Kisah Yang Sama

1238 Words
Hidup seorang diri tanpa ada orangtua dan juga saudara yang menemaninya. Dia pernah punya rumah, sayangnya begitu orangtuanya meninggal. Rumah tersebut diambil alih oleh keluarga dari papanya. Hidup tidak pernah mudah bagi Hessa, dia harus bisa menyesuaikan diri sekarang. Dia hidup selain merawat anak di tempat penitipan anak, setelah magrib dia juga bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran. Kadang dia ditempatkan di bagian mencuci piring jika tidak ada orang yang mencuci piring. Hidup yang dulu sangat mudah, orangtua yang cukup berada. Tapi semenjak orangtuanya memilih keluar dari perusahaan karena banyak kecurangan waktu itu, hidupnya sedikit berubah. Merasa cukup dengan keadaan itu, Hessa juga bahagia jika kenyataan papanya tidak terlibat dalam kasus korupsi yang hampir saja menyeret nama papanya. Tapi sayangnya papanya meninggal ketika Hessa baru saja mendapatkan pengumuman kelulusan SMA, begitu dia mendapatkan ijzahnya. Dia diusir dari rumah oleh tantenya sendiri. Sekarang dia hanya hidup di rumah kontrakan kecil yang dia bayar dari hasil merawat anak orang yang cukup sibuk, dia juga hidup sendirian. Di umur dua puluh empat tahun ini, adalah sebuah kebanggaan dirinya yang tidak akan pernah mengemis lagi untuk numpang di rumah tantenya. Karena semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Dia harus hidup sendirian. Waktu itu Hessa tidak kehilangan orangtuanya saja. Tapi adiknya juga ada di dalam insiden kecelakaan tersebut. Kalau bukan karena dirinya yang hidup sendirian dan juga membiayai diri, di mana lagi Hessa bisa mendapatkan uang? Memang gajinya selama mengasuh anak orang cukup banyak. Tapi tidak mungkin dia tidak memiliki tabungan, bukan? Ketika dirinya jatuh sakit seperti waktu itu. Dia harus membiayai diri sendiri dan membayar kontrakan. Rasa lelah dan juga kantuk sering menyiksa dia. Sebelum makan dia sudah tidur karena kelelahan. Pagi hari jam tujuh dia sudah stay di tempat penitipan anak. Memang di sana juga dia lama training karena harus merawat anak orang dengan baik. Harus bisa sabar, dan juga pernah ada yang dipecat karena membentak anak orang lain. Hessa berusaha sebaik mungkin untuk menahan sabarnya karena ulah anak-anak yang kadang menyebalkan. Tapi penitipan anak ini bukan tempat abal-abal. Banyak anak orang-orang kaya yang dititipkan di sini. Karena mereka tidak membayar baby sitter, mereka justru membawa anaknya ke sini untuk membentuk karakter juga. Bayaran yang tidak sedikit sudah pasti menjadikan mereka percaya bahwa tempat ini sangat aman. Apalagi bisa mengawasi anak dari ponsel. Banyak kegiatan di sini, selain hanya dititip. Anak-anak juga bisa berkenalan satu sama lain dengan teman-temannya. Mereka diajarkan untuk berinteraksi dengan baik juga. Saling menghargai. Pendidikan di tempat Hessa bekerja memang lumayan bagus untuk anak-anak. Jika dibilang itu adalah penitipan, maka lebih tepat dibilang ini adalah asrama. Karena sangat besar dan juga tempat bermainnya lengkap. Kamar juga ada, tidak salah kalau tempat ini sangat mahal untuk jasa penitipan anak. “Hessa, kamu mandiin anak-anak dulu, ya!” Hessa punya bagian untuk memandikan anak hari ini. Biasanya dia yang punya bagian untuk menyiapkan makanan untuk anak-anak. Sebelum menitipkan anak, sudah pasti ada catatan dari orangtua mengenai beberapa anak yang alergi dan tidak boleh makan makanan tertentu. Di sini cukup ketat, jadi orangtua juga cukup merasa aman jika menitipkan anaknya. Hanya satu anak yang menjadi pusat perhatiannya Hessa. Dan satu ini karena tidak punya seorang ibu, rata-rata anak yang dititipkan di sini karena orangtuanya sibuk. Tapi tidak dengan si kecil Yumna. Menurut cerita dari ibu pengasuh yang lain, ibunya Yumna meninggal di hari lahirnya si kecil. Jadi banyak perhatian yang mengarah pada anak itu, dan juga anaknya baik dan cukup pintar. Ia yang mendapat bagian untuk memandikan Yumna sekarang. “Kakak, baju Una di tas. Sama minyak telpon dan bedak, Una.” Tidak susah untuk mengurus anak-anak yang sudah disiapkan banyak hal dari rumah oleh orangtua mereka masing-masing. Karena memang sudah ada aturannya dari tempat ini. “Ya sudah sekarang mau mandi dulu terus sebentar lagi mau pulang, ya!” Yumna menurut begitu saja. “Mau keramas?” “Boleh.” Bersyukurnya Yumna tidak terlalu susah diajak untuk mandi. “Sikat gigi dulu kakak!” Ia menurut pada permintaan si kecil. “Una pintar, ya.” “Iya dong, kalau Una nakal nanti Mama sedih di sulga sana.” Hessa tidak berkomentar apa-apa pada si kecil. Hessa mendapatkan kasih sayang orangtuanya dengan baik. Meskipun ia juga ditinggal. Dan sekarang mengasuh anak ini, ia merasa kalau hidupnya dengan Yumna sama-sama ditinggal. “Una, kenapa barang-barangnya banyak banget tentang boneka stitch? Una suka?” “Mama yang suka. Una bawa boneka Mama juga, dikasih Papa dulu.” Hessa tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya dulu ketika menerima keadaan ketika mamanya Yumna meninggal. Di hari bahagia yang harusnya dirasakan oleh banyak orang. Tapi justru bahagia itu bercampur dengan duka. “Una seling doain, Mama. Kata Papa, nanti Mama di sulga kalau Una baik. Makanya Una nggak mau jadi anak nakal. Nanti Mama nangis.” Anak sekecil Yumna sudah diajarkan hal seperti itu oleh papanya, Hessa menyeka air matanya mengingat orangtuanya juga tidak ada, dia juga sama seperti Yumna. Takut alau dia nakal dan malah membuat orangtuanya bersedih. “Una, temenan sama kakak, ya! Mulai besok kakak yang asuh, Una.” “Kakak mau temenan?” Merasa kalau kisa mereka sama, sama-sama ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Mungkin dia merasa lebih baik kalau jadi pengasuh pribadi Yumna. “Una mau?” “Mau, Una mau temenan sama siapa aja.” “Ya udah kita temenan, besok kakak yang asuh, Una. Besok biar Kakak ngomong sama Ibu pengasuh di sini. Biar kita bisa main bareng.” Yumna mengangguk dan menggosok rambutnya sendiri saat Hessa sudah menuangkan shampo ke kepala Yumna. “Udaaaah cantik.” Hessa selesai memandikan dan memakaikan Yumna baju dan juga sudah memakaikan bedak untuk Yumna. “Baju kotornya di taruh di tas, ya? Nggak bawa plastik kayak teman-teman, Una?” “Nggak kak, nanti dicuci sama Papa langsung.” Hessa tidak berkomentar Banyak. Yumna dia mandikan terakhir kali. Karena tugasnya memandikan beberapa anak dan memakaikan baju. “Kok Papa belum jemput, ya?” Hessa menunggu hampir magrib, ibu pengasuh yang lain juga sudah banyak yang pulang. Ada beberapa anak yang belum. Karena banyak yang orangtuanya lembur juga. Hessa menunggu di bangku berdua bersama dengan Yumna. “Una, tunggu di dalam, Yuk! Di luar kan dingin.” Hujan juga sedang mengguyur kota Jakarta sekarang. Dia meminta Yumna duduk dipangkuannya lalu dipeluknya. Tidak ada maksud lain untuk membuat Yumna spesial di antara anak yang lain. Tapi Hessa hanya merasa bahwa kisahnya yang mirip dengan Yumna. Tapi Yumna masih punya sosok ayah. Tidak seperti Hessa. “Kakak peluk gini nggak apa-apa?” “Una suka dipeluk, kak.” Hari sudah mulai sedikit gelap. Terlihat sebuah mobil HR-V berwarna putih masuk ke pekarangan Daycare. “Itu Papa.” Kata Yumna yang melihat papanya keluar dengan payung. Celananya diliat ke atas dan keluar dengan sandal jepit. Pria itu menghampiri mereka berdua yang duduk dibangku dengan membawa sweater yang ada di pundaknya. “Maaf Papa telat jemput, ya! Papa tadi abis kerja banyak banget.” “Nggak apa-apa, Pa. Una nungguin sama Kakak di sini.” Papanya mengangguk lalu meminta Yumna turun dari pangkuan Hessa. “Pakai sweaternya, terus terus pulang. Una kedinginan kenapa nggak tunggu di dalam.” “Saya sudah ajak, Pak. Tapi dia nggak mau.” Pria itu tersenyum. “Terima kasih, ya! Saya sama Yumna balik dulu.” “Iya, Pak. Sama-sama.” Dia menggendong Yumna yang berpegangan di lehernya. Kedua orang itu pun pergi, lalu Hessa kembali lagi ke dalam untuk mengambil barangnya dan akan segera pulang. Karena anak asuhnya hari ini sudah pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD