Bab 6 : Bad Man 2

1287 Words
# Allana menatap Mahesa. Ia terlihat sedikit terkejut dengan jawaban Mahesa. "Aku?" tanyanya sekali lagi. "Ya. Tentu saja karenamu, memangnya karena siapa lagi?" Mahesa balik bertanya. Itu jawaban yang paling gampang ketimbang ia harus menjelaskan hasratnya yang tak terbendung untuk memiliki simpati Allana meski sedikit. Entah sejak kapan ia mulai merasa jengah dan terganggu ketika sorot mata Allana seperti orang yang telah kehilangan harapan. Seakan ia lupa kalau dirinya adalah orang yang menyebabkan dan menginginkan semua itu pada awalnya. Bahwa tujuannya hanyalah menjadikan wanita muda itu tempat pelampiasan kekesalannya sekaligus cara untuknya agar bisa mengeruk seluruh peninggalan keluarga Windardi agar si tua Windardi bisa menangisi penderitaan anak-anaknya dari akhirat. Allana merasakan detak jantungnya berpacu karena kalimat Mahesa. Benarkah Mahesa melakukan itu demi dirinya? Tante Dayu mengatakan kalau Mahesa mungkin menyukainya meski sedikit, apa itu benar? Tapi ia lebih tidak mengerti dengan dirinya, bagaimana mungkin ia merasa berdebar-debar hanya karena kalimat kecil dari pria yang selama ini sudah memperkosa dan memaksanya menandatangani perjanjian konyol untuk melahirkan seorang bayi? Allana mendesah pelan. Ia merasa perasaannya untuk sesaat menjadi konyol dan kemudian logika membuatnya menertawakan diri sendiri untuk apa yang sempat ia rasakan sejenak tadi. Ia harus menguatkan dirinya sendiri bukannya terbuai pada kalimat kosong seorang pria jahat. Terlalu lama tersiksa secara mental dan fisik membuatnya mendambakan perhatian dan pengertian orang lain seperti yang selama ini selalu ia terima dari orang-orang di sekitarnya. Sedangkan Mahesa bukan-lah orang yang pantas untuk menerima harapannya. Pria itu hanyalah seorang penjahat. Sekali seorang pria menjadi b******k, selamanya tetap b******k. Itulah Mahesa dimata Allana. "Apa kau akan kenyang hanya dengan menatap sarapanmu seperti itu?" tanya Mahesa saat menyadari Allana sama sekali tidak menyentuh makanannya. Allana beralih menatap Mahesa. "Aku tidak merasa lapar," ucap Allana. "Makan." Titah Mahesa. Allana menatap makanannya. Ia benar-benar merasa kenyang dan tidak berminat dengan makanan yang tersaji dihadapannya. Tapi ia memilih menahan rasa mualnya dan mulai mengunyah sarapannya dengan terpaksa daripada membuat Mahesa gusar dan berubah pikiran. Selesai sarapan mereka bergegas menuju ke rumah sakit tempat adik Allana dirawat. Allana tidak menduga sebelumnya kalau Mahesa akan berada di mobil yang terpisah dengannya. Tante Dayu memperhatikan perubahan raut wajah Allana. "Nona...anda sakit?" tanya Tante Dayu. Allana mengangguk pelan. Keringat membasahi dahinya. "Sedikit tidak enak badan sejak sarapan tadi," ucap Allana. Tante Dayu mengusap keringat di dahi Allana. "Apa saya perlu memberitahu tuan dan kembali ke rumah sekarang?" tanya Tante Dayu. "Jangan Tante...kumohon, aku harus melihat adikku. Orang itu mungkin tidak akan mengijinkanku lagi di lain waktu," ucap Allana. Tante Dayu terdiam. Memang benar yang dikatakan Nona Allana, tuan Mahesa sangat jarang bersikap sebaik ini. Lain waktu, Nona Allana mungkin tidak akan di ijinkan keluar barang selangkah pun dari rumah. "Baiklah....tapi berjanjilah, jika Nona sudah tidak kuat lagi, Nona tidak boleh memaksakan diri," ucap Tante Dayu. Allana mengangguk mengerti. Saat mobil berhenti tepat di depan rumah sakit tempat dimana adiknya dirawat, Allana merasa jantungnya berdebar kencang. Sudah lama ia tidak bertemu dengan adik bungsunya. Ia sangat merindukan keluarganya. Mahesa melangkah masuk lebih dulu dengan ditemani Jedy, sementara Allana melangkah pelan di belakangnya dengan ditemani Tante Dayu. Mereka masuk lewat lift yang terpisah menuju ruang perawatan intensif. Allana paham, ini adalah salah satu rumah sakit di Jakarta dengan fasilitas VVIP terlengkap. Untuk sesaat lamanya Allana berhenti melangkah di depan pintu kamar adiknya. Ia menatap nama adiknya di pintu kamar yang menandakan kalau ruangan itu adalah ruang rawat tempat adiknya berada. Kedua bola matanya tampak berkaca-kaca. "Kenapa tidak masuk? Bukannya kau ingin bertemu dengan adikmu?" tanya Mahesa. Allana menatap Mahesa untuk sesaat. Ia terlalu takut kalau semua ini bukanlah kenyataan yang sebenarnya. "Bagaimana keadaan adikku? Apa dia benar-benar bisa diselamatkan?” tanya Allana dengan nada suara gemetar. Mahesa meraih tangan Allana dan mendorong pintu ruang rawat hingga terbuka dan masuk begitu saja membuat Allana separuh terseret mengikuti tarikkan tangan Mahesa. "Apa kau berpikir kalau aku membawamu kesini hanya untuk membohongimu?" tanya Mahesa. Allana tidak mampu berkata apa-apa. Air mata langsung membanjiri wajahnya begitu ia melihat adiknya. "Dio...." Allana menghampiri ranjang tempat adiknya dirawat. Mahesa menatap kejadian itu dengan sorot mata dingin. "Aku akan menunggu di lobby area VVIP jika kau sudah selesai." ucap Mahesa kemudian berlalu meninggalkan Allana seorang diri di dalam ruangan itu. Tante Dayu dan Jedy tampak menunggu di luar ruangan. "Awasi dan temani dia. Dia mungkin membutuhkan dukungan seseorang saat ini," perintah Mahesa. Tante Dayu hanya menarik napas panjang sambil menatap kepergian Mahesa. "Yah....Tuan bersikap seakan dia tidak perduli tapi nyatanya dia perduli. Ada begitu banyak wanita cantik yang melemparkan dirinya kepada Tuan Mahesa tapi kurasa Nona Allana beruntung karena Tuan hanya memperhatikannya," ucap Jedy setengah berbisik. Tante Dayu memicingkan mata menatap Jedy. "Tidak biasanya kau banyak bicara," ucapnya. Jedy tersenyum. "Kurasa tante tidak senang kalau aku terlalu sering bicara," ucap Jedy. Tante Dayu mengacuhkan kalimat Jedy dan melangkah masuk ke dalam kamar meninggalkan Jedy seorang diri. # Mahesa tengah duduk di loby ruang VVIP sambil membaca surel pribadinya lewat tablet saat seseorang mendekat dan duduk di sampingnya tanpa permisi. "Aku sudah melihatnya. Aku melihat nona muda keluarga Windardi yang ternyata memang cantik sekali. Pantas saja kau bersedia menemaninya kesini. Apa itu yang kau sebut balas dendam pada mereka? Dia bahkan belum lahir saat semua kejadian itu, tidakkah menurutmu itu terlalu tidak adil?" Mahesa meletakkan tabletnya di atas meja. "Apa yang sedang kau bicarakan saat ini Sashmi? Kau terdengar mengkritikku karena berbuat baik pada musuhku tapi juga terdengar seakan kau mengasihani Allana," balas Mahesa. "Apa itu benar...apa kau tengah berbuat baik pada keluarga Windardi?" tanya Sashmi lagi. Mahesa tersenyum miring. "Ini bentuk hukuman yang kuberikan bagi mereka untuk penderitaan yang ditanggung oleh kita semua. Hukuman tidak akan berguna jika ada yang mati," ucap Mahesa. Sashmi mengeluarkan sebuah kertas dari saku snelli yang dikenakannya dan memberikannya pada Mahesa. "Hasil autopsi jenazah kedua orang tuanya sudah keluar. Apa kau akan memberitahu Allana kalau jenazah orang tua-nya juga sudah ditemukan?" tanya Sahsmi lagi. Mahesa tampak hanya diam. "Allana berhak mengetahui hal ini. Dia juga berhak melihat jenazah ibunya sebelum dikuburkan." Sashmi melanjutkan. Mahesa menggeleng. "Tidak. Dia akan terpukul dan membuat keributan nantinya. Anggap saja....kedua orang tua-nya tidak pernah ditemukan. Baik Allana maupun publik tidak perlu mengetahui apapun," ucap Mahesa. Sashmi tertawa kecil. "Kau yakin dirimu tidak akan jatuh cinta kepadanya?" tanya Sashmi. "Kenapa kau berpikiran seperti itu? Tidakkah itu terlalu berlebihan?" Mahesa balik bertanya. Sashmi melemparkan tubuhnya di atas sofa di samping Mahesa. "Sederhana. Kelemahan seorang pria adalah wanita cantik. Allana tidak hanya cantik. Dia memikat. Bahkan aku yang sesama wanita tidak bisa mengalihkan pandangan darinya saat dia lewat tadi." "Aku sudah sering melihat wanita yang jauh lebih cantik darinya," ucap Mahesa datar. "Tapi tidak ada satupun dari mereka yang bisa membuatmu menunggu di lobby rumah sakit seperti hari ini," Sashmi tetap tidak mau kalah. Mahesa menarik napas kesal. "Sudah selesai dengan semua asumsimu? Aku mungkin selama ini terlalu lunak kepadamu hanya karena kita tumbuh bersama di panti asuhan tapi…kau tahu kesabaranku ada batasnya," ucapnya tajam. Sashmi tertawa. "Baiklah...baiklah....aku pergi. Terkadang aku heran kenapa Erika begitu tergila-gila kepadamu. Juga kenapa banyak orang yang begitu memujamu? Kau dingin dan kaku. Kau bahkan terlalu kejam serta menyeramkan." Sashmi bangkit berdiri dari hadapan Mahesa dan bergegas pergi setelah mengucapkan semua yang dipikirkannya. Tapi ia berhenti sejenak di depan pintu. "Kabari saja aku jika kau berhasil membuat seorang keponakan untukku....dia pasti akan sangat mengagumkan mengingat ibunya secantik itu." Mahesa tertawa kecil. "Anak yah....aku hampir lupa kalau dia harus mengandung anakku," gumamnya pelan sambil tersenyum. Akan tetapi setelah beberapa waktu raut wajahnya mengeras. Pertanyaan Sashmi jelas mengganggunya. Kau yakin dirimu tidak akan jatuh cinta kepadanya? “Aku tidak akan pernah bisa jatuh cinta pada siapapun.” Mahesa berbisik pelan sambil menatap pantulan bayangan dirinya di layar tablet yang telah meredup. Seakan ia tengah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Bersambung.......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD