BHYD Bab 3

1122 Words
Aris mengancingkan bajunya dengan cepat, ketika mendengar panggilan dari salah satu pekerja toko. Dengan gusar, pria itu memasukkan ujung kemeja ke dalam celana jeans yang dikenakannya. “Kamu tunggu di sini dulu. Jangan keluar,” ujar Aris sembari merapikan rambut dengan kedua tangan. Pria itu menghembuskan napas panjang, sebelum memutar tubuh, lalu berjalan meninggalkan wanita yang masih setengah telanjang di ruang sempit tempatnya biasa beristirahat ketika merasa lelah. Aris dengan langkah lebar kembali ke toko. Sepasang mata pria itu mengerjap. “Ayah …!” Aris menoleh. Pria itu mengernyit mendapati Resa tersenyum. Sepasang bola mata pria itu dengan sendirinya memperhatikan Resa dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Apa seperti ini penampilan Resa setiap keluar rumah untuk menjemput putri mereka? batin pria itu sembari melanjutkan langkah kakinya, lalu menurunkan tubuh untuk mengangkat tubuh kecil Jannah, putri kedua mereka. “Tadi Jannah dapat bintang banyak dari bu guru,” adu gadis kecil dengan rambut dikuncir dua yang dihias pita berwarna merah. Poni tipis yang menutup keningnya terlihat lepek karena keringat. Aris tersenyum. “Jannah hebat,” pujinya. Si kecil Jannah refleks langsung memeluk leher sang ayah, kemudian membubuhkan kecupan di kedua pipi sang ayah. Anak itu tersenyum lebar. Senang karena mendapat pujian dari sang ayah. Resa yang melihat interaksi anak dan suaminya, ikut tersenyum. Wanita itu lalu menghembus pelan napasnya. Keputusannya untuk bersikeras mempertahankan pernikahan, sudah tepat. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kedua putrinya jika ia dan Aris sampai bercerai seperti yang pria itu mau. Demi tetap mempertahankan pernikahannya, Resa akan berusaha memperbaiki diri. Mungkin, sang suami bosan karena dia tidak pernah lagi berdandan. Tidak pernah lagi memperhatikan penampilan. Ya … semua karena waktunya sudah habis untuk mengurus rumah dan anak-anaknya. Namun, demi kedua malaikat kecilnya, ia akan berusaha keras tetap memperhatikan penampilan demi membuat sang suami tetap menatapnya. Seperti beberapa waktu lalu. Hati Resa berteriak senang ketika melihat beberapa detik yang Aris lakukan hanya menatapnya. Ah … setelah menjemput Syifa, dia akan mampir ke toko untuk memberi lipstik dan bedak. Lipstik yang ia kenakan entah kapan ia beli. Mungkin malah sudah kadaluarsa karena saking lamanya tidak pernah ia pakai. “Tadi aku bikin kolak, nanti bisa dimakan sama anak-anak.” Resa menunjuk bungkusan kantong plastik yang sudah wanita itu letakkan di atas meja kerja sang suami. Anak-anak yang Resa maksud adalah beberapa pekerja di toko sang suami. Aris menoleh, kemudian menganggukkan kepala. “Ayo Jannah, kita harus menjemput kak Syifa sekarang.” Resa meminta sang putri yang masih berada dalam bopongan sang ayah, untuk turun. Jarak sekolah Syifa dengan toko suaminya cukup jauh, dan dia tidak ingin membuat sang putri cemas menunggunya. Jannah sekali lagi mengecup pipi sang ayah, sebelum meminta turun. Gadis kecil itu kemudian berlari menubruk sang Ibu. Resa terkekeh. Sementara Aris mengikuti putri kecilnya, hingga berdiri di depan sang istri. Tangan kiri Resa mendekap tubuh sang putri, sementara tangan kanan wanita itu terulur, meraih tangan kanan suaminya, kemudian mengecup punggung tangan pria itu. Sepasang mata Resa mengerjap. Keningnya mengernyit ketika indera penciumnya mendapati aroma yang berbeda dari minyak wangi yang biasa dipakai oleh sang suami. Kepala wanita itu mendongak. Mulutnya sudah akan terbuka untuk menanyakan apa yang ada di dalam kepalanya, sebelum mengurungkannya. Tidak! Dia tidak ingin membuat celah sang suami kembali membahas tentang perceraian. Dia harus berusaha untuk kembali mendapatkan hati sang suami seutuhnya. Sekalipun Resa harus menekan dalam-dalam rasa sakit hatinya—saat isi kepalanya mengatakan jika sang suami masih berhubungan dengan wanita yang sudah membuat pria itu memikirkan tentang perceraian. Resa menghembuskan napas samar. Wanita itu lalu menarik paksa kedua sudut bibirnya untuk melengkung membentuk sebuah senyuman. “Kami pergi dulu. Mas jangan kecapean. Kami tunggu di rumah.” Resa mengatakan dengan rasa nyeri yang nyaris tidak bisa ia tahan lagi. “Ayo, cium tangan ayah dulu.” Wanita itu meminta sang putri untuk berpamitan pada sang ayah. "Jannah pulang dulu, Ayah." Anak manis itu mengikuti perintah sang ibu. Meraih lalu mencium punggung tangan ayahnya. Resa meraih sebelah tangan Jannah kemudian dua orang ibu dan anak itu berjalan dengan bergandengan tangan—keluar dari dalam toko. Aris mengikuti istri dan anaknya hingga mereka melewati ambang pintu toko. Pria itu memperhatikan keduanya menaiki sepeda motor, lalu kendaraan roda dua itu melaju pelan meninggalkan parkiran toko. Aris mendesah. Pria itu tersentak ketika merasakan dua tangan membelit pinggangnya. Aris menoleh. “Sudah kubilang jangan keluar dulu.” Pria itu menggeram. Sepasang matanya melirik ke penjuru ruangan. “Anak-anak bisa melihatnya.” “Mereka semua sudah tahu,” ujar Vera dengan santai. Memang benar, semua pegawai Aris sudah tahu tentang perselingkuhan mereka. Hanya saja, tidak ada yang berani membuka mulut. Aris menghentah cukup keras karbondioksida keluar dari celah mulutnya. Kepala pria itu menggeleng. “Kapan kamu akan menceraikannya?” tantang Vera. Dia sudah tidak sabar menunggu. Aris sudah berjanji akan menceraikan istrinya, lalu menikahi dirinya. Melihat Aris yang terdiam, Vera menjadi kesal. “Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Kamu harus secepatnya mengurus perceraian kalian. Apa perlu aku yang mengurusnya?” Wanita itu mendelik tidak suka dengan Aris yang terkesan lembek pada istrinya. Padahal, dia sudah memberikan semuanya pada Aris. “Kenapa sekarang kamu jadi terkesan tidak ingin bercerai dari istrimu?” “Bukan aku tidak mau, Vera. Hanya saja—” Aris menghembuskan napas panjang. “Dia tidak mau bercerai.” Vera melepas belitan tangannya dari pinggang Aris. Wanita itu kemudian berjalan memutar hingga bisa berhadapan dengan pria tersebut. Vera menatap tajam Aris. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus sudah mengurus perceraian kalian bulan ini. Aku mungkin saja … hamil.” Aris langsung menarik sebelah tangan Vera. Menyeret wanita itu masuk ke dalam toko—kembali ke ruangan tempatnya beristirahat. Tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata mencuri tatap ke arah mereka, lalu sang pemilik menggelengkan kepala. Merasa kasihan pada seorang wanita yang pasti akan hancur hatinya jika mengetahui tentang perselingkuhan suaminya. “Bukankah aku bilang kamu harus minum pil KB?” Aris berkacak pinggang. Dia masih harus mencari waktu untuk bicara lagi dengan Resa. Meskipun ia ingin bercerai dari istrinya itu, tapi dalam hati--dia juga merasa kasihan. Resa sudah mengingatkan bagaimana wanita itu membuang mimpi sendiri demi untuk dirinya. Dan jika dia menceraikan Resa sekarang, apa yang akan wanita itu lakukan untuk bisa menghidupi dirinya sendiri? Ah … dia memang sudah memberi solusi pada Resa, supaya wanita itu mencari seorang duda yang bersedia menikahinya, hingga Resa tidak perlu pusing memikirkan kebutuhannya. Sementara untuk Syifa, dan Jannah—dia berjanji akan tetap memberi nafkah pada kedua putrinya. Dengan kondisi toko yang baik, Aris yakin tidak akan kesulitan memberi nafkah dua putrinya, dan membangun keluarga baru bersama Vera. Aris menarik nafas panjang ketika melihat Vera sudah mulai membuka kembali pakaiannya. Sesuatu yang liar di dalam dirinya begitu mudah bangkit. Vera memang begitu pandai memenuhi hasrat laki-lakinya. Berbeda dengan istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD