Panik menyentaknya seperti sengatan listrik. Alisa segera membenamkan diri di balik tirai beludru tebal, nafasnya tersendat di tenggorokan.
“Apa itu?”
Suara Damian, berat dan serak, membelah keheningan ruang, dan secara instan, bulu kuduk Alisa meremang. Rasanya seperti ada tangan dingin yang mencengkram lehernya.
‘Gawat, aku harus sembunyi.’
Alisa bisa melihat sepasang sepatu kulit mengkilap bergerak perlahan, itu kaki Damian. Dengan naluri bertahan hidup, dia membekap mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangan. Rasa anyir keringat bercampur debu menusuk hidungnya.
“Niki, periksa sekitar sini!” titah Damian terdengar tajam dan tanpa ampun.
Jantung Alisa terasa merosot ke perut, berdetak lebih kencang, menabuh genderang kematian.
Di balik lipatan tirai beludru yang terasa dingin, Alisa adalah sebuah denyutan yang dipaksa bungkam. Paru-parunya menuntut oksigen, tetapi ia menolaknya. Ia tahu, mengeluarkan suara sekecil apapun berarti menyerahkan nasibnya kepada monster yang baru saja ia nikahi. Jantungnya berdetak dengan cepat.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud begitu.”
Damian berbalik. Kemarahannya, yang semula tersebar, kini berfokus menjadi seberkas laser yang ditujukan pada Leo, pengurus rumah tangga yang berdiri di dekat puing-puing.
“Leo! Kamu kutemukan berkeliaran di sini? Apakah kamu pikir aku membiarkanmu tinggal di bawah atap ku hanya untuk memecahkan artefak berharga dan mengganggu urusan yang menyangkut darah dan besi?! Apa alasan konyol mu kali ini?!” Damian membentak suaranya mengandung racun penghinaan.
‘Syukurlah, ternyata bukan aku!’ batin Alisa menghela nafas.
Leo menahan tatapan itu dengan tundukan yang nyaris tak terlihat, sebuah tanda kepatuhan yang pahit. Ia membungkuk sempurna, tapi dia tidak tahu mengenai porselen yang terjatuh.
“Saya bertanggung jawab penuh atas kehancuran ini,” katanya tidak ingin menambah masalah, mengakui itu perbuatannya. “Saya telah menghubungi tim untuk memastikan puing-puing ini hilang dalam keheningan total. Saya menjamin, Tuan, tidak akan ada jejak.”
“Singkirkan! Jangan sampai aku melihat bayanganmu lagi malam ini, Leo. Urusan yang menanti jauh lebih berharga daripada porselen busuk ini. Sekarang!"
Damian kembali masuk ke kantornya, menutup pintu dengan dentuman yang mematikan, bunyi yang menandai dimulainya kembali operasi gelapnya.
Leo adalah pengalihan yang dikirim oleh takdir.
Alisa tahu dia hanya punya beberapa detik dimana perhatian Leo masih terfokus pada puing-puing, dan pikiran Damian telah kembali pada rantai pasok dan mayat yang harus hilang di laut.
Ia keluar dari persembunyiannya, gerakannya adalah bisikan. Dia bukan lagi wanita yang kaku, tapi bayangan yang meluncur di atas marmer.
Alisa tidak melihat ke arah Leo, hanya bergerak, memanfaatkan kegelapan koridor yang tiba-tiba terasa seperti sekutunya. Menyelinap menjauh dari Sayap Timur, pusat kekuasaan sang Don Corvus, dan menuju kamarnya.
Kelegaan yang ia rasakan bukanlah akhir, melainkan awal dari tekad baru. Ia telah lolos dari mata maut suaminya, tetapi ia membawa rahasia yang jauh lebih berat daripada seluruh emas dalam istana itu.
Pintu kamarnya tertutup dengan satu klik pelan yang nyaris tak terdengar, tetapi bagi Alisa, itu adalah suara pintu penjara yang ditutup.
Ia tidak berjalan ke tempat tidur. Ia merosot, punggungnya bersandar pada kayu pintu yang kokoh, menahan tubuhnya agar tidak luruh ke lantai marmer yang dingin. Kelegaan karena berhasil lolos dari koridor tadi menguap seketika, digantikan oleh kengerian yang membekukan darah.
Rahasia yang ia bawa kini memiliki nama.
Selama ini, ia menganggap Damian Sagara hanya seorang pengusaha yang kejam, pria dingin yang menikahinya demi aliansi bisnis. Ia salah besar.
Bayangan cincin di jari suaminya, yang tadi terlihat jelas di bawah cahaya redup saat Damian memberi perintah pada Leo, terbakar di dalam benaknya. Ukiran gagak yang angkuh dan mendetail.
Corvus.
Nama yang hanya berani dibisikkan orang. Nama yang mengendalikan pelabuhan, politik, dan pertumpahan darah di dunia bawah tanah. Operasi gelap. Mayat yang harus hilang di laut. Darah dan besi.
Semuanya terhubung.
‘Gawat,’ batinnya bukan lagi panik, melainkan putus asa. ‘Don Corvus... adalah suamiku.’
Damian Sagara, figur publik yang dihormati, adalah identitas palsu. Topeng yang menyembunyikan monster sesungguhnya.
Alisa memandang berkeliling ke kamar mewah yang seharusnya menjadi kamar pengantinnya. Sutra mahal, perabotan berukir, dan pemandangan kota yang gemerlap terasa seperti ejekan.
Ini bukan istana. Ini adalah pusat sarang laba-laba, dan dia baru saja melihat si laba-laba.
Kengerian itu kini memiliki fokus yang tajam. Dia bukan hanya seorang istri yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Dia adalah istri seorang mafia. Dan yang lebih buruk, dia adalah seorang saksi.
“Aku tahu siapa yang aku nikahi, dia monster. Aku harus apa sekarang?” bisiknya pada lututnya sendiri, suaranya tercekat.
Alisa kembali mengingat perkataan Elara sebelumnya, tempat ini adalah sangkar emas.
Namun, realitas yang baru terungkap jauh lebih buruk daripada sekadar kurungan. Ini bukan kandang. Ini adalah mulut jurang yang menganga, dan ia baru saja melangkah terlalu jauh ke dalamnya.
Ketakutan itu perlahan dipaksa mundur oleh naluri bertahan hidup, dan satu pertanyaan yang paling mengganggu, yang berputar seperti gasing gila di benaknya.
“Mengapa Damian, Don Corvus yang kejam dan tak terjamah, yang bisa mengambil apapun di dunia bawah tanah dengan paksa, mau repot-repot dengan drama pernikahan kontrak yang rumit ini?” monolognya yang merasa janggal.
“Jika dia hanya menginginkan koneksi atau uang, dia bisa mendapatkannya dengan satu dekret.”
Ada tujuan yang tersembunyi, sebuah alasan yang jauh lebih gelap. Apakah ia hanyalah sebuah kunci untuk membuka pintu yang ia sendiri tidak ketahui keberadaannya? Atau, lebih menakutkan lagi, apakah ia sekadar umpan, diletakkan dengan hati-hati di jaringnya, hanya untuk melihat musuh mana yang akan maju untuk mengambilnya.
Dalam dunia Damian, tidak ada yang dilakukan tanpa perhitungan yang sempurna.
Alisa menekan pipinya ke ubin yang dingin, mengambil keputusan yang pahit. Untuk bertahan hidup, ia tidak bisa hanya takut. Ia harus menemukan aturan main yang sebenarnya dari monster yang kini menjadi suaminya, sebelum cengkeraman gagak di jari itu mengencang, dan mengubahnya dari istri kontrak menjadi korban pertama.
Pintu kamar pengantin terayun terbuka tanpa ketukan, membuat Alisa terperanjat.
Di sana, di bawah cahaya temaram lampu tidur, berdiri Damian. Posturnya kaku, wajahnya beku, dan tatapannya kejam, benar-benar asing untuk seorang pengantin baru.
“Kamu belum tidur?” Suara serak itu terdengar seperti suara guntur yang jauh.
Mati-matian Alisa berusaha mengendalikan gemetar di tubuhnya. Ia menarik napas dalam, memaksa bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil.
“Tentu saja, aku kesulitan,” jawabnya lembut.
“Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Tempat baru, ranjang baru.” Ia sengaja menekan kata ranjang baru, mencoba memancing sedikit emosi dari mata pria itu. Nihil.