Episode 4

781 Words
Rima mondar mandirdi ruang tamu menunggu kedatangan Akbar. Malam semakin larut dan waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Rima bahkan telah menyelesaikan solat malamnya untuk mendoakan keselamatan suaminya. Tak lama terdengar suara deru mesin mobil milik suaminya, ia sedikit berlari membuka pintu dan ia mengulas sebuah senyuman manis di bibirnya menyambut kedatangan suaminya. Ia bahkan menyembunyikan rasa lelah dan ngantuknya pada Akbar. Ia berusaha menyambut suaminya semanis mungkin. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Baru selesai pekerjaannya, Bi?" tanya Rima seraya mengambilkan tas yang pegang Akbar. "Kamu belum tidur?" tanya Akbar saat mereka sudah memasuki rumah. "Bagaimana aku bisa tidur nyenyak kalau Abi belum pulang. Abi mau makan? biar Umi hangatkan makanannya?" tanya Rima. "Aku sudah makan di luar tadi." "Kalau begitu Umi akan buatkan teh hangat buat Abi." Akbar masuk ke kamar mandi sedangkan Rima pergi ke dapur untuk mrmbuatkan minuman. Akbar mengguyur tubuhnya di bawah shower dengan pikirannya yang kembali ke kejadian beberapa jam lalu. Dimana dia bertemu kembali dengan Kanaya, wanita di masalalu nya. Dan keadaan Kanaya yang begitu menyedihkan. 'Ya Allah kenapa kami harus kembali di pertemukan?' batin Akbar. Akbar keluar dari kamar mandi dan Rima telah membawakan secangkir teh untuk Akbar. "Abi mau Umi pijitin? Abi pasti sangat lelah," seru Rima saat melihat Akbar telah meneguk tehnya dan menyimpannya di atas meja. "Tidak, aku akan tidur." Tanpa kata apapun lagi, Akbar langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi memunggungi Rima. Rima masih berdiri menatap punggung lebar Akbar. 'Ada apa dengan Abi? Dia tidak seperti biasanya. Apa dia sedang ada masalah di pekerjaannya?' batin Rima. Untuk sesaat Rima merasa sedih karena Akbar bersikap dingin padanya, tidak seperti biasanya. Bahkan Rima belum mengabari mengenai kehamilannya pada Akbar.Rima mengurungkan kembali niatnya untuk memberitahu kabar baik ini kepada Akbar. Rima ikut merebahkan diri di samping Akbar dengan sesekali melirik punggung suaminya itu. Ia tersenyum kecil dan memberanikan diri untuk berangsur mendekat dan memeluk tubuh Akbar dari belakang dan mulai memejamkan matanya. Akbar masih terjaga dengan berbagai pikiran di kepalanya. Ia menundukkan kepalanya menatap tangan mungil milik istrinya yang melingkar di perut kekarnya. Ia mengabaikannya dan pikirannya kembali tertuju pada Kanaya yang keadaannya sungguh berbanding terbalik dengan dahulu. ©©© Akbar bergegas pergi pagi-pagi sekali, bahkan mengabaikan Rima yang menawarkan sarapan dan suapan Rima. ia terburu-buru menaiki mobilnya dan berlalu pergi membuat Rima kebingungan dengan sikapnya. Akbar menghentikan mobilnya di sebuah deretan rumah kontrakan sederhana. Semalam ia membawa Kanaya ke rumah kontrakan miliknya. Ia tau itu akan menjadi masalah kalau Rima mengetahuinya, apalagi Rima yang mengurus mengenai penagihan kontrakan di sini. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Seorang wanita cantik berhijab abu tampak membuka pintu. "Mas Akbar?" "Kanaya," seru Akbar. "Ada apa Mas pagi-pagi sekali datang?" tanya Kanaya tampak menjaga jarak. Akbar menatap Kanaya dengan penuh meneliti, kini gadis itu terlihat begitu kurus, wajahnya tak seceria dulu. Kanaya 6 tahun lalu dan sekarang telah berbeda jauh sekali. Gadis itu tampak jauh dari kata baik-baik saja. "Mas Akbar!" seru Kanaya menyadarkan Akbar dari lamunannya. "Eh maaf Kay," seru Akbar. "Panggil Kanaya, Mas." Kanaya tampak enggan mendengar panggilan sayang yang dulu sering di ucapkan Akbar kepadanya. "Aku datang untuk mengajakmu sarapan, kamu pasti belum sarapan," ucap Akbar. "Tidak perlu Mas, aku sedang berpuasa," jawab Kanaya.. "Kamu masih saja tidak berubah," seru Akbar tersenyum manis. "Kamu tetap sosok gadis yang sulit di dekati." "Mas, aku merasa tak nyaman Mas terlalu lama di sini," jawab Kanaya seakan menghindari Akbar. "Sebenarnya banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu, Kanaya. Terutama jalan hidup yang kamu pilih. Kenapa jadi seperti ini? Bukankah kamu berjanji akan berbahagia?" tanya Akbar dan itu membuat Kanaya merasa tercubit. Air mata di pelupuk matanya tak mampu ia bendung lagi dan jatuh membasahi pipinya. Ingin sekali Akbar menghapus air mata itu, tetapi ia menahannya. Dia masih sadar akan batasan di antara mereka. "Baiklah aku paham, kamu belum bisa menceritakannya padaku, tetapi aku akan terus menunggu sampai kamu mau bercerita semuanya sampai kamu terjebak dalam penjualan manusia," seru Akbar dan Kanaya masih tetap diam membisu. "Ini," Akbar mengeluarkan sebuah amplop coklat dan menyerahkannya pada Kanaya. "Apa ini Mas?" "Itu untuk bekalmu hidup, aku tau sekarang kamu tak memiliki uang sepeserpun. Gunakan uang itu untuk modal usaha dan untuk kebutuhan sehari-harimu." "Tidak Mas, aku tidak bisa menerima ini. Bagaimana kalau Rima mengetahuinya? aku tidak ingin hatinya terluka karena aku." seru Kanaya. "Aku telah memberikan hak Rima, dan itu untukmu. Anggap saja itu sebagai pinjaman yang kapan-kapan bisa kamu kembalikan padamu. Untuk kali ini jangan menolak yah Kay." Kanaya hanya diam membisu, matanya menjelaskan berbagai beban, rasa sakit dan terharu hingga Akbar belum berani banyak bertanya dan memaksa Kanaya untuk berbicara. "Kalau begitu aku permisi, Assalamu'alaikum." Akbar berlalu pergi meninggalkan Kanaya begitu saja. "Wa'alaikumsalam," gumam Kanaya menatap punggung Akbar yang menjauh. ©©© TBC... 03-01-2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD