3

1680 Words
Tidak mungkin Luna salah alamat tujuan karena ia sudah menggunakan jasa taksi, dan pengemudinya tidak mungkin salah alamat. Nyatanya, pengemudi itu seakan mengenali alamat yang Luna tuliskan dalam secarik kertas yang diberikannya di awal tadi. "Oh, Tuan Diedrich?" kata pengemudi itu setelah membaca kertas yang diberi Luna. "Bapak mengenalnya?" tanya Luna pada pengemudi paruh baya itu. Sebuah tawa terlepas dari pengemudi itu, membuat Luna makin dibuat bingung. "Tuan Diedrich adalah salah satu donatur tetap yayasan sekolah anak saya. Jika bukan karena beliau, mungkin saya akan kesulitan membayar uang sekolah yang mahal," jawab pengemudi tadi. Oh, kini klien Luna adalah seorang dermawan. Masih muda, arsitek, dan dermawan. "Tapi beliau tidak pernah mau datang ke acara yayasan seperti donatur lain, Bu. Saya hanya tahu rumahnya karena rumahnya adalah rumah terbesar di kompleks itu. Di wilayah sini, semua sepertinya tahu siapa Tuan Diedrich," lanjutnya. Biar Luna ralat. Kliennya kali ini adalah seorang yang masih muda, arsitek, dan dermawan misterius yang memiliki rumah terbesar di kompleksnya. Mobil berhenti di depan rumah yang memang terbesar di kompleksnya. Mendirikan rumah sedikit lebih besar di kompleks yang penuh dengan rumah ukuran sederhana memang bisa menjadi cara untuk dikenal banyak orang. Rumahnya tidak sebesar yang diceritakan pengemudi taksi, tidak seperti mansion yang ada di bayangan Luna. Jika rumah lainnya hanya menempati satu petak tanah yang ditentukan oleh perusahaan real estate, maka rumah milik kliennya ini mungkin menempati dua petak tanah. "Sudah sampai, Bu," kata pengemudi itu, memecahkan lamunan Luna tentang rumah kliennya. Astaga, Luna. Mengapa malah memikirkan rumah kliennya? "Terima kasih, Pak," kata Luna sembari menyodorkan uang beberapa lembar pada pengemudi itu sebelum kemudian keluar. Beberapa saat ia berdiri di depan rumah kliennya. Ia bahkan sampai tidak menyadari kalau taksi yang ditumpanginya tadi sudah pergi. Rumah kliennya benar-benar bukan seperti rumah yang pernah ada dalam gambarannya. Rumahnya tidak mewah, namun terlihat megah. Ia pernah memiliki klien seorang selebriti, dan rumahnya sama sekali tidak membuat Luna terkagum seperti saat ini. Tombol bel yang menempel di tembok pagar dipencet oleh Luna dua kali. Ia sudah mengirimkan pesan pada kliennya tadi sebelum berangkat. Pastilah kliennya bisa menebak jika yang memencet tombol adalah Luna.  Pandangan Luna mengintip ke apa yang ada di balik pagar. Hanya garasi berisi dua mobil dan kolam ikan koi di dekat tangga menuju pintu masuk yang ternyata berada di lantai atas. Lantai dasar hanya diisi garasi, beberapa tanaman dan kolam ikan koi. Benar saja, dari pintu masuk yang terletak di lantai dua itu muncul seorang pemuda yang wajahnya tidak asing lagi. Ia pernah melihat wajah itu di pasfoto di dokumen identitas kliennya. Bedanya, kali ini ia mengenakan kacamata. "Tunggu sebentar," katanya pada Luna yang gagal fokus pada celana pendek dan kaos oblong warna putih yang dikenakan pemuda itu. "Kau pasti Luna?" Luna tersenyum seraya mengangguk. Setelah pintu pagar dibukakan, Luna dipersilakan masuk olehnya. Ia memimpin langkah menuju lantai atas. Seusai menaiki beberapa anak tangga dan tiba di pintu masuk, Luna disambut oleh ruang tamu yang tidak ada bedanya dengan ruang tamu yang pernah ia lihat sebelumnya. Hanya saja letak ruang utamanya berada di lantai kedua. Namun semua tampak tertata, tidak ada space yang tidak terpakai atau berlebihan. Oh, ayolah, Luna. Dia adalah seorang arsitek interior. Pikiran Luna mengejek dirinya sendiri. "Hai, saya Luna, surrogate yang dijadwalkan untuk bertemu Tuan Diedrich-Setiawan," kata Luna memperkenalkan diri. Tangannya ia julurkan, dan disambut oleh tangan besar pemuda di hadapannya. "Iya, itu aku. Panggil Keenan saja," balasnya. "Minum apa?" "Astaga, maksudku, kamu mau minum apa? Biar aku ambilkan," tawar pemuda itu pada Luna. "Air mineral saja," jawab Luna. Tanpa berkata, pemuda tadi sudah masuk ke dalam rumahnya, menuju dapur sepertinya. Ditinggalkannya Luna sendiri di ruang tamu, hanya dengan tas berisi berkas-berkas yang memang harus ia bawa. Pandangannya menyusuri bilik ruang tamu. Tidak ada foto-foto di meja kecil di sudut ruang tamu, atau vas bunga dan lain sejenisnya. Hanya sofa dan meja saja. Apakah pemuda itu tinggal sendiri? Selang beberapa menit kemudian, pemuda tadi kembali dengan dua gelas berisi air mineral. Satu untuk Luna, satu lagi untuk dirinya. "Apa kamu membawa berkas yang diberikan pihak rumah sakit dan pihak surrogacy?" tanya Keenan pada Luna yang mengangguk. "Ya, tentu saja. Maaf, saya belum menjelaskannya. Di awal pertemuan klien dan calon ibu pengganti, Anda bebas bertanya dan ditanya terkait apa yang tercantum di surat perjanjian, identitas, dan berkas lainnya yang sudah diterima," terang Luna. Keenan mengangguk dan membenahi posisi kacamata bacanya. "Bisa kita mulai sekarang?" "Tentu saja. Dari Anda terlebih dulu," jawab Luna. Biasanya pertemuan awal dengan klien selalu paling formal. Cairnya suasana tergantung klien, karena status Luna di sini hanyalah pekerja.  Pertama, ada klien yang bisa membuat cair suasana dan segera menjadi akrab dengan Luna sejak pertemuan pertama. Kedua, ada pula yang sampai Luna selesai melahirkan anak mereka pun Luna masih bersikap dan berbicara formal pada mereka. Melihat gerak-gerik dan tingkah laku pemuda di hadapannya, Luna berpikir jika hubungan mereka akan berakhir seperti hubungan yang kedua. "Kau tinggal di apartemen di atas kompleks pertokoan dekat perbatasan dengan Stolberg?" tanya Keenan. "Yap," jawab Luna. "Itu cukup jauh dari sini," kata Keenan. "Usiamu baru 24, apakah ini akan menjadi kesempatan pertamamu menjadi surrogate?" "Ini akan menjadi yang keempat," jawab Luna, membuat Keenan sedikit kaget. "Keempat? Apa alasanmu melakukan ini? Kau ada hutang atau bagaimana?" tanya Keenan. Pertanyaan yang sama seperti yang orang lain tanyakan ketika mendengar Luna adalah seorang surrogate. "Tidak, bukan karena uangnya. Kondisi keuangan saya sudah cukup untuk bertahan hidup, walaupun masih kurang jika untuk membeli rumah di pusat Aachen seperti ini," jawab Luna, hanya sedikit menjawab pertanyaan Keenan. "Lalu apa alasannya?" tanya Keenan lagi. "Saya suka hamil. Saya tahu, itu terdengar aneh, tapi saya benar-benar menikmati mengandung. Klien pertama saya bukan dari agensi surrogracy atau rumah sakit, melainkan seorang tetangga di apartemen lama yang meminta bantuan secara langsung. Ia terpaksa diangkat rahimnya karena kanker. Karena itu dia meminta saya untuk mengandung embrio gabungan sel telurnya yang sudah dibekukan dengan sel s****a suaminya," jelas Luna panjang lebar. Keenan tersenyum mendengar penjelasan Luna. Entah apa yang terbesit dalam pikiran pemuda berkulit sedikit coklat itu. Dan astaga, apakah Luna tertarik pada pemilik senyum manis ini? "Tidak ada orang yang suka hamil, Luna," kata Keenan. Ia sedang mencoba menebak dan mencari celah kebohongan dari Luna. Banyak bertemu orang dengan latar belakang bermacam-macam, Keenan selalu bisa dengan mudah membaca orang lain. Dan dari pengalamannya, Luna tidak sedang berbohong. "Iya, saya tahu ini aneh. Tapi saya suka hamil karena ada nyawa lain yang bergantung pada saya, ia harus tumbuh dan berkembang atas bantuan saya sebelum kemudian bisa hidup sendiri. Dan membantu orang lain yang tidak bisa hamil untuk mendapatkan keturunan bisa menambah kebahagiaan untuk saya," jelas Luna lagi. Keenan merasa ia telah menemukan orang yang tepat dalam sekali memilih. Walaupun untuk ukuran orang asli Jerman, Luna termasuk pendek. Tingginya hanya sedada Keenan. Berbeda dengan gadis-gadis yang pernah ia pacari. Sayang, kesemuanya menolak untuk ia ajak memiliki keturunan bersama. Sebagai pemuda yang dibesarkan dengan budaya timur dan barat sekaligus, Keenan menginginkan memiliki keturunan sebelum usianya 30 tahun. Setidaknya ia bisa membawa serta anaknya di wisuda doktoralnya nanti, itupun jika ia benar-benar jadi mengambil studi doktoral. Namun, ia juga tidak ingin terikat dalam pernikahan. Beruntung di Jerman program ibu pengganti sudah dilegalkan, menjadi jawaban untuk pemuda-pemuda seperti Keenan. "Bagaimana dengan Anda? Apa yang membuat Anda memilih jasa ibu pengganti?" tanya Luna. "Aku merasa sudah berada di titik di mana aku ingin membentuk sebuah keluarga. Aku selalu sibuk dan memilih untuk makin menyibukkan diri karena merasa tidak ada alasan untuk pulang. Karenanya aku membutuhkan seorang anak. Itu sebabnya kamu berada di sini," jawab Keenan. Tangan kanannya bergerak menyibak rambut coklatnya ke belakang. Luna mengangguk mendengar jawaban dari Keenan. Keinginannya untuk berkeluarga bisa jadi terlalu awal untuk orang-orang yang tinggal di negara barat. Yang tidak Luna tahu, alasan Keenan memilih ibu pengganti bukan hanya itu. "Kalau begitu Anda sudah menyiapkan sel telurnya?" tanya Luna. "Apa aku harus menyiapkan sel telurnya juga? Pihak agensi tidak memintaku menyiapkannya." Kali ini ganti Keenan yang bertanya. "Tidak harus. Tapi beberapa klien ada yang datang sudah dengan sel telur pilihan mereka sendiri. Namun, ada pula beberapa yang meminta sel telurku," jawab Luna enteng. Bagaimana bisa semudah itu bagi Luna untuk membicarakan tentang memberikan sel telurnya pada orang asing? Tidak ada perubahan ekspresi pada wajah Keenan. Masih datar, membuat Luna ingin bertanya sesuatu. "Anda menginginkan sel telurnya dari saya?" tanyanya. "Kau satu-satunya ibu pengganti yang identitasnya mencantumkan gelar sarjana sebagai pendidikan terakhir, lainnya hanya sebatas SMP atau SMA. Aku dengar kecerdasan 60% diturunkan dari ibunya. Itu sebabnya aku memilihmu," jawab Keenan, membuat Luna sedikit terkejut. "Saya tidak secerdas itu. Pekerjaan saya dengan gelar saya sama sekali tidak ada hubungannya," ucap Luna.  Ia meraih gelar sarjana sastra Inggris dengan susah payah, sampai harus membuka toko bunga dan menjadi ibu pengganti demi membayar uang kuliah hingga akhirnya bisa lulus. Keenan tertawa. "Tidak usah merendah begitu." "Jadi, kamu tidak keberatan menyumbangkan sel telurmu?" tanya Keenan pada Luna yang bersemu merah akibat pujiannya tadi. "Tidak masalah," jawabnya singkat. "Meskipun aku seorang single?" tanya Keenan lagi. Itu poin tambahannya, batin Luna. "Asalkan ini keputusan matang yang sudah Anda buat," jawab Luna seraya tersenyum. "Jadi, kita harus segera ke rumah sakit untuk mengambil sel s****a Anda dan sel telur saya untuk kemudian dijadikan satu sampai membentuk embrio, lalu ditanamkan di rahim saya," jelas Luna panjang lebar pada Keenan yang tersenyum entah senyum jenis apa. "Bagaimana kalau kita melakukannya dengan cara tradisional yang semestinya dilakukan laki-laki dan perempuan yang hendak membuat anak?" tanya Keenan menawarkan sesuatu yang membuat Luna entah mengapa bahagia. "Masa ovulasi saya sekitar lusa sampai minggu depan, kita bisa mencobanya," jawab Luna, di luar dugaan Keenan. "Kamu bersedia melakukannya?" tanya Keenan lagi. "Astaga, Keenan, Anda tidaklah buruk rupa. Saya pun menginginkan laki-laki untuk menemani saya di masa ovulasi, seperti perempuan pada umumnya," sahut Luna, membuat Keenan kembali tersenyum. Ia pun ikut tersenyum. "Baiklah, dua hari lagi kalau begitu," kata Keenan, masih tersenyum nakal pada Luna. "Tapi sebelumnya, hilangkan kalimat formal itu." Entah siapa yang memulai duluan, dua hari lagi itu berubah menjadi hari ini. Jika besok pelanggan toko bunga milik Luna melihat cara jalannya yang sedikit aneh, salahkan pada kemampuan Keenan di atas ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD