangat. Situasi yang harusnya ia dapat sejak pertama menjadi CEO baru dirasakannya sejak seminggu terakhir. Tania memang menepati janjinya mencari Aydan di kantor. Pria itu melihat wanita yang tak harusnya dijumpainya kemarin. Aydan menarik baju Yuni untuk bersembunyi. Yuni melihat ke arah ujung. Hanya ada seorang wanita di sana. “Bapak sembunyi dari dia?” tanya Yuni. “Lebih baik sembunyi dari pada menghadapinya.” “Pacar?” “Bukan.” “Oh.” Yuni mengangguk. “Berarti pengagum rahasia.” “Ssshh. nanti dia dengar.” “Maaf, Pak!” Yuni memelankan suaranya. Aydan mengintai dari balik dinding. Tania menghubungi Aydan, ia langsung mematikannya dengan cepat. Tidak berapa lama kemudian Kaif keluar dari lift dan berjalan menuju ruangan Aydan. Adiknya mendelik. Akan ada pertunjukan seru antara dia dan kakaknya. “Itu siapa, Pak?” “Kakak saya.” “Oh, gitu.” Kaif terkejut melihat Tania ada di sana. “Kau? Ngapain di sini?” tanyanya. “Aaah, itu–aku-“ Tania gugup menjawabnya. “Aku mau ketemu sama kamu, Kaif!” jawabnya. Kaif tidak percaya. Tania belum pernah diajak sama sekali ke perusahaan ini apalagi ke ruangan CEO. “Kau kemari mencariku? Bukankah kau tau aku belum kerja di sini?” tanya Kaif. ‘Aduh, sialaan! Kenapa sih pake muncul segala? Itu si Aydan ke mana sih? Tolongin aku,’ gerutu Tania dalam hati. “Mmh, aku hanya ingin melihat-lihat saja perusahan ini, kan kamu nanti bakalan kerja di sini. Aku jadi bisa lebih familiar gitu nantinya. Hehehe.” Kaif mulai curiga. Alasannya tidak masuk akal. Kaif tersenyum kecut dan menyuruhnya pulang. Tania melotot. Kaif membalas tatapannya. “Kenapa? Gak mau pulang? Terus mau ngapain di sini? Aku mau belajar dengan adikku.” “Ahaha, aku ikut ya?” pintanya. “Jangan, aku gak konsen nanti.” “Ayolah, Kaif!” “Tidak! Pulanglah, besok kan acara arisan di rumah. Kau harus persiapkan diri untuk bertemu orangtuaku.” Tania melipat mulutnya dan mengangguk terpaksa. “Baiklah. Aku pulang. Sampai ketemu besok.” “Oke, aku akan menjemputmu besok!” “Ya!” Tania menjawabnya tanpa menoleh dan jalan ke arah lift. Aydan lega karena Kaif mengusirnya. Yuni memperhatikan keanehan mereka. “Apa wanita itu pacarnya kakak Bapak?” tanya Yuni. “Ya, semoga mereka berakhir. Dia bukan wanita baik.” Aydan berdoa segera putus antara Kaif dan Tania. “Aamiin.” Yuni melihat hal serupa dengan yang diucapkan bosnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD