1. Kondangan

781 Words
Kata orang kalau mau cepat dapat jodoh itu sering-sering datang ke kondangan, dan itulah yang aku lakukan sekarang, hadir ke pernikahan sepupunya sahabatku. Entah itu presepsi dari mana, dan entah sudah ada yang membuktikannya atau belum, aku tidak tahu. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, kebanyakan yang datang itu sudah ada gandengan. Sekalinya ada yang datang sendiri tapi tidak masuk kriteriaku. Kalau begini caranya gimana aku cari calon suami? "Tit ... " Sahabatku menoleh, kemudian ia menjitak kepalaku. "Dibilangin jangan panggil Tit, itu konotasinya negatif, Sha." "Lo kan punya tit—" Belum selesai aku berbicara, Tito langsung membekap mulutku. "Tito atau To, jangan Tit lagi. Ingat?" Aku mengangguk, dan dia langsung melepas bekapannya. "To, cariin gue calon suami dong. Masa dari tadi gue celingak-celinguk tapi belum ada yang nyantol." Tito mengernyitkan keningnya. "Lo kebelet nikah tapi lo jomlo. Gimana ceritanya?" "Biarin jomlo, tapi punya semangat nikah yang tinggi." "Jangan kebanyakan ekspektasi, ntar lama-lama jadi gila." Aku terkadang heran sama diri sendiri, kenapa pengin banget nikah, padahal kata orang nikah itu bukan solusi terbaik untuk anak remaja, karena masih banyak cita-cita yang harus diwujudkan, lagian ngurus suami dan anak itu bukan sesuatu yang dianggap enteng. "Sha, gue kasih tahu. Nikah di kehidupan nyata nggak seindah di novel-novel yang lo baca atau di drama-drama yang sering lo tonton. Lo akan ketemu sama masalah-masalah rumah tangga yang akan buat lo bilang; coba gue nggak nikah muda. Lo kira nikah cuma sekadar seks?" "To, gue cuma mau lo bantuin gue cariin suami yang mapan, sholeh, pintar dan tampan. Bukan malah ceramahi gue." "Lo makin nggak waras, dengan lo yang baru tamat SMA, dan belum bisa apa-apa ini, gue nggak yakin lo bisa dapatin calon suami yang seperti lo bilang tadi." Aku akan buktikan kalau aku bisa mendapatkan suami seperti yang aku harapkan. Biar mereka semua yang meremehkanku jadi gigit jari, aku percaya satu hal; cara terbaik mendiamkan mulut-mulut yang meremehkanmu adalah membuktikan kalau mampu. "Gue pulang, nggak guna curhat sama lo." "SMP lo." "Apaan?" "Selesai makan pulang." "Bodo amat." Langkahku terhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di samping gedung pernikahan ini, aku jadi teringat akan novel fiksi yang sering aku baca, apakah jodohku salah satu dari pria yang berada di gedung ini? Tiba-tiba bunyi klakson dari arah belakang memenuhi pendengaranku, kemudian aku mengampiri, lalu mengetuk jendela kaca, hingga sang empunya menurukan kaca tersebut. Aku melongo saat melihat wajah tampan dengan rahang tegas di depanku ini. Oke, Tisha. Saatnya kamu harus pura-pura pingsan biar dia nolong kamu. Tubuhku sudah jatuh ke tanah dengan harapan pria itu menolongku. Syukur-syukur kalau dia ajak aku nikah. "Dasar anak kecil, mau kerjain saya rupanya." Aku mendengar samar-samar ucapannya, kemudian tak lama setelah itu ada seseorang yang membopong tubuhku dan memasukkan ke dalam mobilnya. "Mari kita bersenang-senang." Embusan napasnya sangat dekat dengan wajahku, bulu kudukku merinding, lalu aku buka mata perlahan dan disambut senyuman penuh arti dari pria tampan ini. "Kamu mau aku mulai dari mana?" Aku melongo, dia semakin mendekati wajahku, namun aku berusaha bangun dan sialnya bahuku ditahan olehnya. "Aku pria dewasa, dan baru aja kamu bermain-main denganku." Astaga, Tisha. Kenapa kamu bodoh sekali? "Saya mau turun!" Aku berusaha menahan rasa takut dan terlihat seperti biasa saja. "Jangan aneh-aneh, nanti saya laporin anda ke KOMNASHAM!" "Langsung ke KUA, mau?" KUA? itu kan tempat yang mau banget aku datangin, apa dia jodohku? "Serius?" Tawa pria ini meledak, dan aku tidak tahu apa arti dari tawanya itu, aku rasa tidak ada yang lucu. "Polos sekali, bersenang-senang nggak perlu ke KUA, aku bisa kasih kamu kepuasan dan juga uang." Perlahan dia membuka kancing kemejanya, dan aku semakin takut, di balik wajah tampannya ternyata terdapat sikap iblis. "Di hotel atau di sini?" "b*****t!" Aku langsung menendang selangkangannya, lalu mengeluarkan parfum dari dalam tasku, kusemprotkan ke arah matanya, dan segera membuka pintu mobil. Aku sudah buang high heels-ku, persetan telapak kaki yang sakit karena  terkena puing-puing kerikil, yang aku mau adalah menjauh dari pria b******k itu. Tak lama kemudian mobil tadi, berhenti di sampingku. Aku semakin mempercepat lqangkahku, tetapi mobil itu tetap melaju. "Menyerah saja, wahai gadis kecil!" Aku tidak peduli ucapannya, aku hanya butuh pertolongan. Namun siapa yang mau menolongku? Di kota besar seperti ini, rasa kemanusiaan itu minim sekali, apalagi aku tak punya kekuatan apa-apa selain merapalkan doa agar Tuhan membantuku. "Pergi, sialan. Apa yang kamu harapkan?" "Kamu." Dengan entengnya dia berbicara seperti itu, dasar gila. Aku memang mau menikah muda, tapi bukan seperti ini caranya. Dari mobilnya aku bisa tahu kalau dia mapan, dan wajahnya tampan tapi dia bukan pria baik-baik. Beberapa detik kemudian kakiku tak sengaja menyandung batu jalanan, hingga kepalaku membentur ke tiang dengan keras, akhirnya tubuhku ambruk ke tanah, dan setelah itu dunia terasa gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD