1

1398 Words
Tak ada lagi yang tersisa, semua kenangan indah yang dulu pernah ada, kini telah menjadi sebuah kenangan yang berusaha dilupakan, cinta yang dulu pernah ada telah menjadi sebuah ilusi yang mustahil untuk terulang kembali. Kenangan yang begitu indah, kini menjadi memori pahit. Keluarga bahagia hanya mencadi cerita yang tak akan terulang kembali. Andai saja Andra tidak egois, pasti dirinya tidak akan kehilangan cinta keluarga, tidak akan kehilangan ibu, terlebih lagi keluarganya akan tetap harmonis. Jika mengingat masa dulu membuat Vanilla ingin menangis, berteriak dan berlari sejauh mungkin. Semua kasih sayang yang pernah dia dapatkan dulu kini telah terkubur dalam-dalam bersama luka. Luka basah yang masih menganga, entah kapan akan sembuh, mugkin tidak akan pernah sembuh sampai kapan pun. Ini bukan tentang patah hati karena ditinggal kekasih, bukan tentang merindu pada pasangan, dan bukan pula tentang cinta yang kandas, namun ini tentang hati yang merindu kasih sayang orangtua, mendamba kehangatan keluarga yang pernah terjalin, terlebih lagi rindu pada sang mama yang entah di mana keberadaannya. Hari ini adalah pengumuman kelulusan SMA Nusa Bangsa, setelah membaca surat yang menyatakan lulus, Vanilla cukup senang karena tugasnya sebagai pelajar sudah berakhir. Tidak ada sedikitpun terbersit di hatinya untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi seperti yang teman-temannya lakukan. Nadine misalnya, gadis itu sudah sudah daftar kuliah di Universitas Padjajaran. Tumbuh sebagai anak broken home membuat Vanilla terguncang psikisnya, bahkan untuk sekadar bernapas pun dia sudah lelah, berkali-kali dia mencoba melakukan percobaan bunuh diri, tapi entah kenapa sepertinya masih sayang dengan Vanilla. "Van, ada club baru. Lo mau ke sana gak?" ucap Nadine yang merupakan sahabat Vanilla sejak awal masuk sekolah menengah atas. Vanilla memang tumbuh jadi bad girl sejak perpisahan orang tuanya itu, itu bentuk pemberontakan dari Vanilla, tapi sayang ayahnya tidak peduli dengan Vanilla. Da hanya ingin ayahnya lebih peduli terhadapnya. Vanilla mengendikkan bahunya. "Gue ikut aja," kemudian Vanilla mengambil tasnya di atas meja. "Gue cabut dulu." *** Setelah keluar dari Honda Jazz-nya. Vanilla memasuki rumah mewah yang sunyi. "Vani..." Gadis itu menoleh saat mendengar namanya kemudian menaikkan sebelah alisnya. "Bagaimana hasilnya? Apa kamu gak lulus?" Vanilla memang memiliki ibu tiri yang sikapnya kurang baik, itu yang membuat Vanilla semakin terguncang psikisknya, di rumah ini tidak ada kebahagiaan yang dia dapatkan. Vanilla berdecih lalu mengeluarkan amplop yang berisi pengumuman kelulusan dari dalam tasnya kemudian melemparnya tepat di depan wajah wanita itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Vanilla berlari menaiki tangga. "Dasar anak kurang ajar!" Teriakan wanita tadi masih dapat didengar oleh Vanilla tetapi gadis itu sama sekali tidak menggubris ucapan Ariana Paramitha, adalah Mama tiri dari Vanilla yang dinikahi oleh Ayahnya 9 tahun. Vanilla terkejut bukan main saat memasuki kamarnya dan melihat dengan mata kepalanya sendiri kamarnya berantakan seperti kapal pecah. Rasanya Vanilla ingin melempar bocah ini ke lantai bawah hingga mati biarkan saja kalau anak kecil ini adalah adiknya. Bagi Vanilla, Salsa memang menyebalkan, adik tiri yang selalu menjadi musuhnya, sejak dia lahir sampai detik ini, mungkin sampai selamanya. "Salsa, kenapa main di kamar gue, hah?" tanya Vanilla dengan mata melotot, seperi ingin memakan Salsa hidup-hidup. Anak delapan tahun itu sedang main masak-masakan dengan segala alat mainannya dia letakkan di atas kasur Vanilla dan beberapa bahan makanan juga berada di sana. Ralat, bahan dan alat masakan mainan. Salsa mendongak kemudian menyengir. "Biar kamar Salsa gak kotor, Kak!" Vanilla kaget dengan jawaban Salsa, cukup berani menjawab. Vanilla langsung menarik rambut Salsa, dan membiarkan anak itu kesakitan. "Oh jadi maksud lo, gak apa-apa kamar gue kotor yang penting kamar lo bersih?" Salsa mengangguk. “Lepas, Kak.” Salsa berusaha melepas jambakan Vanilla, tapi sayang tenaganya tidak sekuat kakak tirinya itu. “Gue akan lepas, tapi lo janji nggak boleh kotorin kamar gue, ngerti?!”             Salsa menangis sekencang-kencangnya, akhirnya Vanilla pun melepaskan tangannya dari rambut Salsa. "SEKARANG GUE NGGAK MAU TAHU LO BERESIN MAINAN LO DAN SETELAH ITU ENYAH DARI KAMAR GUE, NGERTI?!" bentakan Vanilla membuat tubuh anak kecil itu gemetar, rasanya dia ingin sekali menangis. "Tunggu apa lagi, cepat kerjakan!" Tidak mengindahkan permintaan Vanilla, Salsa langsung berlari keluar kamar sambil menangis. "Sialan!" Vanilla yakin pasti bocah sialan itu akan mengadu ke ibunya itu, karena setiap kali mereka berantem, ujung-ujungnya Vanilla kena omel mama tirinya itu. Benar dugaan Vanilla, tak berapa lama kemudian muncul Ariana bersama Salsa yang bersembunyi di belakang sang Mama. "Vanilla, saya gak suka kamu membentak Salsa sampai dia menangis, apalagi sampai menjambaknya seperti itu. Vanilla hanya terkekeh, tidak peduli dengan ucapan Ariana. "Sekarang beresin kamar gue dan tolong anak lo yang jelek ini jangan biarin masuk kamar gue," ucapnya enteng kepada wanita dua puluh tujuh tahun ini. Suara Ariana semakin meninggi. "Vanilla, apa kamu gak bisa sedikit saja menghargai saya sebagai mama kamu, hah?" Vanilla berdecih. "In your dream, lo ingat. Lo terlalu muda buat jadi Mama gue. Gue jijik ngakuin lo sebagai mama gue! Lo adalah alasan kenapa keluarga gue hancur! Gue nggak akan pernah lupa lo adalah penyebab hancurnya keluarga gue, lo itu PELAKOR, asal lo tahu, saat lo masuk ke keluarga gue, saat itu pula gue membenci lo, dan membenci anak lo ini. Lo sendiri yang memulai, Ariana.” Ariana bergeming, lidahnya kaku untuk berucap barang satu kata pun, kemudian dia bergegas membersihkan bekas mainan Salsa setelah itu keluar dari kamar Vanilla. *** Vanilla menuruni anak tangga dengan pakaian casual, tanktop yang ia baluti dengan long cardigan dipadukan dengan jeans denim dan sneakers biru dongker. Rambut diuncir kuda dengan topi bertulisan badgirl di atas kepalanya. "Vani, kamu kemana?" "Nggak ada urusannya sama lo, paham?" "Mau jadi p*****r?" ucapan Ariana sukses membuat Vanilla naik pitam. “Sejak, kapan p*****r pakaiannya gini, bego.” “Bisa aja, kamu ganti, bahkan kamu bisa aja telanjang depan mereka.” Dengan sigap Vanilla mendorong wanita itu hingga tersungkur. "Ini hidup gue, lo nggak berhak ikut campur. Paham? Lo lupa, p*****r itu lo, Ariana.” Vanilla menginjak perut Arianda dan melenggangg begitu saja, Vanilla tidak akan pernah bisa berdamai dengan wanita ini, entah kapan akan berakhir.   ***             Kini Vanilla sudah sampai di sebuah kelab malam, ini lah hidup Vanilla tidak terlepas dengan dunia malam, baginya hidup dia sekarang tidak akan berada di jalan benar, karena percuma tidak ada yang peduli termasuk orang tuanya sendiri.             Vanilla dan Nadine duduk di depan mea bartender, sambil sesekai meneguk alkohol, dan bersenda gurau. "Hai cantik," ujar seseorang yang mendekati Vanilla dan Nadine. Pria itu bukannya melirik Nadine yang berpakaian seksi justru melirik Vanilla yang berpakaian tak menarik ini. “Ini ada temen gue yang seksi,” ujar Vanilla yang langsung disenggol oleh Nadine. “Saya tertariknya sama kamu, dia tidak secantik kamu, kamu cantik dengan penampilan sederhana kamu.” Ucapan laki-laki itu membuat Nadine kesal, karena baru saja dia mengatakan dirinya tidak secantik Vanilla. Vanilla terkekeh dan menatap remeh pria yang diperkirakan berumur 30-an itu. "Lo kalau mau cari mangsa sekelas artis hollywood lah, jangan gue yang setara preman pasar," ujar Vanilla setelah itu meneguk segelas alkohol yang ada di tangannya. "Kecantikan kamu setara dengan artis hollywood, sayang." Pria itu mengedipkan sebelah matanya dan menampilkan senyuman yang sama sekali tidak manis. Laki-laki itu mendekat, hendak mencium Vanilla, namun Vanilla langsung menonjok laki-laki itu dengan keras, dan menendang selangkangannya. Sebenarnya ini bukan pertama kali Vanilla bertemu dengan p****************g tiap kali ke club, dia melirik Nadine. "Cabut kuy, malas gue berurusan sama pria berotak dangkal gini." Keduanya keluar club dan mengendarai mobil masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Tiba-tiba di tengah perjalanan mobil yang dikendarai oleh Vanilla ban-nya pecah. "Sial, kenapa ban-nya pecah?" ia memukul stir mobilnya. "Mana hp gue mati lagi, gak ada bengkel sekitar sini. Yakali gue jalan kaki sampai rumah. Bisa gempor kaki gue." Seakan malam ini menjadi malam kesialannya. Vanilla keluar dari mobilnya lalu menendang ban itu berkali-kali. "Sial, lo berengsek. Gak tahu tempat mau pecah!" makinya kepada Honda Jazz-nya itu. "Ada yang bisa dibantu?" Vanilla terkejut saat seorang pria menghampirinya dan menawarkan bantuan. Dia menatap wajah pria dihadapannya kemudian mengangguk. "Ban gue pecah, gak ada ban serep." Pria itu meneliti ban-nya. "Saya coba hubungi bengkel, biar diambil sama mobil derek." Setelah itu dia menghubungi seseorang di seberang sana. "Sebentar lagi orang bengkel ke sini, apa kamu mau bareng saya?" tanya pria itu setelah menutup teleponnya. "Mobil gue aman 'kan?" Pria itu mengangguk. "Aman, mungkin mobilnya bisa diambil besok." Vanilla mengangguk, setelah itu mereka masuk ke dalam mobil milik pria itu. "Saya Arga." "Gue Vanilla." Bian menulis sesuatu dan memberikannya kepada Vanilla. "Ini alamat bengkelnya." Setelah Vanilla mengambil kertas tersebut lalu Arga melajukan mobilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD