Lamar Dia Untukku!

1420 Words
Wajah Magika yang sebelumnya dipenuhi rasa percaya diri kini berubah pucat. Dia menggerakkan bibirnya seolah ingin membela diri, tapi tak ada kata yang keluar. Tangannya yang gemetar mulai meremas ujung bajunya. Gio menatap Magika dengan tajam, matanya dingin seperti es. Kata-katanya keluar dengan penuh keyakinan dan ketegasan, "Hubungan kita berakhir sampai sini, Magika. Tidak akan ada pernikahan!" Suaranya tegas, seolah tidak ada ruang untuk diskusi. Setelah mengucapkan itu, Gio berbalik dan dengan cepat mengejar wanita cantik berhijab, yang tak lain adalah istrinya. Magika masih berdiri di tempatnya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya kosong, dan tubuhnya kaku, tidak bergerak sedikit pun. Para pengunjung yang menyaksikan kejadian itu mulai berbisik dengan suara pelan, tapi cukup terdengar oleh Magika yang terdiam. "Kasihan sekali ya," salah seorang pengunjung berbisik, "Kayaknya dia gak tahu kalau lelaki itu sudah beristri." "Anak zaman sekarang memang gak selektif sih," sahut yang lain, "Nyari yang mapan masih muda agak susah, jadi dia jadi piaraan om-om." Magika merasa darahnya berdesir mendengar komentar itu. Hatinya seperti dihantam keras, dan matanya mulai berkilat menahan amarah. Tanpa sadar, tangannya terkepal erat, jari-jari menekan telapak tangannya sekeras mungkin. Wajahnya memerah, tapi ia berusaha menahan diri agar tidak menangis. Jessie yang berada di sampingnya menyadari perubahan di wajah Magika. Jessie melihat sosok seorang lelaki berkemeja, yang tampaknya manajer restoran, sedang mengawasi mereka dengan tatapan curiga. Jessie segera meraih tangan Magika dan dengan suara pelan namun tegas, berkata, "Magika, kita keluar sekarang. Sebelum kita ditegur." Magika masih tertegun, namun akhirnya dia mengangguk pelan. Jessie menggandengnya keluar dari restoran, meninggalkan atmosfer yang semakin memanas. Ketika mereka melangkah keluar, Magika merasa hatinya hancur, seolah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Hatinya dipenuhi dengan rasa malu dan kekecewaan, dan langkahnya terasa semakin berat setiap detiknya. Di parkiran restoran yang sunyi, suasana terasa mencekam setelah kejadian di dalam. Mobil-mobil terparkir di sekitar mereka, namun bagi Magika, dunia terasa kosong dan hampa. Dia berdiri dengan pandangan kosong, seperti tak mampu merasakan apa pun. Jessie berdiri di sampingnya, matanya penuh kekhawatiran. "Come on, Magi, dunia belum berakhir!" Jessie mencoba membangkitkan semangat Magika, meskipun suaranya terdengar sedikit gugup. Magika hanya tersenyum pahit, wajahnya tampak penuh rasa sakit. "Mas Gio... menipuku, Jess!" Suaranya hampir pecah, penuh dengan amarah yang terpendam. Ia menatap Jessie dengan tatapan penuh kebencian, marah pada dirinya sendiri dan juga pada Gio yang telah mengkhianatinya. Jessie menghela napas, menyadari betapa hancurnya hati sahabatnya. "Duduk dulu yuk," Jessie berkata lembut, berusaha menenangkan Magika. "Coba tenang, Magi. Kita perlu bicara." Magika tak berkata apa-apa, namun akhirnya ia mengikuti ajakan Jessie. Keduanya berjalan ke bangku yang terletak di bawah sebuah pohon rindang yang ada di sekitar parkiran. Angin malam sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, seolah memberi sedikit ketenangan di tengah suasana yang kacau senja itu. Setelah duduk, Jessie menatap Magika dengan penuh empati. "Ambil pelajaran dari ini, Magi," kata Jessie pelan namun tegas. "Kamu harus pastikan dulu, lelaki yang mendekatimu itu beneran single ya." Magika menundukkan kepala, merasa perasaan malu dan kecewa semakin mencekam hatinya. Namun, kata-kata Jessie membuatnya sedikit merenung. Ia mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan bahwa dirinya telah terjebak dalam permainan yang tidak seharusnya ia mainkan. Jessie mengulurkan tangan, menepuk lembut pundak Magika, memberikan kekuatan yang kini terasa hilang dari dirinya. Suasana parkiran restoran yang semula tenang tiba-tiba berubah saat sebuah mobil mewah meluncur masuk dengan anggun. Lampu mobil yang menyala terang dan suara mesin yang halus menarik perhatian Magika. Dia menatap mobil itu dengan mata berbinar-binar, membayangkan kemewahan yang mengelilingi pemiliknya. "Kalau pemilik mobil itu single," Magika berandai-andai dengan suara penuh harap, "semoga aku bisa menikah dengan dia. Pasti aku akan sangat bahagia." Jessie segera menegur, suaranya terdengar tajam. "Hati-hati kalau bicara, Magika! Ayolah, jangan langsung mikir yang aneh-aneh." Magika hanya nyengir, tidak terlihat terpengaruh oleh teguran Jessie. Namun, begitu pintu mobil itu terbuka, Magika langsung berdiri dengan ekspresi penuh kejutan. "Kak Terama!" serunya, suaranya bercampur antara kegembiraan dan rasa tak percaya. Jessie, yang duduk di bangku, mengerutkan dahi. "Kamu mengenalnya?" tanyanya, matanya menatap Magika dengan rasa ingin tahu. Magika mengangguk dengan semangat. "Sangat kenal," jawabnya cepat. "Dia ketua OSIS waktu aku SMA! Aku mau samperin dia dulu. Kali aja dia masih single." Sebelum Jessie sempat merespons, Magika sudah melangkah penuh antusias ke arah pria yang baru saja keluar dari mobil. Jessie hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil mendesah pelan, merasa tidak habis pikir dengan pikiran impulsif sahabatnya. "Astaga, Magika..." gumamnya, melihat sahabatnya yang sudah berjalan menjauh. Terama keluar dari mobil mewahnya, tubuhnya tegap dengan tinggi sekitar 175 cm. Wajahnya tampak semakin matang dibandingkan dulu, kulitnya putih bersih, dan kumis tipis menghiasi wajahnya yang semakin memancarkan ketampanan. Dia mengenakan kemeja putih yang rapi, lengan digulung santai, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya. Aura percaya diri terpancar kuat darinya. Magika menatap Terama dengan perasaan campur aduk. Hatinya berdebar, dan pikirannya melayang ke masa lalu saat dia masih menjadi anggota OSIS di bawah kepemimpinan Terama. Dengan penuh harap, dia mendekati Terama dan berkata dengan suara ceria, "Hai, Kak Terama!" Terama yang sedang melihat ponselnya, langsung mengangkat kepala dan menoleh ke arah Magika. Dia memicingkan mata sejenak, mencoba mengenali sosok yang memanggilnya. Lalu, wajahnya berubah cerah dengan senyum hangat. "Magi?" Magika langsung mengangguk dengan antusias, senyumnya melebar. "Ya, ini aku, Kak! Ah, aku terharu Kakak masih mengenaliku." Terama tertawa kecil, lalu memasukkan ponselnya ke saku. "Tentu saja aku ingat. Kamu salah satu anggota OSIS yang paling aktif dulu, kan? Lama nggak ketemu, Magi." Magika tersenyum semakin lebar, hatinya berbunga-bunga karena Terama masih mengenalinya. "Iya, Kak. Rasanya seperti mimpi bisa ketemu Kakak lagi di sini." Terama mengangguk, masih tersenyum, dan suasana di antara mereka terasa penuh nostalgia. "Kamu sendiri di sini?" tanya Terama, menatap Magika dengan ramah. Magika menunjuk ke arah Jessie yang berdiri di dekat bangku di bawah pohon. "Dengan teman, Kak," jawabnya sambil tersenyum. Terama mengangguk, masih dengan senyum tipis di wajahnya. "Aku ke dalam dulu ya," katanya sambil melangkah perlahan menuju pintu restoran. "Ya, Kak," Magika mengangguk, mengikuti Terama dengan pandangan penuh kekaguman. Saat sosok Terama menghilang di balik pintu restoran, Magika berbalik dan berjalan cepat kembali ke Jessie, senyumnya masih mengembang. Jessie mengangkat alis, sudah bisa menebak apa yang ada di pikiran sahabatnya. Namun sebelum Jessie sempat berkata apa-apa, Magika menarik lengannya. "Ayo, Jess, kita pergi dari sini sekarang!" katanya dengan penuh semangat. Magika mendekati motor maticnya dengan langkah ringan, wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah. Jessie mengikutinya sambil menggelengkan kepala. Ketika Magika duduk di atas motor, Jessie akhirnya berbicara, "Magi, kamu baru saja patah hati, dan sekarang dengan mudah kamu kembali bahagia. Serius?" Magika hanya tertawa kecil, menyalakan mesin motornya tanpa menjawab. Di benaknya sudah tersusun rencana untuk mendekati Terama. Tanpa mereka sadari, dari dalam mobil yang tadi ditumpangi Terama, sepasang mata tengah mengamati Magika dengan penuh harap. Pemilik mata itu tidak berkata apa-apa, hanya memandang Magika dengan tatapan dalam, seolah-olah menyimpan perasaan yang tak terucapkan. Beberapa menit setelah Magika pergi. Terama kembali ke mobilnya, membawa sebuah paperbag di tangannya. Dengan gerakan tenang, dia membuka pintu, masuk, dan menyimpan paperbag itu di kursi sebelahnya. Setelah memastikan semuanya rapi, dia menyalakan mesin mobil. Sambil mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir restoran, Terama bertanya dengan nada santai, "Kita langsung pulang, Kak?" Lelaki yang duduk di kursi belakang, seorang pria dengan postur tegap dan wajah karismatik, menjawab singkat, "Ya." Mobil meluncur mulus keluar dari parkiran. Setelah beberapa meter, lelaki di kursi belakang membuka suara lagi, nadanya terdengar penasaran. "Gadis yang tadi mengobrol denganmu, siapa?" Terama mengerutkan dahi sesaat, lalu bertanya balik, "Yang tadi sebelum aku masuk restoran?" "Ya," jawab lelaki itu tegas. "Oh, itu Magika," kata Terama sambil tersenyum tipis, mengingat wajah ceria Magika. "Dia adik kelasku saat SMA. Dulu dia anggota OSIS di bawah kepemimpinanku." Lelaki itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada penuh keputusan, "Dekati dia untukku. Lamar dia untukku. Aku ingin menikahinya." Terama langsung menginjak rem mendadak, membuat mobil berhenti dengan hentakan yang cukup keras. Wajahnya berubah, penuh keterkejutan. "Apa?" tanyanya, menoleh ke belakang, mencoba memastikan apakah dia benar-benar mendengar apa yang baru saja dikatakan. Lelaki di kursi belakang menatapnya dengan ekspresi tenang namun serius, tanpa tanda-tanda akan menarik kembali ucapannya. "Aku serius, Terama." Terama menatap pria itu beberapa detik, masih belum percaya dengan permintaan mendadak ini. Namun, melihat sorot mata lelaki itu, dia tahu ini bukan sekadar candaan. “Kak, Magika lebih muda lima belas tahun dari pada kamu. Apa kamu serius?” Tanya Terama memastikan. Lelaki berkharisma itu menjawab, “kapan aku pernah bercanda?” “Aku menginginkannya, aku hanya akan menikah dengannya. Tidak dengan yang lain!” serunya dengan serius. Terama makin heran, “kenapa harus Magika?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD