Dika Memulai

2654 Words
Cahaya yang masuk lewat jendela, mengakibatkan silau saat aku baru membuka mata. Langsung saja aku halau dengan lengan dan berusaha untuk bangun. Seketika kepalaku pusing, namun tidak aku hiraukan. Tetap memaksa hingga sekarang posisiku sudah duduk bersandar. “setengah tujuh”, gumanku saat pandangan sudah tidak lagi buram hingga melihat jelas jarum jam yang berada diatas dinding kamar. Karena kepalaku masih sangat pusing, akupun langsung memijat pelan keningku. Berharap sakitnya sedikit reda.   Decitan pintu walk in closed yang di buka.  Aku berusaha menoleh  dengan tangan yang masih memijat pelan. Alvira keluar dengan menyimpulkan pita baju yang ada di pinggang longdress motif bunga kecil-kecil yang ia gunakan. Terlihat sangat simpel, tidak seperti pakaian Alvira saat akan berangkat kerja. “Alhamdulillah, Sudah bangun, Kak,” ucapnya ketika mengangkat kepalanya. Akupun hanya mengangguk. Karena meskipun menjawab dengan suara, aku tak yakin Alvira akan mendengar. Tenggorokanku terasa kering.   “Masih pusing?” tanya Alvira sambil melangkah menuju tempat tidur.   “Bisa kamu bantu pijatin?” pintaku saat Alvira sudah berdiri disisi tempat tidur.    “Vir?” panggilku karena tak mendapatkan respons darinya. Alvira hanya menatapku lama sedangkan kepalaku sudah semakin pusing.   Dengan ragu Alvira menggerakkan tangannya, dan terlihat sekali dari gerakannya kalau ia sedang canggung. Namun pijatannya pada  kening, pundak dan terakhir di kepala bagian belakang terasa nyaman, mampu mengurangi pusing yang menyerang. Aku merasakan perasaan aneh yang tak dapat ku definisikan saat kulit kami bersentuhan.   “Gimana Kak? Masih pusing?” tanya Alvira saat tangannya sudah berhenti.   “Sudah lebih baik,”jawab singkatku. Kemudian aku duduk bersandar kembali.   Alvira mengambil bantal yang biasanya ia gunakan, dan meletakkan di belakang  kepalaku yang bersandar. “Biar nyaman bersandarnya, Kak.”   “Terima kasih.” Di balas Alvira mengangguk serta senyum yang menenangkan.   “Kakak tunggu bentar, aku ambilkan makanan, setelah itu obatnya baru diminum.” Sekali lagi aku hanya mengangguk.   Tak lama Alvira kembali masuk dengan membawa semangkuk bubur oats dan juga segelas air putih serta beberapa butir obat.   “Tidak ada makanan selain itu?” tanyaku dengan suara yang lemah.   Alvira menghembuskan nafas sebelum akhirnya ia bersuara. “Maaf kak, Vira tidak bisa buatin Kakak bubur. Jadi aku ambil mudahnya dengan menyeduhkan Kakak oat. Tapi cukup kok untuk asupan gizinya. Ini aku seduh pakai s**u, madu dan juga ditambah pisang. Rasanya cukup enak kok.”   Mendengar nadanya yang lemas, seperti merasa bersalah. Dan serangkaian promosi akan masakan yang ia bawa, Aku merasa tidak tega melihat wajahnya yang tiba-tiba sendu. Dia sudah mau merawat, menyiapkan makanan. Sangat tidak berperasaan jika aku tak menghargainya dengan mencicipi oats tersebut.   “A” suaraku yang sudah membuka mulut. Dan Alvira hanya memperhatikan dengan ekspresi seperti orang bingung. Dan itu nampak lucu di wajahnya. “Suapin,” perintahku karena Alvira tidak mampu memahami bahasa isyaratku yang sudah membuka mulut.   “Eh, iya… Kak” jawabnya dengan gugup. Langsung saja ia menyendok bubur terburu-buru seperti salah tingkah. Itu berhasil membuat sudut bibirku tertarik katas. Namun saat hendak menyuapkan.  Sebelum berhasil memasukkan sesendok oats ke mulutku, tangan Alvira berhenti mengudara. Aku hanya tersenyum kemudian meraih pergelangan tangan tersebut dan membawanya ke mulutku. Aku tahu ia sedang ragu!.   “Enak.”   Apresiasi walau hanya satu kata itu mampu membuat Alvira tersenyum. Ia sangat manis dan tidak membosankan ketika sedang tersenyum. Menjadi hiburan tersendiri saat aku terbaring sakit. Saat makanan yang kukunyah habis, aku membuka mulut lagi. Alvira pun langsung menyuapkan kembali hingga semangkuk oatnya itu habis berpindah keperutku.   Tanpa di duga tangan Alvira terulur kesudut bibirku. mengusap pelan, mungkin ada sisa oat, sehingga Alvira membantu membersihkan. Saat tangannya di tarik menjauh aku langsung menggenggamnya. Sekali lagi Alvira terkejut dan kita lama terdiam saling memandang. Ku bawa tangan Alvira mendekati bibir dan cup, “terima kasih sudah mau merawatku.”   Baru selesai mengucapkan ‘terima kasih’, Alvira langsung menarik tangannya dengan cepat dan menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Kemudaian aku melihat pergerakan kepalanya yang mengangguk. Ini lucu sekali. Tidak pernah terfikirkan olehku menikah dengan perempuan yang unik seperti dia, terlihat keras kepala dalam menyampaikan isi otaknya, namun bisa tersipu ketika di perlakukan manis.   Alvira sudah mengangkat kepalanya, aku lihat masih ada semburat merah pada pipinya. Matanya masih terpejam. Aku lihat ia menarik nafas dalam hingga membuat posisinya tegak. Aku yakin ini adalah teknik Alvira untuk mengontrol emosi dirinya. Terlalu sering aku melihat Alvira melakukan ini.   Dugaanku benar. Saat Alvira membuka mata, ia langsung memberikan senyum yang lama. Ciri khas Alvira untuk menyesuaikan perubahan ekspresinya. Setelah itu ia menutupi sikap tersipu sebelumnya dengan mengambilkan butir obat dan juga segelas air putih yang di serahkan ke aku. “Kak, diminum dulu obatnya.”   Tanpa kata, Aku langsung menelan obat itu. Karena tipikalku akan menelan banyak obat atau disuntik di bagian manapun tidak masalah. Asalkan cepat sembuh. Aku bukan tipe orang yang bisa lama istirahat di tempat tidur.   “Ini.” Aku menyerahkan gelas kosongnya ke Alvira   “Vira ke dapur dulu ya Kak, mau meletakkan ini,”izin Alvira dengan menunjukkan peralatan yang ku gunakan makan.  Yang aku jawab anggukan memperbolehkan.   Saat Vira sudah berdiri dan akan melangkah keluar.“Kamu hari ini tidak berangkat kerja?”   Alvira yang akan melangkah, mengurungkan gerakannya. “Aku sudah izin hari ini tidak masuk Kak”   “Oh, oke. Habis ini bantu aku membersihkan diri ya!”   “Kakak mau mandi?”   Aku menggeleng pelan. “Kamu bantu aku washlap pakai air hangat ya. Kepalaku pusing, Tidak sanggup jalan dan berlama di kamar mandi”   “Washlap?” “Iya, atau kamu mau biarin aku tidak membersihkan diri? sudah sangat gerah ini. Kalau tidak kamu tolong panggilin Mama. Aku minta tolong Mama saja.”   “Hah, Iya Kak. Biar Vira saja yang bantu Kak Dika. Tapi Vira meletakkan ini dulu,” jawab Alvira cepat baru ia melanjutkan pekerjaan tertundanya meletakkan peralatan makan yang kotor ke dapur.   Andai kepalaku tidak pusing, Aku pasti akan tertawa melihat sikap dan tingkah Alvira hari ini.   Tidak lama Alvira masuk kembali ke kamar, membawa bak kecil kosong. Masuk ke kamar mandi untuk mengisi airnya dan mengambil handuk kecil di walk in closed. Seperti sebelumnya awalnya ia ragu untuk melakukannya. Apalagi aku yang segaja menyuruhnya untuk membantuku membuka kaos. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Kalaupun memilih untuk memanggil Mama,  beranikah? Bisa-bisa dimarahi Mama. Karena apa gunanya ada istri, tapi kalau sakit tidak bisa merawat suami yang sakit. Dan aku yakin akan berakhir panjang dengan Alvira yang juga dimarahi bunda. Mengingat keakraban Mamaku dengan Bunda. ______________________   Obat yang di berikan Alvira pagi tadi bereaksi cepat. Setelah membersihkan diri, kepalaku yang masih pusing membuatku memilih istirahat dengan berbaring. Mungkin reaksi obat, aku tertidur hingga pukul sepuluh pagi. Lumayan lama, kisaran dua jam aku tertidur. Dan Saat bangun sudah tidak merasakan pusing.   Aku mengedarkan pandangan, hingga melihat Alvira yang menggunting dan juga seperti merangkai sesuatu disofa.   “Kamu ngapain?”   Alvira mengangkat kepala, mengalihkan fokusnya dari sesuatu yang di kerjakannya itu. “Efek tidak ada kerjaan Kak.”   Setelah menjawab Alvira membereskan perlengkapan yang dikerjakannya kemudian menyimpan diatas rak samping TV. Disana aku melihat ada dua paper bag. “Dia suka shopphing juga.”   “Kakak membutuhkan sesuatu?” Tanya  Alvira dengan duduk disisi tempat tidur yang kosong. Aku menjawab dengan gelengan.   Aku berusaha bangkit, kemudian mengambil macbook yang berada diatas nakas. Membuka email dan chat penting dari client. Alvira hanya melirik saja kemudian melakukan hal yang serupa, mengecek ponselnya. Namun tidak lama karena Alvira langsung meletakkan ponselnya dan menukarnya dengan majalah.   Keadaan menjadi hening, kami sama-sama sibuk dengan aktifitas masing-masing. Hingga pintu kamar yang tiba-tiba terbuka tanpa mengetuk pintu. Aku siap-siap akan memarahi siapapun yang masuk tanpa permisi itu. Namun saat menampakkan diri ternyata sosok mungil Tiara, aku mengurungkan niat.   “Mamaa…” teriak Tiara yang berlari kearah Alvira. Dan berhenti tepat di depan Alvira kemudian mencium punggung tangan Alvira.   “Kalau datang Assalamualaikum dulu sayang,” pesan Alvira dengan tangannya yang bebas mengacak pelan puncak kepala Tiara saat salim.   “Hehe.. ma’af ma lupa.”   Setelah itu Tiara berusaha naik keatas tempat tidur dan merangkak kearahku. “Papa sakit?” tanya Tiara dengan mencium punggung tanganku juga.   Saat Tiara memanggil Alvira, Mama, akupun tak mau kalah. Tiara aku suruh panggil Papa. Biar dia bisa merasakan punya orang tua, walaupun bukan kandung.   “Ia, sudah lebih baik kok,” jawabku denga senyum.   Tubuh Tiara langsung diangkat Alvira dan diletakkan pada pangkuannya. “Sayang, kalau naik ke tempat tidur sepatunya di lepas dulu dong,” nasihat Alvira dengan membuka sepatu yang di gunakan Tiara.   “Ma’af ma, lupa lagi hehe.”   Mendengar jawaban Tiara Alvira hanya menggeleng saja.   “Ma.. mana baju buat Tiara?”   Mendengar pertanyaan Tiara, aku langsung memandang Alvira.   “Kemarin aku belikan baju untuk Tiara sama Kakak juga. Tadi pagi aku bilang ke Tiara bajunya akan aku kasih ke Tiara setelah pulang sekolah. Dan sekarang ini anak nagih kesini,” penjelasan Alvira yang mengerti arti tatapan bertanyaku.   Alvira menurunkan Tiara ketengah tempat tidur. “Sebentar ya, mama ambilkan bajunya.”   Alvira turun dari tempat tidur, mengambil dua paperbag yang aku lihat tadi. Kemudian membagikan ke Tiara dan Aku.   Tiara langsung saja mengeluarkan isi paperbag nya.  sebuah baju muslim yang lengkap dengan jilbabnya.   “Wah.. ma… cantik sekali,” teriak Tiara dengan mengangumi bajunya.   “Tiara suka? Ya sudah nanti dipakai kalau Tiara ngaji ya.” Tiara langsung mengangguk.   “Dalam rangka apa kamu ngasih kita hadiah?” tanyaku to the point setelah melihat isi paper bag sebuah kemeja merah maroon.   “Apa memberi harus nunggu moment dulu Kak? Kemarin aku ke mall dan melihat kemeja itu bagus buat Kakak, serta baju muslim ini bagus untuk Tiara. Kalau Kakak tidak suka tidak apa-apa kok.”   Yang dijawab ada benarnya juga, sehingga aku tidak mengejar dengan pertanyaan lagi. Apalagi keponakan kecilku itu sudah merengek lapar dan minta disuapin Alvira. Dia jadi manja setelah Alvira ada disini.   “Kak, aku nemani Tiara makan dulu ya, satu jam lagi waktu Kakak minum obat. Nanti aku bawakan Kakak makanan sekalian sama obatnya juga,” izin Alvira   “Iya, nanti habis nyuapin Tiara. Suapin aku lagi ya.”   “Ih, papa kan sudah besar, ngapain minta disuapain?”   Aku yang mengoda Alvira justru di respons oleh keponakan kecilku, dan itu membuat Alvira menahan senyumnya. Sedangkan aku hanya bisa menggaruk kepala yang tak gatal. Namun Alvira mengiyakan sebelum akhirnya keluar kamar dengan Tiara.   Kamar menjadi sepi. aku menyibukkan dengan macbook. Mengontrol pekerjaan yang aku tinggalkan sambil menunggu Alvira.   Empat puluh menit berlalu Alvira masuk membawa makanan dan obatku. Kenapa lama sekali? karena Alvira tidak hanya menyiapkan makan tapi juga menemani Tiara tidur siang terlebih dahulu.   Alvira benar-benar menyuapiku seperti tadi pagi. Namun Ini tidak secanggung pagi. Sepertinya ia sudah mulai biasanya, dan itu membuat sudut bibirku tertarik ke atas.   Setelah makan, Alvira mengingatkanku untuk sholat sebelum istirahat lagi. Karena sudah masuk waktu Dhuhur. Aku teringat Papa yang sakit terbaring tidak meninggalkan sholat, apalagi dengan kondisiku yang tidak separah Papa. Apakata dunia kalau meninggalkan sholat. Cukup subuh tadi saja aku melewatkan sholat dan harus mengganti.   Aku yang sudah sanggup berdiri, menjadi imam untuk Alvira. Aku sekarang merasakan keindahan pernikahan. Bisa ada teman untuk beribadah, serta ada yang mengingatkan saat mulai lalai bahwa manusia di ciptakan untuk beribadah.   Usai sholat, sama seperti tadi pagi setelah minum obat rasa ngantuk mulai menyerang. Walaupun wajah sudah dibasahi air wudlu. Aku kembali membaringkan diri untuk istirahat. Dan Alvira yang baru selesai melipat mukenah mengambil peralatan makanku yang pastinya akan ia bawa kedapur.   “Kamu bawa kedapur nanti aja, sini istirahat dulu,” perintahku sambil menepuk tempat tidur.   “Kak.. aku gak..”   “Ini perintah!” tegasku membuat Alvira menurut dan menempati sisi tempat tidur yang biasanya ia gunakan istirahat. Dan jilbabnya sudah ia letakkan di nakasnya. Setelah Alvira tidur terlentang, aku menarik pinggangnya untuk mendekat. Dia kembali diam menegang menetapku. “Kita sudah halal, biasakan dengan sentuhan dan kedekatan kita. Lebih dari inikan tidak apa-apa.”   Alvira tetap saja diam. dan hanya menatapku tak percaya. Tak aku hiraukan malah semakin mengeratkan pelukanku pada pinggangnya. Dan rahangkuku bertumpu dikepalanya. Menghirup harum bau sampo Alvira. _____________________   Suara adzan ashar, membangunkanku. Senyumku terbit saat membuka mata. Pertama kali yang kulihat Alvira tidur pulas dengan posisi yang miring, dan kepala yang menempel pada dadaku. Sangat manis dia saat tidur, namun akan jadi lawan yang sulit terbantahkan saat beradu pendapat.   Aku mainkan rambut membuat harum samponya semakin menguat. Dan ini bagaikan canduku saat ini.   Aku rasa rumah tangga ini tidak buruk jika di pertahankan. Dan hari ini aku merasakan ada yang beda dari diriku. Bagiamana mungkin dari tadi aku bisa terus senyum hanya karena Alvira. Bahkan aku menggodanya dan berani untuk memulai untuk bersentuhan intim disaat dia sedang malu-malu mau. Disaat sebelumnya kami memang berbaring di tempat tidur yang sama, tapi kami tidur di ujung tempat tidur sehingga ada jarak dan terkadang terbatasi guling. Namun sekarang lihatlah tidak ada semili jarak karena tubuh kami yang menempel.   Terakhir aku melakukan aksi menggoda perempuan terhadap mantan obsesiku. Dan setelah putus dengannya, aku beranggapan negatif pada setiap perempuan. Karena bagiku, wanita itu hanya akan mengincar harta dan juga akan berbangga karena bisa bersanding dengan orang setampan aku. Sehingga aku sudah tidak pernah menghiraukan mereka yang berusaha dekat denganku.   Mungkin, bila aku mencoba melabuhkan pilihan hatiku pada Alvira, perempuan yang dalam pelukanku saat ini, ia yang berstatus istriku bukanlah pilihan sulit. Walau cinta  diantara kami belum tumbuh cinta, tapi bisa ditanam dan dipupuk dengan kebersamaan. Dan pasti butuh proses, tidak akan cepat karena kami  belum bener-benar saling mengenal. Saat Alvira dengan kepribadiannya masih menjadi teka-teki, dan dihatiku masih bertahtakan …   “Arhgh…”   Aku berhenti memainkan rambut Alvira namun masih menatapnya lekat. Setelah ia mengerjabkan matanya untuk melakukan penyesuaian cahaya tangan kirinya secara reflek mendorong dadaku membuat tubuhnya sedikit mundur membuat jarak. Ia mengankat kepalanya  menatapku lama dengan pandangan terkejut. Langsung ku geser tubuhku mendekat. Mengikis jarak. Kemudian memainkan rambutnya lagi. “Kenapa kaget, Tidak ada yang salah, Seorang istri bangun dalam pelukan suaminya”   Tidak direspons olehnya. Alvira hanya mengerjabkan matanya berulang kali, lucu. menggemaskan. Langsung saja aku acak puncak kepalanya sambil terkekeh. “Ayo bangun, sudah sore.” Kemudian aku bangkit dan meninggalkanya ke kamar mandi. Kalau tadi pagi aku hanya bisa membersihkan diri dengan washlap, dan sekarang aku sudah bisa mandi dengan air hangat.   Setelah membersihkan diri, menghadap ke sang kuasa di kala sore, aku menghabiskan waktuku untuk duduk bersantai di balkon. Kembali aku ingat perhatian Alvira hari ini. Kembali membuat aku tersenyum. ‘Sebenarnya ada apa sih dengan diriku ini?’.   Terlintas dalam benakku untuk membalas perhatian Alvira. Langsung saja aku mangambil ponsel menyuruh, melakukan rencanaku lewat ponsel dan uang yang aku miliki. Setelah semuanya selesai, aku tersenyum kembali, semacam ada optimis bahwa apa yang aku rencanakan akan berhasil!.   “Kak Dika dimana?” suara Alvira terdengar dari dalam kamar.   Aku hanya menjulurkan kepalaku ke pintu penghubung kamar dan balkon, agar Alvira dapat melihatku. Saat matanya menangkap sosokku ia tersenyum, saat itu aku langsung ke posisi semula.   “Aku kira kakak tidak ada di kamar lo,” suara Alvira saat ikut bergabung duduk disalah satu kursi balkon.   “Ini aku buatkan lemon tea kesukaan kakak. Kakak sakit tidak sampai melukai lambung atau pencernaan. Kata dokter tidak apa-apa konsumsi lemon. Justru bagus untuk asupan vitamin C, menjaga daya tahan tubuh,” jelas Alvira dengan menyodorkan Lemon  tea.   “Terima kasih,” ungkapku tulus. Seminggu sudah aku tidak pernah menikmati minuman favoritku itu.   “Tidak usah berterima kasih Kak, memang kewajibanku untuk mengurus dan memerhatikan Kakak.”   Setelah itu tidak ada yang obrolan, kami terbuai menikmati sore bersama. Hanya desiran angin yang terasa, dan indahnya panorama sore yang menjadi pemandangan.   “Nanti malam, kamu ikut denganku!” ucapku memecahkan keheningan.   Alvira menoleh, “mau kemana Kak?”   “Kamu akan tahu nanti.”   Anehnya Alvira tidak mendesak. Hari ini dia manis dia menurut, tidak seperti biasanya yang pintar membuatku memutar otak menjawab sanggahnya.   “Pakai dress saja, kamu lebih cantik dan terkesan dewasa. Dan aku tidak disangka p*****l nantinya.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD