PART 7 - Makan Siang

1703 Words
"Pak Lonan sudah menunggumu, Nona," kata asisten yang ada di depan ruangan Lonan. Raline membuka pintu itu dengan ragu. Melihat Lonan sedang menatap laptop dengan fokus. Pria itu tak sadar Raline datang. Raline berdeham dua kali dan Lonan menatapnya, menutup laptopnya lalu berjalan mendekatinya. "Hai, aku sudah menunggumu," kata Lonan dengan senyum hangat. "Aku sudah memberikan surat lamaranku pada HRD. Apa aku tidak perlu melakukan wawancara atau sebagainya?" tanya Raline dengan ragu. Lonan melihat jam tangan mahalnya dan mengambil jasnya yang tersampir di kursi kerjanya. Pria itu mengambil ponselnya di meja dan berkata, "Aku yang akan mewawancaraimu sendiri. Dimana kau ingin wawancara? Kantin? Restoran? Aku tahu restoran enak yang baru buka di depan kantor ini. Kita bisa mengobrol ringan." "Benarkah? Apa tidak ada seleksi atau sebagainya? Aku baru lulus dan tidak memiliki pengalaman kerja." "Tidak masalah, Raline. Kau hanya menggantikan sekretarisku sementara. Kalau sekretarisku sudah selesai cuti, aku akan menempatkanmu pada posisi sesuai kemampuanmu." Pria masih saja baik dan hangat seperti dulu. Raline menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar. Lonan adalah direktur keuangan di Bastiaan Group. Posisinya berada di bawah Arie, tapi ia pria yang sangat dihormati di kantor itu. Ketika mereka keluar, beberapa orang melihat Raline penuh perhatian. Bertanya-tanya siapa perempuan cantik di samping Lonan. Raline memakai setelan hitam dengan lengan panjang dan rok yang sangat pendek. Raline tahu beberapa orang tidak suka dengan cara berpakaiannya, terutama karyawan perempuan yang melihatnya sinis, tapi Raline tidak peduli. Ia tidak berencana bekerja di kantor itu selamanya. Restoran yang dimaksud Lonan adalah restoran seafood yang tepat berada di Bastiaan Mall. Mereka cukup menyeberang untuk sampai di restoran itu. Jalanan cukup ramai sehingga Raline kesusahan untuk menyeberang apalagi dengan sepatu yang sangat tinggi. Melihat Raline kebingungan, Lonan menggenggam tangan Raline dan menariknya membelah kendaraan di depan mereka. Restoran itu terlihat cukup mahal. Dengan meja bar mengelilingi dapur yang berada di tengahnya. Para koki memasak sambil menunjukkan kelihaiannya langsung di depan pengunjung. Ada banyak wine tergantung di atas meja bar. Cahaya di dalamnya cukup gelap karena lampu merah kekuningan yang menggantung mewah di tengah ruangan. Seorang pelayan mengantar Lonan ke meja paling ujung - yang berbatasan langsung dengan ruangan indoor restoran itu. Mereka menerima daftar menu dari pelayan perempuan itu. "Kau ingin makan apa, Raline?" Raline melirik Lonan tidak nyaman. Sedikit tidak menyangka Lonan membawanya ke restoran yang cukup mahal dan terkesan romantis seperti ini. "Apa tidak apa membawa karyawan baru ke restoran semahal ini? Karyawan lain akan melihatku dengan buruk setelah ini." Lonan tersenyum dan lesung pipinya mengintip dengan indah. "Tidak apa. Kau akan menjadi sekretarisku selama kurang lebih tiga bulan. Tentu saja aku harus memperlakukanmu dengan baik." "Apa kau juga selalu mengajak sekretaris lamamu makan siang bersama?" "Tidak. Sarah sudah menikah dan ia selalu makan siang dengan suaminya," kata Lonan dengan senyum kecil yang manis. Raline tidak bisa menahan dirinya untuk ikut tersenyum. "Lalu kenapa kau tidak makan malam bersama istrimu?" tanya Raline. Senyum Lonan tiba-tiba menghilang, "Istriku sedang di luar negeri." Raline bisa merasakan Lonan tidak suka membicarakan istrinya. Raline mengerti dan tidak melanjutkan pertanyaannya. Padahal Raline sangat ingin tahu bagaimana hubungan Lonan dengan istrinya. Apakah pria itu bahagia? Apakah Alexa masih penuh emosi seperti dulu dan membuat Lonan sakit hati? Kenapa pria itu bisa bertahan dengan wanita seperti Alexa? Apa karena cintanya pada Alexa sangatlah besar atau karena hal lain? Pertanyaan itu terus menghantui Raline saat pertama kali bertemu Lonan kemarin. Tapi Raline tak mungkin menanyakannya saat ini. "Jadi, kau baru lulus kuliah?" tanya Lonan. Raline mengangguk sambil menahan senyumnya. Pria itu menyandarkan dagunya ke kedua tangannya di meja. Hal yang dilakukan Lonan ketika ia merasa tertarik. Raline masih mengingat kebiasaan pria itu dengan jelas. "Kau baru berumur 23 tahun?" tanya Lonan lagi. "Benar. Apa ada masalah?" "Penampilanmu sangat dewasa, hingga kupikir kau seumuran dengan Arie." Lonan menggeserkan tangannya ketika makanan mereka datang. "Dua puluh tiga tahun - mungkin kalau keponakanku masih hidup, dia juga seumuran denganmu." Tubuh Raline menegang. Apa Lonan baru membicarakan dirinya? Apa pria itu masih mengingatnya? Kenapa Raline bisa sebahagia ini mengetahui Lonan masih mengingatnya? "Keponakanmu?" tanya Raline mencoba menggali lebih panjang. "Benar. Aku memiliki keponakan lain selain Arie," kata Lonan sambil memakan ikan tunanya. "Aku tidak tahu Edward Bastiaan memiliki anak selain Arie." Wajah Lonan berubah kaku, seperti sedang menyembunyikan sesuatu, "Kata siapa aku membicarakan anak Edward? Keponakanku tidak hanya anak Edward Bastiaan saja," kata Lonan dengan nada suara yang lebih tinggi. Raline tahu Lonan berbohong. Raline pernah makan malam bersama keluarga Lonan dan pria itu tak memiliki keponakan seumuran dirinya. Kakak Lonan hanya memiliki satu anak laki-laki yang dulu sudah masuk SMA. "Maaf. Aku hanya terbawa suasana. Kau sangat mirip dengan keponakanku," kata pria itu lagi. "Tidak apa-apa, Lonan." Raline menatap makanan di depannya dengan tidak selera. Beberapa hari di negera ini, Raline memang tidak memiliki nafsu makan. Kepalanya dipenuhi rencana untuk membalas dendam Edward Bastiaan. "Sekarang berhenti membicarakan diriku. Kita di sini untuk mewawancarai dirimu, Raline. Ceritakan tentang dirimu," tanya Lonan. Raline tertawa ringan, "Tidak ada yang perlu diceritakan tentang diriku. Seperti yang kukatakan kemarin, aku dari panti asuhan dan mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri," kata Raline. "Kalau Arie tidak membuatmu dipecat dari klub itu, apa kau masih bekerja di sana?" Raline mengangguk, "Aku akan bekerja di sana sampai aku mendapat pekerjaan resmi." "Kau tak tahu tempat apa itu? Kau terlihat seperti perempuan baik-baik. Bekerja di sana artinya kau harus menjual tubuhmu untuk para pria kelaparan itu, Raline." "Orwel mengatakan aku hanya perlu menemani mereka minum. Tidak ada keharusan untukku menjual tubuhku pada siapapun." "Tapi pria di sana bisa saja memaksamu." "Aku bisa melindungi diriku sendiri, Lonan." "Kau tak tahu apa yang bisa dilakukan mereka, Raline. Pria-pria yang bisa masuk ke lantai dua kebanyakan berasal dari keluarga kaya. Dari kecil mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Termasuk wanita cantik sepertimu. Jika mereka menginginkanmu, mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkanmu. Dan tidak ada pria waras yang tidak menginginkanmu, Raline." Lonan meminum wine rendah alkoholnya dan menatap Raline lagi. "Kau pasti tahu pesonamu sendiri, kan?" Wajah Raline memerah karena perkataan Lonan, "Tidak. Sebelum kau mengatakannya tadi." "Tidak mungkin aku orang pertama yang memberimu bahwa kau sangat cantik -" Lonan terdiam, seperti berpikir akan mengatakan apa yang dipikirannya atau tidak. "Dan mempesona," lanjutnya. Raline menundukkan kepalanya tak berani menatap Lonan. Memang Lonan bukan pria pertama yang mengatakan bahwa Raline cantik. Ada banyak pria lain. Teman sekolahnya, teman kuliah, orang asing di bar, dan Raline sudah beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari mereka. Tapi ini berbeda karena Lonan yang mengatakannya. Pria yang pernah ia kagumi - Lonan yang mengatakannya. "Kau harus berhati-hati dengan pria-pria ba-jingan seperti itu." Lonan menyandarkan punggungnya ke kursi dan bersedekap. "Terutama pria-pria seperti mereka," kata Lonan sambil melihat empat pria berjas mahal yang masuk ke restoran. Raline mengikuti arah pandang Lonan dan melihat Arie dan tiga pria tidak dikenal masuk ke restoran. Mereka terlihat tertawa membicarakan sesuatu. Raline sedikit terperangah melihat Arie tertawa lebar oleh guyonan salah satu temannya. Pria itu seketika menghentikan tawanya saat melihat Raline. Matanya menajam, apalagi saat melihat Raline duduk berdua dengan Lonan. Teman-temannya sudah duduk di kursi yang berseberangan dengan Raline, tapi Arie masih berdiri dengan kaku. Raline memalingkan wajahnya ketika laki-laki itu mendekatinya. Arie berdiri di depan mereka dengan wajah penuh amarah. "Paman, kenapa kau bisa bersama perempuan ini?" tanya Arie. Lonan menatap Arie santai. "Bukan perempuan ini, Arie. Namanya Raline. Kau harus memanggilnya dengan sopan." Arie memalingkan wajahnya dari Lonan ke Raline. "Raline. Jadi namamu Raline? Aku bertanya namamu di klub waktu itu dan kau tidak menjawabnya. Tapi kau memberitahu pamanku? Memangnya berapa uang yang diberikan pamanku hingga kau mau menemuinya di luar, bahkan memberitahu nama aslimu?" "Arie!" bentak Lonan. "Apapun yang kau rencanakan, jangan harap aku akan membiarkanmu, Perempuan Ja-lang! Pamanku adalah pria baik-baik yang tak pantas menjadi mainanmu. Aku tidak akan membiarkanmu merusak rumah tangganya dengan bibiku!" "Apa yang kau katakan Arie? Raline sekarang adalah sekretarisku. Dia bekerja di perusahaan kita." Arie terbelalak kaget, "Apa?" "Dia akan menggantikan Sarah menjadi sekretarisku." "Apa yang Paman pikirkan? Bagaimana Paman bisa menerima perempuan rendahan ini bekerja di perusahaan kita? Paman tak pernah melakukan hal bodoh seperti ini sebelumnya!" "Arie, aku tidak melakukan hal bodoh. Raline mempunyai kualitas untuk bekerja di perusahaan kita. Dia lulusan Yale University, kau tidak bisa meremehkannya, Arie." Arie menatap Raline dengan wajah menyelidik. Seakan tidak percaya apa yang dikatakan Lonan. "Bisa saja dia membohongimu. Tidak ada orang berpendidikan yang menjual tubuhnya di klub malam. Dia hanya perempuan rendahan yang ingin memanfaatkanmu, Lonan!" Raline berdiri, amarah memuncak di kepalanya. "Aku tidak pernah menjual tubuhku pada siapapun!" Arie mengangkat sebelah alisnya, "Lalu apa yang kau lakukan di klub kemarin? Sebelum Lonan masuk, bukankah kau sedang menjual tubuhmu padaku?" Arie mendekatkan tubuhnya ke Raline, jarak mereka sangat dekat hingga Raline bisa mencium perpaduan aroma kayu dan citrus. "Bukankah kau menggodaku malam itu?" "Aku tidak - " Raline menjauhkan tubuhnya, tidak bisa mencari alasan untuk membantah perkataan Arie. Tidak mungkin Raline mengatakan ia menggoda Arie agar laki-laki itu meminum wine yang sudah ia racuni. "Kau tidak bisa membantahnya, bukan?" Arie mendekatkan wajahnya ke leher Raline dan berbisik di telinga perempuan itu. "Karena kau memang perempuan ja-lang," katanya diakhiri dengan senyum merendahkan. Raline mengepalkan tangannya hingga bergetar. Rasanya ingin sekali menampar wajah laki-laki di depannya ini. Selama ini tidak ada yang menyebutnya perempuan rendahan. Selama ini ibunya mendidiknya agar Raline menjadi perempuan baik-baik. Tapi - laki-laki itu - orang yang tidak tahu apa-apa tentangnya - tentang apa saja yang pernah dilaluinya - seenaknya menyebutnya perempuan rendahan. Mata Raline memanas tapi ia tidak mau menumpahkan air matanya di depan Arie. "Kau memang perempuan murah-an, akuilah itu, Raline," ucap Arie lagi lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Raline terduduk di kursinya dengan wajah kosong. Keinginannya untuk membunuh laki-laki itu semakin kuat. Untuk membalas perbuatan Edward pada ibunya, juga untuk balasan pada laki-laki itu karena menghinanya. "Raline, kau tidak perlu memikirkan ucapan Arie. Dia tidak bermaksud mengatakan itu. Aku tahu dia bukan laki-laki yang jahat." Raline hanya tersenyum kosong. Bahkan saat Arie menghina Raline di depannya pun, Lonan masih membela keponakan tercintanya. "Dia persis seperti ayahnya - manusia jahat yang suka merendahkan orang lain," lirih Raline sangat kecil hingga tidak didengar oleh Lonan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD