Bab 7

1099 Words
Apakah Janah memang subur, bisa hamil hanya dengan satu kali berhubungan?? Aku terdiam beberapa saat, lalu pergi ke kamar mandi samping menyusulnya. "Bagaimana keadaanmu, Janah? Apa sebaiknya kita pulang ke kota?" tanyaku yang khawatir melihatnya tidak berhenti memuntahkan cairan putih. Dia mengeleng cepat, ”Tidak perlu, Mas. Kita bisa pulang lima hari lagi. "Tapi kamu butuh istirahat total Janah." "Disini juga bisa, Mas." "Ya, sudah. Nanti setelah keadaanmu lebih baik, kita cek ke dokter," ucapku padanya. Mendengar perkataanku Janah langsung berhenti muntah dan menatapku. "Tidak, Mas. Aku tidak mau ke dokter," ucapnya ke keberatan. "Keadaanmu parah, Janah. Kita harus memeriksanya. Bisa saja kamu hamil," ucapku dengan menambahkan sedikit senyum dibibir agar dia mau pergi ke dokter. Diluar dugaanku, dia malah bersikap ketakutan. Seolah ada bahaya yang mengancam. "Tidak, Mas. Aku mana mungkin hamil." "Kenapa tidak mungkin, kita kan sudah melakukannya. Bisa saja kabar bahagia muncul diantara kita Janah." "Tidak Mas, itu tidak mungkin," jawabnya kukuh. "Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak, Janah. Kemarilah," kugendong tubuhnya dan kubaringkan di ranjang. "Tidurlah, istirahatkan dirimu." Kukecup beberapa kali keningnya untuk menenangkannya. Tidak membutuhkan waktu lama, dia terpejam. Untuk mengusir kecurigaan yang ada di pikiranku, aku bermaksud untuk menemui ustadz Rahman di ruangannya. "Assalamu'alaikum, tadz." "Wa'alaikumussalam warahmatullah, masuklah," jawab ustadz Rahman. Aku menghela nafas lega, kukira ustadz Rahman sedang tidak ada. 'Alhamdulillah, ustadz Rahman di sini.' "Apa terjadi pertengkaran diantara kalian kemarin, Tadz," tanyanya. "Iya. Kita terlibat sedikit adu mulut," jawabku pasrah. "Kenapa bisa, tadz?” tanyanya lagi. "Karena sebuah kemeja." "Ukurannya bukan ukuranmu, Tadz?" tanyanya lagi yang sangat tepat sasaran. Aku hanya diam. "Sepertinya baju itu bukan untukmu," ucapnya tenang tapi membuat otakku seperti mendidih. "Aku tidak mau su'udzon, jika husnudzon masih bisa." "Bagiku kau tidak adil, Tadz. Mengatakan seperti itu hanya untuk istri muda. Sedangkan untuk Sinta, kau lukai perasaannya dengan begitu mudah," ucapnya yang lagi-lagi mengungkit masalah itu. "Aku tidak pernah menyakiti keduanya," jawabku datar. "Lelaki itu imam dalam rumah tangga dan istri yang taat akan selalu berusaha untuk menyenangkan hati suaminya. Apakah selama ini Sinta pernah membuatmu kecewa?" "Selama ini belum pernah." Ucapan ustadz Rahman membuat otakku mengingat bagaimana Sinta menyenangkan aku. Selama ini dia tidak pernah membuatku kecewa ataupun emosiku naik. Segala yang ia lakukan selalu membuatku bahagia dan tersenyum sepanjang waktu. Tetapi berbeda ketika dia membawa surat dokter yang menyebutkan bahwa dia tidak bisa mengandung. Semuanya seakan sirna seketika. Kebahagiaan yang kami jalani seakan berputar seratus delapan puluh derajat. Segala kebaikannya tertutupi oleh selembar kertas itu. Semenjak aku memutuskan untuk menikah lagi, kini sikapnya yang berubah. Tidak ada lagi canda dan tawa. Tidak ada senyuman yang menghias bibirnya dan tidak kudengar suara manjanya. Jujur, aku merindukan semua yang ada padanya. Tapi kini aku harus bisa menjaga dua hati yang membuatku tidak bisa terlalu dekat dengan Sinta. "Sinta tidak pernah menyakitimu, Tadz. Tapi apa yang kau lakukan? Menyakitinya sampai dia merubah sikapnya padamu," jelasnya lagi. "Aku tidak mengerti dengan apa yang antum ucapkan, Tadz." "Tidak usah formal Tadz, kita hanya berdua. Seperti saya memanggil kamu," ucapnya yang membuatku lega. Kini aku bisa lebih leluasa untuk curhat. Di memakai sebuah kaca mata, lalu duduk di sampingku. Ustadz Rahman menatapku lekat. ”Apa Sinta mengijinkan kamu untuk menikah lagi?" tanyanya dan aku hanya bisa menggeleng. Dia menghembuskan nafas kasar, "Apa Sinta sempat memastikan keyakinanmu waktu itu?" tanyanya lagi dan aku mengangguk. "Astagfirullah. Ini dosa besar bagi seorang suami. Harusnya kamu mendengarkan Sinta lebih dulu sebelum melaksanakan pernikahan ini. Walau bagaimanapun dia istri pertamamu dan tidak pernah sekalipun menyakiti hatimu dan keluargamu.", Kepalaku terasa pusing mendengar ucapannya. Jadi sepenuhnya ini salahku?? "Apakah dalam kasus ini hanya aku yang salah?" "Tentu. Kau tahu seorang istri akan sangat terluka ketika suaminya berkhianat. Apa lagi sampai menikah lagi. Sekarang pasti Sinta bersikap dingin, ya?" Aku mengangguk cepat. "Sekarang kembalilah ke kamar dan telpon Sinta. Minta maaflah padanya." "Sebentar Tadz, ada yang ingin Saya tanyakan. Berhubung ustadz Rahman kan seorang dokter juga, mungkin tahu jawaban dari pertanyaan Saya ini," ucapku sambil menahan ustadz Rahman yang hendak melangkah. Kini dia kembali duduk dan menatapku, "apa?" tanyanya. Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kalau kita baru satu kali berhubungan suami istri, apa ada kemungkinan sang istri langsung hamil? Tapi kan berhubungannya baru kemarin." "Apa Mbak Janah, maaf, masih perawan ketika menikah denganmu?” tanyanya balik. "Tidak. Orangtuanya bilang Janah pernah mengalami kecelakaan sewaktu memasuki remaja yang mengenai kelaminnya," jelasku. "Apa antum percaya?" tanyanya lagi. "Tentu," jawabku mantap. "Cari tahu sendiri jika kamu mempercayainya, tidak perlu bertanya kepada orang lain. Terutama aku. Jangan lupa untuk menelpon Sinta," ucapnya dan beranjak pergi meninggalkanku. Kini aku tidak bisa menahannya untuk pergi. Tapi setiap aku bertanya padanya, dia selalu bertanya kembali. Ustadz Rahman yang sekarang seperti bukan temanku yang dulu. *** Kupandangi langit-langit kamarku. Benar, ada rasa rindu di hatiku pada Sinta. Kuraih handphone yang ada di atas nakas, kucari nama 'Ya Qolbi' yang berarti wahai istriku, tapi tidak ada. Kucari namanya Sinta, langsung muncul. Aku tidak pernah mengganti nama kontaknya, tapi kenapa bisa berubah? Kubuka kontaknya dan menekan tombol panggil. Panggilan telah tersambung, tinggal menunggu Sinta menerimanya. Janah masih tertidur pulas, aku hanya bisa mengelus pucuk kepalanya. Kulihat perutnya yang masih rata. 'Apa benar kamu hamil anakku?' "Assalamu'alaikum," sapa Sinta disebrang sana tanpa embel-embel Mas. Sungguh aku merindukan Sinta yang dulu. "Wa'alaikumussalam warahmatullah, sedang apa?" "Duduk berkumpul," jawabnya singkat. "Sama siapa?" "Keluargamu." "Keluargaku, keluargamu juga Sinta," ucapku menginginkan. "Iya," jawabnya singkat padat tapi tidak jelas untuk hatiku. "Apa yang sedang kalian bicarakan, membicarakan aku, ya?" candaku dengan harapan dia terpancing. "Tidak." Ternyata dia tidak terpancing. "Baiklah. Lounspeker saja, biar mereka juga bisa mendengar suara, Mas." "Siapa, nak?" terdengar suara Umi bertanya pada Sinta. "Mas Fahmi, Umi," jawab Sinta yang terdengar hangat, tidak seperti bicara padaku. "Fahmi bagiamana keadaan kalian?" sapa umi padaku. "Alhamdulillah baik, Umi. Cuman tadi pagi Janah muntah-muntah terus." "Masuk angin mungkin." "Bukan Umi. Soalnya cairannya putih bukan makanan," jelasku. "Hore, akhirnya kita akan segera dapat cucu," ucap umi bahagia dan membuat yang lain bertanya antusias padaku. Apa benar dia hamil? Emang bisa hamil dalam sekali sentuh? "Sinta mana, Mi?" tanyaku yang hanya mendengar celotehan bahagia mereka tapi tidak mendengar suara Sinta. Suara mengobrol kami yang keras membuat Janah terbangun dari tidurnya dan duduk mendengarkan percakapan kita. "Tidak tahu, barusan Sinta pergi tapi tidak memberitahu Umi," jawab Umi yang membuatku sedikit kecewa. "Dia emang tidak tahu diri. Sudah mandul, tidak tahu waktu pula. Suaminya pergi ke jalan-jalan ke cabang pondok, dia malah keluyuran sama lelaki lain. Dasar wanita tidak tahu diri,” ucap Bibi Ratih geram. 'Apa? Sinta pergi bersama laki-laki? Apa itu benar?’ batinku penasaran dan nafasku mulai memburu setelah mendengar perkataan bibi Ratih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD