Bab 8

1357 Words
"Kita mau ke mana?" Canting bangkit dari kursi dan mengikuti langkah mereka bertiga keluar rumah. Pak Lurah sibuk menelepon beberapa orang yang entah siapa, apa yang mereka bicarakan juga Canting tidak mengerti. Canting hanya mengikuti, menurut saat Bu Wiwik memboncengkannya ke balai desa, sedangkn Tirta dibonceng sepeda motor berplat merah milik pak lurah. Kedatangan mereka bertepatan dengan datangnya para perangkat desa dan juga petinggi paguyuban, juga beberapa tokoh masyarakat. Benak Canting dipenuhi tanda tanya, terlebih lagi saat ia juga melihat pak Somad dan istrinya datang. "Assalammualaikum ... Para perangkat desa dan petinggi paguyuban yang saya hormati, juga para tokoh masyarakt yang saya cintai. Terima kasih karena kehadirannya du balai desa ini, sebenarnya maksud kami mengundang Anda semua di sini adalah untuk memberitahukan tentang perkembangan kasus Pak Somad yang sudah kita bicarakan kemarin." Canting yang duduk di dalam ruangan kepala desa, mendengarkan pidato Pak Lurah di aula. "Pak lurah, kok kami sudah dikumpulkan di sini? Saya 'kan belum menentukan apakah saya sudah siap membayar ganti rugi atau belum!" Protes Pak Somad. "Lho, kenapa belum ditentukan Pak Somad? Bukankah Bapak sudah punya uangnya?" tanya Tirta yang sedari tadi duduk tenang di samping Pak Lurah. Pak Somad terlihat gugup, ia memang memiliki uang sekarang tapi itu semua bisa jadi akan diminta kembali oleh Mama Helen karena Canting yang kabur dari rumah bordilnya. "Tapi, kemarin saya 'kan sudah minta jangka waktu seminggu," ujar Pak Somad. "Tapi buat apa nunggu seminggu Pak Somad? Bukankah Bapak sudah memiliki banyak uang saat ini?" sindir Pak Lurah, seluruh tamu yang duduk di aula saling pandang satu sama lain. "Bagaimana bisa Pak Lurah berfikiran kalau sata sudah punya uang sekarang?" tanya Pak Somad dengan mimik wajah penuh ketakutan, mungkin antara rasa takut diamuk warga, takut diamuk Mama Helen dan takut dipenjara. "Kan Bapak emang udah banyak uang tadi sore, dari ... dari siapa namanya Pak Lurah?" Entah benar-benar lupa atau hanya pura-pura saat akan menyebut nama Mama Helen. "Namanya Mama Helen, Mas Tirta," jawab Pak Lurah. Sontak semua orang yang mendengar terkejut lalu saling berbisik dengan orang di sampingnya, sedangkan Pak Somad wajahnya sudah pucat pasi bagai tanpa ada darah yang mengalir di tubuhnya ditambah lagi karena melihat wajah istrinya yang melotot padanya.  "Maksudnya bagaimana ini Pak Lurah, Mas Tirta?" tanya sekertaris desa yang memang belum diberitahu apa yang terjadi sebenarnya. "Iya, maksudnya apa, Pak Lurah?" celetuk Bu Somad, sedangkan suaminya tidak berani membuka suara. "Maksudnya kita tanya saja pada yang bersangkutan," jawab Pak Lurah, spontan semua mata mengarah pada Pak Somad. "A–apa maksud–nya Pak Lurah? Sa–saya enggak ngerti," Pak Somad tergagap tapi tetap berusaha mengelak.  "Oh, Pak Somad tidak mengerti, sebaiknya kita tanya pada Canting saja, biar dia yang menjelaskan." perkataan Tirta membuat pertanyaan semakin menguasai benak para hadirin. Pak Somad terlihat semakin terkejut, matanya membola menatap Tirta ia tidak menyangka dia mengetahui hal itu terlebih lagi tadi ia mengatakan untuk bertanya langsung pada Canting, itu artinya Canting ada di sini. Sementara itu Canting tidak kalah takutnya, ia remas ujung kemeja lusuhnya, kakinya sedikit bergetar saat Bu Luraj menyuruhnya keluar memasuki aula. "Enggak apa-apa, Nduk. Kamu ceritain aja apa yang terjadi sebenarnya." Bu Lurah menenangkannya, ia merangkul pundak Canting dan menuntun langkahnya. Semua mata tertuju pada Canting, terutama mata Pak Somad yang terlihat bagai akan melompat dari tempatnya dengan wajahnya yang memucat. "Ayo Canting kamu ceritakan semuanya, ceritakan apa yang sudah Paman kamu ini lakukan padamu," perintah Tirta pada Canting yang sudah duduk di sudut aula dengan Bu Lurah di sampingnya. Canting menatap satu persatu orang di ruangan itu yang semua menatap padanya, ia tertunduk saat pandangannya bertemu dengan Pamannya yang melotot padanya mungkin sebagai peringatan agar dia tidak membuka suara perihal kejahatannya. "Bagaimana Canting? Sudah siap bercerita?" Suara Tirta terdengar memberinya sedikit keberanian. "Tadi ...." Pandangan Canting kembali beradu dengan Pamannya yang menatap geram padanya, ia kembali menunduk kini memandangi telapak tangannya yang terluka. "Tadi Pak'lek ngajak aku ke kota, ke sebuah rumah bagus berlantai dua. Aku diajak ke sana, ketemu sam perempuan namanya Mama Helen. Kata Pak'lek aku harus kerja di sana seumur hidupku, biar Mama Helen bisa kasih Pak'lek uang buat bayar hutang sama Mas Tirta. Katanya Pak'lek banyak hutang karena udah ngurusin aku sejak kecil. Jadi aku harus balas budi dengan cara kerja di rumah Mama Helen." Karena cerita yang terlontar dari bibir Canting dengan suara bergetar penuh kepiluan, aula itu menjadi riuh seketika mereka mulai bersuara mengutuk perbuatan Pak Somad. Bu Somad menggoyang-goyangkan tubuh suaminya, "beneran itu, Pak? Jawab, bener apa enggak!" Bu Somad terlihat begitu terkejut, iya terus memelototi suaminya seolah ingin ada sebuah sangkalan dari mulut suaminya. "Terus gimana caranya sekarang kamu udah ada di sini?" tanya seorang yang menjabat sebagai ketua RT di sana. "Aku disekap di kamar rumah itu, katanya malam ini aku bakal dilelang, siapa yang bisa bayar paling mahal berhak dapet keperawananku," Canting mulai terisak mengucapkannya, dengan lembut Bu Lurah mengusap punggungnya seolah ingin mentransfer kekuatan untuk gadis itu. "Terus aku congkel teralis jendela menggunakan paku sampai aku bisa keluar rumah, saat aku menyelinap ke halaman untuk keluar dari rumah itu, aku liat mobil Pak'lek masih di sana jadi aku masuk ke dalam bagasi. Aku sampe di desa ini lagi, dan langsung ke rumah Pak Lurah buat minta tolong." pungkas Canting, ia menghapus air matanya dengan punggung tangannya. "Bagaimana, Pak Somad ada yang mau Anda jelaskan? Atau semuanya memang sudah jelas? Kamu menjual keponakan kamu sendiri pada seorang mucikari untuk membayar kerugian yang kamu ciptakan karena korupsi?" tanya Tirta, kelapa Pak Somad menunduk mendengarnya. "Kamu menutupi kejahatan dengan melakukan kejahatan! Hukuman kamu bisa semakin berat, kamu bisa dipenjara lama karena dua kasus." Tubuh Pak Somad bergetar mendengar ancaman Tirta. "Maafkan saya, maafkan Pak'lek Titi. Pak'lek khilaf, Pak'lek sangat tertekan. Saya mohon, maafkan saya." rintih Pak Somad dengan wajah tertunduk. "Jangan, Mas. Aku mohon jangan masukkan Pak'lek sata ke penjara." Canting memohon pada Tirta dengan wajah memelas. "Hah? Apa aku tidak salah dengar? Kamu memohon untuk seorang Paman yang sudah tega menjual kamu?" Tirta terlihat sangat emosi mendengar permohonan Canting bahkan dia sampai berdiri dari duduknya. "Mas denger tho? Pak'lek cuma khilaf dan dia sudah minta maaf," jawab Canting tetap dengan wajah memohon pada Tirta. "Oh kalau begitu, kamu harus kembali ke rumah Mama Helen dan bekerja di sana seumur hidup kamu!" tegas Tirta. Dengan cepat Canting menggeleng, air matanya kembali tumpah membayangkan harus kembali ke rumah itu dan menjadi b***k nafsu di sana. "Kamu enggak mau 'kan!?" "Enggak, Mas, aku enggak mau," rintih Canting. "Apa yang Pak'lek kamu lakukan itu tidak bisa dianggap kekhilafan, Nduk. Korupsi selama bertahun-tahun bukanlah khilaf namanya," sambung salah satu petinggi paguyuban. "Apalagi menjual keponakan sendiri pada Mama Helen, kamu memang biadab, Somad!" geram bapak Ketua RW, lalu semua yang hadir di sana saling mengiyakan. "Ya sudah, bawa saja kasus ini ke polisi," celetuk salah seorang tokoh masyarakat. "Jangan, Pak. Jangan," larang Canting. "Kamu! Bener-bener, ya, perempuan ini! Apa, sih, mau kamu sebenarnya? Kita semua sedang memperjuangkan keadilan buat kamu!" Tirta terlihat begitu geram akan sikap Canting. "Saya enggak mau Pak'lek dipenjara, kasian Amellia, Dino dan Doni. Gimana nanti kehidupan mereka tanpa Pak'lek, Bulek juga gimana nanti. Saya mohon, Mas, jangan masukin Pak'lek kepenjara." rintih Canting. Tirta mengusap kasar wajahnya merasa heran pada Canting. "Okelah kamu enggak mempermasalahkan, kejahatan Pak Somad yang mau jual kamu karena kamu kasian sama mereka. Tapi kejahatan korupsi Paman kamu itu sudah sangat merugikan kami semua, gimana?" tanya Tirta pada Canting. "Aku pasti bantu, aku akan kerja buat bayar hutang Pak'lek. Tapi tolong beri aku waktu, aku pasti akan bantu," jawab Canting yakin. Tirta terdiam, ia seolah memikirkan sesuatu yang berat. Semua orang di ruangan itu juga hanya terdiam menunggu sesuatu yang akan menjadi keputusan. 'Canting gadis cantik, wajah dan tubuhnya tidak buruk. Dia juga gadis yang polos dan lugu, dia pasti bisa jadi wanita penurut jika merasa berhutang padaku. Sepertinya aku bisa memanfaatkannya untuk mengusir Yarra dari kehidupanku.' Itulah yang tersirat dalam benak Tirta. "Canting, kamu tau berapa hutang Pak Somad?" Suara Tirta memecah keheningan. Canting hanya menggeleng. "Nyaris saru milyar." Mata indah Canting membola mendengarnya. "Seumur hidupmu bekerja aku rasa tidak akan cukup untuk membayarnya, kecuali ...." Tirta menggantung kalimatnya. "Kecuali apa?" tanya Canting cepat. "Kamu kerja sama saya!" jawab Tirta datar. "Iya aku mau!" jawab Canting cepat tanpa banyak berfikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD