18. Baikkan

1913 Words
Abel ikut masuk ke dalam mobil sport milik Daniel. Dirinya tidak ingin menambah masalah karena dia tahu Daniel serius dengan ucapannya yang membawa pengawal itu. Lagi pula Abel sudah sangat lelah dan ingin sekali kembali ke rumah dan tidur. “Udah? Gak ada yang ketinggalan?” tanya Daniel sambil memakai sabuk pengaman. Abel mengangguk. Dia memejamkan mata karena kelelahan. “Bel, pasang sabuk pengaman kamu,” kata Daniel. Abel menghiraukan kata-kata Daniel. Tubuhnya sudah terlalu malas untuk bergerak memakai sabuk pengaman. Lagi pula hari sudah malam juga. Tiba-tiba insting Abel membuatnya bangun karena kini wajah Daniel hanya berjarak senti dari wajahnya. Ternyata Daniel membantu Abel untuk memakai sabuk pengaman. Jantung Abel berhenti berdetak karena terkejut dengan tindakan Daniel. Setelah itu jantungnya malah berdetak keras tidak karuan karena memikirkan itu. Daniel mengulum senyum. “Makanya, kalau aku suruh itu menurut. Untung aku tahan, tidak ku cium tadi,” kata Daniel sengaja untuk menggoda Abel. Wajah Abel menjadi panas karena kata-kata Daniel atau karena malu. Bisa-bisanya pria b******k ini menggoda dirinya. “Wajah kamu jadi lucu kalau begitu,” tambah Daniel lagi. Abel kemudian langsung membelakangi Daniel dan memilih melihat pemandangan di luar jendela. “Abel,” panggil Daniel. Abel memilih tidak menjawab. “Abel!!” Daniel berteriak yang membuat Abel menjadi kaget. “Ih! apa?? Bisa gak teriak-teriak gak??” amuk Abel. Daniel tertawa. “Habisnya dipanggil lembut gak nyahut,” kata Daniel. Abel menarik nafas panjang. Menghadapi Daniel memang butuh banyak kesabaran. “Apa?” tanya Abel. “Aku lapar. Makan dulu yuk,” ajak Daniel. Abel memandangnya dengan tatapan malas. “Aku mengantuk. Kamu antar aku saja terus pergi makan sendiri. Atau bisa ajak wanita-wanita malammu buat temenin kamu makan,” kata Abel. Daniel bergumam kesal karena Abel yang selalu menyeret topik wanita malam itu. “Bisa gak ngobrolin itu gak?” “Loh kenapa? Bukannya itu kesukaan kamu?” kata Abel secara sarkasme Daniel menggigit bibir bawahnya karena kesal. “Aku gak suka,” kata Daniel lagi. Matanya tidak melirik sama sekali ke Abel, dia sibuk memperhatikan jalanan. “Ah masa? Terus suka apa dong?” goda Abel yang mulai bersemangat karena wajah Daniel yang semakin kesal. “Suka kamu.” Daniel akhirnya mengarahkan pandangannya pada Abel. Abel terdiam. Tidak menduga jawaban Daniel akan begitu. Abel kemudian tertawa sinis. “Kalau kamu pikir itu mempan, kamu salah,” kata Abel. “Terserah,” ucap Daniel. “Yang penting aku sudah bilang perasaan aku ke kamu. Jadi jangan menghindar lagi kalau aku datang,” sambung Daniel. Abel terdiam. Masih berpikir bagian logis dari kata-kata Daniel. “Aku lapar. Kamu punya makanan apa di rumah kamu?” tanya Daniel. “Hah?” Abel tersadar dari lamunannya. “Kamu punya makanan apa di rumah? Aku lapar,” ulang Daniel. “Eh, kok mau makan di rumah aku? Kamu kan punya rumah,” kata Abel. “Kamu mau ke rumah aku?” tanya Daniel santai. “Hah??” Abel kembali terkejut karena perkataan Daniel. “Enggak” kata Abel lagi. “Aku maunya makan sama kamu. Kamu pilih tempatnya, rumah kamu, tempat makan, atau rumahku juga boleh. Kau bisa sekalian ku kenalkan sama Ayah Ibu,” kata Daniel lagi. “Di rumahku aja,” jawab Abel cepat. Dia tidak mungkin mau pergi ke rumah Daniel, dan juga terlalu malas untuk pergi makan di luar. “Tapi di rumahku paling cuma ada mi instan sama kornet. Kamu gak akan suka,” kata Abel. “Mi instan? Sepertinya menarik, aku belum pernah makan mi instan sebelumnya,” kata Daniel sambil tersenyum. “Kamu belum pernah makan mi instan?” Daniel mengangguk. Mata Abel membulat seolah tidak percaya bahwa manusia di sampingnya ini tidak pernah merasakan surga dunia yang sesungguhnya. “Baiklah, akan kubuatkan makanan terenak sepanjang hidup kamu,” kata Abel yang tiba-tiba saja bersemangat. *** “Kamu mau mi goreng atau mi kuah?” tanya Abel yang sedang memilih bungkusan stok mi instan yang dia punya. “Mana yang enak?” tanya Daniel yang ikut bergabung dengan Abel di dapur. “Semuanya enak,” kata Abel sambil memperlihatkan bungkus mi instan itu ke hadapan Daniel. “Yang kuah saja kalau begitu,” kata Daniel. “Oke. Em, kamu pakai daun bawang dan telur?” tanya Abel lagi. “Boleh. Buatkan saja aku mi yang paling enak kata kamu itu.” Daniel menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Abel menyuruhnya untuk menunggu di ruang tamu tapi Daniel tidak betah di sana. Dia lebih memilih duduk di meja makan saja sambil melihat Abel yang sedang membuatkan mi instan untuknya. Daniel tidak tahu kenapa Abel menjadi sangat bersemangat memperkenalkannya pada mi instan yang kata Abel sangat enak itu. Daniel sudah pernah makan ramen terenak di jepang dengan harga yang mahal dan jujur biasa saja, Daniel tidak berekspetasi tinggi. Abel tiba-tiba saja mengangkat rambutnya dan mengikat rambut, membuat belakang lehernya yang putih itu terpampang nyata di depan mata Daniel. Abel mencepol rambutnya ke atas membuat beberapa rambutnya yang cukup pendek terurai ke bawah. Daniel menelan ludahnya karena Abel yang menjadi lebih cantik dengan tampilan seperti itu. Jika saja tidak menahan diri, Daniel akan segera ke sana dan menciumi leher Abel. “Kamu kok di situ?” tanya Abel yang membuyarkan pikiran Daniel yang sudah semakin jauh. “Hah? Emang kenapa?” tanya Daniel. “Kenapa gak tunggu di depan aja? Di sini nanti kamu bisa kena asap,” kata Abel lagi sambil bersiap menggoreng spam sapi. “Soalnya kalau di sini aku bisa lihat kamu. Di depan kan gak bisa,” ujar Daniel sambil tersenyum. Abel memutar matanya malas. “Pokoknya jangan salahkan aku kalau kemeja kamu bau asap,” kata Abel. Daniel mengangkat jempolnya ke arah Abel. Matanya menelusuri dapur kecil di rumah Abel ini, memang kecil tapi rapi. Mungkin karena Abel memang orangnya rapi makanya seluruh rumahnya tertata dengan rapi. Tidak salah dia menjadi kesayangan Luna yang sifatnya hampir mirip dengan Abel. Bedanya hanya Abel bisa dibujuk sedangkan Luna susah. “Kenapa ketawa?” tanya Abel lagi setelah melihat Daniel mengulum senyum menahan tawa. Daniel menatapnya dengan tatapan bingung. “Ah, itu. Aku lagi membandingkan kamu sama Luna. Ternyata kalian hampir mirip,” kata Daniel jujur. Abel mengangguk. Dia sudah sering mendengar orang-orang yang bilang kalau dia mempunyai sifat seperti bosnya itu. Keduanya hampir mirip kecuali fisik mereka. Abel yang bertubuh mungil sedangkan Luna bertubuh tinggi. “Kamu ketemu sama bu Luna?” tanya Abel. Dia memasukkan potongan mi ke dalam air mendidih. “Kemarin.” “Bu Luna sudah baikkan?” tanya Abel. “Sudah, dia sudah bisa marah, mengomel dan mencemoohku. Berarti dia sudah sehat.” Daniel menggelengkan kepalanya mengingat kejadian kemarin saat Luna menceramahi Daniel setelah lelaki itu bercerita kenapa dia dan Abel bisa bertengkar. “Itu sih refleks dari para wanita normal kalo berada di dekatmu,” ujar Abel santai. “Kalian benar-benar sama.” Daniel menutup mulutnya dengan sengaja untuk menimbulkan efek kaget yang dramatis sehingga membuat Abel tertawa. Daniel juga ikut tertawa, dia memandang Abel yang semakin cantik ketika wanita itu tertawa. Cantik, sangat cantik malah. “Aku mau minum,” kata Daniel. “Itu ada gelas di samping dispenser,” kata Abel sambil menggunakan kepalanya untuk menunjuk ke arah dispenser yang terletak di pojok ruangan. “Ambilkan.” Daniel menyandarkan punggungnya ke kursi. “Jangan manja! Ambil sendiri,” kata Abel tidak peduli. Bisa-bisanya lelaki itu memerintah Abel di rumahnya sendiri. “Ambilkan,” kata Daniel lagi. Suaranya dibuat menjadi manja. “Jijik tahu dengarnya!!! Ambil sendiri.” Abel memegang tengkuk lehernya mendengar suara Daniel yang seperti itu. “Jahat!” kata Daniel lagi. Pria itu tidak beranjak dari kursinya, dia malah memainkan ponselnya. Abel kemudian mengecilkan api dan kemudian bergegas mengambil gelas dan mengisinya dengan air mineral. “Ini minum kamu,” kata Abel sambil menyodorkan gelas itu. Daniel memandang Abel sambil tersenyum lebar. “Terima kasih.” Daniel kemudian menghabiskan seluruh air di gelas itu. “Oke selesai,” ujar Abel sambil mengambil mangkok dan mengisinya dengan mi instan rebus yang sudah di tambahkan daun bawang dan telur ceplok dengan spam yang sudah di goreng tadi. Dia kemudian membawa dua mangkok itu ke meja makan. “Baunya sih enak. Yakin ini rasanya enak?” tanya Daniel lagi. “Ya sudah kalau tidak mau,” kata Abel. Dia hendak menarik mangkok punya Daniel tapi dengan cepat lelaki itu menahannya. “Aku sudah lapar,” kata Daniel lagi. Abel menunggu Daniel yang sedang mengaduk mi instannya, dia penasaran seperti apa reaksi Daniel saat pertama kali makan mi instan. “Mmmmm.” Wajah Daniel berubah saat dia menyeruput kuah dari mi instan buatan Abel itu. “Ini enak,” tambah Daniel. Abel tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Mi instan adalah salah satu masakan yang Abel kuasai bahkan jago dalam membuatnya. Dulu semasa bersekolah, Abel selalu makan mi instan dan karena bosan dia sering bereksperimen dengan menu itu. Karena itulah mi instan buatannya sangat enak, banyak yang sudah mengakuinya. Abel kemudian ikut menyeruput kuah mi instannya dan memakan hidangan itu karena jujur dia juga lapar. Keduanya fokus pada makanan sehingga sedikit berbicara selama makan. Sesekali hanya terdengar gumaman dari Daniel yang terlihat sangat menikmati makanan barunya itu. “Kamu masih marah sama aku?” tanya Daniel. Dia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya tentang hal ini. Abel memandangnya dan kemudian membuang muka ke arah mangkoknya yang sudah kosong. Abel tidak menjawab. “Aku mau minta maaf,” lanjut Daniel. “Kamu gak salah kok. Toh itu kehidupan kamu, terserah kamu mau buat apa. Aku gak pantas untuk marah,” kata Abel. Daniel menggeleng. “Kamu berhak marah. Aku senang kamu marah. Aku merasa ... dimiliki,” kata Daniel lagi. “Tapi itu hidup kamu—“ “Dari dulu gak ada yang peduli sama hidup aku. Mereka selalu terima saja dengan semua yang kulakukan. Padahal itu buruk.” Daniel menarik nafasnya, sebuah beban berat baru saja terangkat dari hatinya. “Padahal aku juga ingin diperhatikan, diingatkan jika salah, ditegur, dimarahi jika aku bandel. Nyatanya, aku hanya dimarahi kalau aku tidak bertindak seperti yang mereka harapkan atau saat aku membangkang.” Abel masih diam mendengar pengakuan Daniel. “Tidak pernah marah, tidak pernah melarang. Tiba-tiba pergi meninggalkanku. Tolong jangan seperti itu,” kata Daniel. Abel paham siapa yang sedang dibicarakan Daniel itu. “Apa kamu merasa dia jahat padamu?” tanya Abel hati-hati. Tidak ingin menghancurkan hati Daniel lagi. Daniel menggeleng. “Kita tidak bisa bilang seseorang itu jahat hanya karena dia sudah move on,” kata Daniel sambil tersenyum. “Kalau aku punya salah, tegur, marahi aku, Bel. Jangan diam dan pergi menghilang. Rasanya tidak menyenangkan,” kata Daniel lagi. Abel mencoba tersenyum, dia merasa lebih baik saat melihat dari sudut pandang Daniel. Pria ini hanya ingin seseorang untuk menemaninya, melakukan interaksi yang lebih manusiawi padanya. Daniel dihargai tapi tidak dihargai. Dia dihormati karena dia kaya, semua orang senang di dekatnya karena dia punya uang. Tapi mereka bersikap acuh padanya karena kepribadiannya yang cenderung diam dan kasar. Padahal sebenarnya Daniel adalah orang baik yang hangat didalam. “Besok aku mau pergi jenguk Bu Luna. Kamu mau ikut?” tanya Abel. Daniel menggeleng cepat. “Kenapa?” tanya Abel heran. “Satu Luna saja sudah cukup buat kuping aku panas apalagi ada dua Luna, No!!” Daniel menyilangkan tangannya dengan tubuh dimundurkan. Abel tertawa melihat tingkah Daniel. “Tapi aku mau ngajakin kamu ke suatu tempat besok,” kata Daniel. “Kemana?” tanya Abel penasaran. “Ada, pokoknya kamu siap-siap aja besok,” kata Daniel lagi. Abel hanya merespons dengan mengangkat bahunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD