14. Makan malam yang kacau

1708 Words
“Daniel, kamu sudah siap?” Seorang perempuan dengan gaun panjang masuk ke kamar milik Daniel. Kamar dengan warna dominan abu-abu ini merupakan kamar Daniel saat dia masih tinggal di rumah ini. Sekarang Daniel sudah pindah ke apartemen tapi kamar ini masih dirawat dengan baik. Semuanya masih di tata seperti terakhir kali Daniel meninggalkannya. “Sudah Bu. Ayo kita keluar,” ajak Daniel pada Ibunya. Dia kemudian menggandeng tangan Ibunya menuju ke ruang utama tempat di mana kedua keluarga itu akan berkumpul. Malam ini, keluarga Wijaya sedang berkenalan dengan keluarga Harris. “Ibu senang kamu akhirnya mau membuka hati lagi.” Daniel menatap Ibunya dengan tatapan nanar. Seandainya saja Ibunya tahu bahwa hatinya tidak pernah setuju dengan hal ini. Seandainya saja Ibunya tahu bahwa wanita pertama dan terakhir Daniel bawalah yang diinginkan Daniel. “Kamu jangan dulu khawatir, kita lihat dulu mereka seperti apa. Ibu pastikan kamu akan dapat calon istri terbaik,” kata Ibunya lagi. “Dan dia orangnya. Orang yang kalian tentang tempo hati,” batin Daniel. “Nah ini dia anaknya.” Ferry menatap ke arah Daniel yang baru muncul bersama dengan Ibunya. Seorang pria bule paruh baya dengan badan besar menatap ke arah Daniel dan Ibunya. “Daniel,” kata Daniel sambil menyambut uluran tangan pria tersebut. “Pieter, Pieter Harris,” kata pria itu lagi. “Dia ayahnya Safina,” kata Ferry lagi. Daniel hanya mengangguk. “Saya dengar kamu sudah pernah mengajak anak saya makan malam?” tanya Pieter. Daniel mengangguk. “Hanya sebagai perkenalan saja,” jawab Daniel. “Safina cerita sama saya pengalaman dia makan malam sama kamu. Katanya kamu benar-benar seorang true gentlemen. Saya pikir kamu sama dengan Ayah kamu,” kata Pieter yang disambut tawa Ferry. “Saya malah bersyukur kalau pertemuan pertama mereka berjalan lancar. Itu artinya keduanya bisa cocok untuk melangkah ke jenjang selanjutnya,” timpal Ferry. “Daddy!” Suara Safina terdengar memanggil Ayahnya. “Hai Sweetheart, gimana perjalanan kamu?” tanya Pieter sambil merangkul putrinya itu. “Baik kok Dad, shooting-nya juga lancar.” Safina balas memeluk Ayahnya. “Wah enaknya bisa manja kalau punya anak perempuan. Sayangnya aku hanya punya anak laki-laki yang bandel dan bilang sayang ke Ayahnya aja jarang,” kata Ferry. Pieter tertawa. “Mungkin kau bisa merasakannya kalau kau punya cucu perempuan?” goda Pieter. “Maksudmu cucu kita?” timpal Ferry Keduanya kembali tertawa. Sementara Daniel memutar bola matanya dengan malas. “Hai Dani,” sapa Safina pada Daniel dengan malu-malu. “Dani?” tanya Ibu Daniel. “Ah, itu panggilan sayangku untuk Daniel,” jawab Safina. Daniel mengerutkan dahinya, seingatnya Safina tidak pernah memanggilnya demikian. Wanita ini pasti sedang mengkhayal. “Aduh, sudah ada panggilan sayang,” timpal seorang perempuan yang Daniel tebak sebagai Ibu dari Safina. Mereka kemudian tertawa lagi kecuali Daniel yang masih mempertahankan muka datarnya. Dia ingin kabur sekarang kalau bisa, sayangnya dia tidak bisa. “Eh ngomong-ngomong kamu belum berkenalan dengan Ayah dan Ibu Daniel,” kata Pieter. Safina langsung menepuk jidatnya. “Ya ampun lupa karena langsung akrab. Maaf ya Om dan Tante. Kenalin saya Safina,” kata Safina. Ferry dan istrinya hanya tertawa. “Tidak perlu minta maaf. Kami malah bersyukur kamu bisa akrab sama kami,” kata Ibu Daniel. “Sepertinya makanannya sudah siap, ayo kita ke meja makan,” kata Ferry yang kemudian mempersilahkan Pieter dan keluarganya berjalan menuju meja makan. “Kamu suka panggilan sayangku?” tanya Safina pada Daniel. Keduanya berjalan paling belakang. Daniel hanya mengangkat bahu. “Aku bertaruh kalau tidak ada wanita yang memanggilmu dengan panggilan sayang sepertiku. Pasti mereka hanya memanggil namamu,” kata Safina penuh percaya diri. “Kau salah. Ada yang memanggilku dengan panggilan spesial,” kata Daniel. “Siapa? Kau punya pacar? Atau mantan kekasihmu yang orang biasa itu,” kata Safina. Daniel menghentikan langkahnya. “Dia memang orang biasa tidak sepertimu yang kelebihan biasa.” Daniel kemudian melanjutkan langkahnya. Hatinya merasa kesal, bisa-bisanya wanita aneh itu mengatai Nara. Dia hampir menyumpal mulut Safina yang terus menerus mengoceh itu dengan sepatunya. “Dee.” Suara Nara yang lembut masih terekam jelas dalam ingatan Daniel. Panggilan yang sangat dia rindukan. Hanya Nara dan cuma Nara yang boleh memanggil dirinya dengan sebuah nama panggilan. Daniel kemudian duduk di samping Ayahnya. Sementara sang Ayah duduk di kepala meja. Pieter mengambil tempat di sebelah Ferry dan di depan Daniel. Di sampingnya ada Safina kemudian Ibunya. Sementara Ibu Daniel duduk di samping Daniel. Makanan mulai disajikan. Semuanya mengambil serbet dan menaruh benda itu di atas paha mereka dan juga meletakannya di d**a mereka. Sebuah sup disajikan sebagai makanan pembuka. “Silakan dicicipi,” kata Ferry. Semua orang kemudian menyendokkan sup itu dan memakannya. “Ini udang????” teriak Safina tiba-tiba. Semua orang menatap ke arahnya. “Kenapa Sweetheart?” tanya Pieter. “Dad!!! Aku alergi udang.” Safina membanting sendoknya ke meja. Daniel melirik ke arah Ferry yang terkejut dengan tingkah Safina. “Kau alergi udang?” tanya Pieter. Safina menatap Ayahnya dengan tatapan tajam. “Tentu saja, aku bisa gatal-gatal bahkan hanya dengan satu suap,” kata Safina dengan nada merajuk. “Apa kau ingin ke rumah sakit?” tanya Daniel. “Iya,” jawab Safina. “Baiklah.” Senyum Safina mengembang. Dia sebenarnya tidak alergi udang, dia hanya ingin mencari perhatian untuk menunjukkan pada orang tua keduanya bahwa Daniel perhatian padanya. Dan benar saja, lelaki itu memang mengkhawatirkan dirinya. “Tolong bawakan Nona Safina ke rumah sakit,” kata Daniel pada pelayannya. Pelayan itu segera mengangguk dan pergi ke arah Safina. “Apa Nona masih bisa berjalan atau perlu kursi roda?” tanya pelayan itu sopan. “Memangnya aku lumpuh pakai kursi roda?” “Sweetheart, pelankan sedikit suaramu,” kata Pieter karena merasa suara Safina sudah mulai tinggi. “Dan ngapain juga kau di sini. Aku ingin diantar Daniku. Iyuh... sepertinya alergiku bertambah bukan hanya udang tapi juga dengan orang rendahan seperti kalian. Menjauh dariku!” Pelayan itu kemudian melangkah mundur. “Sweetheart, jangan bicara seperti itu,” tegur Pieter lagi. Dia sudah mulai merasa malu dengan kelakuan anaknya. “Kau ingin ku antar?” tanya Daniel. Safina mengangguk dengan semangat. “Ya sudah ayo,” kata Daniel sambil bangkit dari kursinya. “Mohon maaf Om dan Tante. Saya minta ijin untuk mengantar Safina ke rumah sakit,” kata Daniel. Pieter dan istrinya tidak bereaksi. Sementara Safina langsung bangkit. “Kamu tidak akan mengantar Safina, Daniel!” Daniel menghentikan langkahnya setelah mendengar kata-kata Ferry. “Karena Tuan Pieter sendirilah yang akan mengantar anaknya ke rumah sakit,” kata Ferry dengan datar namun pandangannya begitu tajam ke arah Pieter. Lelaki itu menjadi ciut seketika. “Iya, saya yang antar anak saya ke rumah sakit. Terima kasih untuk undangan makan malamnya. Semoga kita bisa makan malam lagi,” kata Pieter yang langsung menarik tangan Safina keluar dari kediaman Wijaya. “Daddy!!” Safina berusaha melepaskan pegangan tangan ayahnya. Namun ia tetap diseret oleh Pieter. Daniel tersenyum miring. Tahu betul bahwa Ayahnya tidak suka dengan keluarga itu terutama Safina. Daniel aman sekarang. “Terima kasih, Safina.” Daniel terkekeh. “Hah... benar-benar kacau,” kata Ferry sambil membuang serbet di dadanya. Daniel kembali duduk di samping Ayahnya. “Ayah harap kamu tidak berbuat yang macam-macam padanya,” ujar Ferry sambil menatap Daniel. “Aku juga tidak minat padanya,” jawab Daniel santai. Dia kembali memakan supnya. “Benar-benar kacau.” Ferry mengusap wajahnya kasar. “Jadi bagaimana?” tanya Daniel. “Bagaimana apanya?” “Perjodohan ini? Apa akan Ayah batalkan?” Ferry kembali diam untuk berpikir. Sebenarnya ada banyak keuntungan juga untuk menikahkan Daniel dengan anak Pieter itu. Tapi setelah melihat kelakuan anak itu tadi, Ferry jadi harus pikir-pikir lagi. “Sementara Ayah pending dulu,” kata Ferry lagi sambil kembali memakan supnya. *** Safina masih tetap menelepon Daniel walaupun sudah berkali-kali juga Daniel menolak panggilan itu setelah bosan mengabaikannya. Wanita itu seakan terobsesi pada Daniel, membuat Daniel gusar. Akhirnya dia mengangkat teleponnya. “Kamu harusnya mengucapkan selamat malam pada kekasihmu. Aduh, kau pacaran dengan orang rendahan sih jadi tidak bisa romantis,” cerocos Safina begitu telepon tersambung. Daniel diam, dia malas menghadapi orang macam Safina. “Kok diam?” tanya Safina lagi. “Aku tidak biasa mengucapkan selamat malam pada orang yang bukan siapa-siapaku,” kata Daniel singkat, padat, dan jelas sebelum mematikan sambungan teleponnya dan memblokir nomor Safina. Dia melemparkan ponselnya di tempat tidur dan membuang tubuhnya di ranjang empuk itu. Dia terlalu malas untuk kembali ke apartemennya dan memutuskan untuk tidur lagi di kamarnya setelah sekian lama. Daniel memandang langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Dia terpikir Abel lagi, gadis itu masih saja memblokir Daniel. Memangnya Daniel semenyebalkan Safina sampai harus diblok segala?. “Setidaknya dengarkan aku minta maaf dulu,” gumam Daniel. Dia kecewa karena Abel hanya pergi tanpa mendengar penjelasannya dulu. Abel seolah tidak mau mengerti bahwa saat ini Daniel tengah berusaha agar dapat melupakan Nara. Karena Daniel sadar bahwa kembali dengan Nara adalah hal yang mustahil. Wanita itu sudah memilih dan Daniel bukanlah pilihannya. Abel tidak mau mengerti bahwa sulit bagi Daniel untuk melupakan sosok Nara yang selalu menjadi tempat pulang untuk Daniel. Saat dia lelah, saat dia bosan, saat dia sakit, hanya Nara tempatnya kembali. Wajar jika sekarang Daniel kehilangan arah, dia kehilangan rumahnya. Dia membuka lagi ponselnya dan membuka aplikasi sosial medianya. Daniel melihat isi sosial medianya yang tidak ia sentuh sejak perpisahannya dengan Nara. Foto Nara dan segala kenangan mereka masih ada di sana. Foto Nara dalam balutan kemeja Daniel yang kebesaran yang tengah menatap ke pemandangan kota dari jendela apartemen Daniel masih menjadi foto favoritnya. Daniel sungguh merindukan sosok Nara. Dia merindukan percakapan singkat mereka di kasur saat mereka akan tidur, dia merindukan sosok Nara dalam balutan kemeja Daniel atau sosok Nara yang suka membelai wajahnya saat tidur. Saat itu Daniel mungkin akan marah kalau Nara melakukan itu padanya tapi entah kenapa hal itu yang paling dia rindukan sekarang. Membayangkan Nara melakukan hal itu dengan orang lain selain dirinya membuat harga diri Daniel terluka. Tapi selain harga dirinya, hatinya juga terluka parah. Nara tidak mengkhianati Daniel, Daniellah yang mengkhianati Nara. Tapi entah kenapa malah hatinya yang meradang. “Aku merindukanmu, Nara,” gumam Daniel lagi. Perlahan air matanya kembali mengalir dari sudut matanya. Hatinya terlalu sakit untuk merasa, bibirnya terlalu lelah berkata, maka matanyalah yang berbicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD