3

1478 Words
"Terlalu cepat kau bicara seperti itu pada ibumu sendiri!" Adelia merangsek. Mengeluarkan semua amarahnya pada sosok menjengkelkan yang tengah mengangkat alis padanya. Devan Aksa tak ubahnya seperti para pria kebanyakan. Sering menawarkan komitmen spontan tanpa berpikir panjang. "Why not?" Adelia menggeram. Meremas tasnya sendiri saat ingin memukul kepalanya pada pintu mobil yang keras. Tapi, sayangnya dia tidak lakukan itu. Atau lebam itu akan membuat ibunya bertanya lebih jauh. "Kenapa tiba-tiba kau marah?" Adelia berbalik penuh antisipasi. Dadanya berdebar bukan karena betapa tampannya pria itu, atau Devan Aksa yang pintar mengambil hati para gadis yang seumpama melihat pria dari fisik untuk pertama kali. Adelia berdebar karena dia terkejut, dengan Aksa yang tiba-tiba maju ke arahnya. "Aku—," Adelia kehilangan suaranya. Menatap lurus pada pintu masuk yang terlihat penuh. "—tidak ada. Aku tidak marah," dustanya. Merapikan anak rambutnya sendiri saat tatapan selidik Aksa terasa membakar kulitnya. Aksa memilih untuk tidak melanjutkan konfrontasi ini melebar semakin jauh. Mengusap pangkal hidungnya, dia menoleh ke dalam. Melihat senyum palsu yang Devan Aria tebarkan bagaikan racun yang menikam d**a Aksa dalam diam. Adelia berdeham. Mengusap lengan telanjangnya ketika beberapa tatapan keamanan mengarah pada mereka. Berhubung acara ini diselenggarakan keluarga Devan, Adelia tidak perlu waspada. "Dengar," Adelia menoleh. Sengaja memilih untuk diam agar Aksa kembali bicara. "Aku akan bereskan semuanya sampai hari pernikahan tiba. Kau hanya perlu duduk manis." Adelia mengangkat alis. "Lantas? Bagaimana dengan keluargaku?" Aksa termangu. "Oke. Aku akan menemui ibumu," dia berdeham. "Lusa?" Adelia berpikir sebentar. Tidak percaya dengan segala desakan waktu yang Aksa berikan padanya. "Baik, lusa. Aku akan memberitahunya." Aksa menarik napas panjang. Melirik jam digital yang melingkari tangannya. "Kau mau tetap bergabung atau pulang?" "Opsi kedua. Aku akan kembali," Adelia melirik bosan ke dalam pintu masuk. "Tidak ada gunanya aku di sini." "Kau berguna sebenarnya," Aksa memundurkan langkah untuk menatap gadis yang sekiranya mendapat satu nilai lebih di mata Aksa. Keras kepala. "Aku belum mengenalkanmu pada mereka yang datang." Adelia terpaku. Kemudian, kepalanya menggeleng keras. "Tidak. Kalau kau mengenalkanku sekarang, berita akan cepat menyebar. Aku belum sanggup bicara dengan ibuku." "Aku setuju denganmu kali ini." Adelia menatapnya sebentar. Menilai apa yang akan Aksa katakan tentangnya. Namun, beberapa menit menunggu, ia tak juga mendapat kalimat yang lolos dari bibir pria itu. "Siapa pun yang kau hindari di dalam, lambat-laun aku akan tahu, bukan?" Alis Adelia terangkat. Napasnya berubah sesak. Saat kedua matanya menajam pada telunjuk Aksa yang mengarah pada pintu masuk. "Urusan pribadi tidak akan ada di dalam pernikahan," balas Adelia dingin. Membuka pintu mobilnya saat Aksa bergeser, tidak sama sekali ingin menahan gadis itu tinggal lebih lama. Membiarkan sedan baru itu melesat pergi menjauhi perkarangan dengan kecepatan sedang. *** "Aksa." Suara ibunya mengalun ramah. Aksa menunduk, menemukan ibunya tengah tersenyum sembari mendorong lemah kursi roda pada kedua rodanya. "Sudah lama kau mengenal Adelia?" Aksa tertegun. "Baru beberapa bulan. Kami pernah bertemu beberapa kali karena proyek. Aku dan dia ada di tender yang sama," balas Aksa lancar. Kebohongan itu benar-benar mampu membuat senyum ibunya mengulas hangat. Kedua iris pekatnya memaku. Ibunya menolak untuk dibelikan kursi roda yang lebih bagus. Aksa menawarkan untuk membeli kursi roda terbaik di kelasnya. Devan Aria mau peduli? Cih. Tidak. Iblis itu mengabaikannya. Mengabaikan bunga matahari yang perlahan mati di dalam kamar. Aksa juga menawarkan untuk mencarikan asisten pribadi yang akan mengurus ibunya selama dia bekerja. Kalau Aksa ada, dia sama sekali tidak keberatan untuk merawat dan memberikan cinta yang banyak untuk sang ibu. Semenjak kematian Devan Taka, Aksa tidak memiliki siapa pun selain ibunya. Mendapati cahaya yang menyinari gelapnya kehidupan miliknya nyaris redup, Aksa berusaha menggenggamnya erat. "Dengarkan aku," Aksa berjongkok di depan sang ibu. "Setelah aku menikah, ibu harus ikut denganku. Kemana pun, kemana pun aku dan istriku pergi, ibu akan ikut bersamaku." Aksa benci sifat ibunya satu ini. Gelengan lemah Devan Ara membuat jantung Aksa mencelos jatuh ke lambung. "Tidak, anakku. Ibu akan tetap di sini sampai ibu mati." Aksa menarik napas. Masih mencoba mengalahkan tembok keras yang ibunya bangun untuk dirinya sendiri. "Ibu, tolong jangan seperti ini," Ara menangkap getir pada suara putra bungsunya. "Aku tidak ingin pergi tanpa ibu sendiri di rumah ini. Seberapa keras ibu ingin tetap bertahan di saat ayah tidak lagi mau peduli?" Ara menunduk. Menatap tangan putranya dengan senyum tipis. "Ini rumahku, ini milik ibu. Sampai ibu mati, ini akan menjadi kenangan terindah untukku." Aksa menarik napas panjang. Menghelanya perlahan. Kedua matanya mengerjap menatap pada lengan sang ibu yang semakin pucat dan kurus dari waktu ke waktu. "Aku berjanji pada Taka untuk tidak membiarkan ibu sendiri. Apa aku harus membawa istriku kemari?" Kepala Ara menggeleng. "Tidak, anakku. Adelia tidak mungkin bertahan di tengah-tengah kekacauan keluarga kita," bisik Ara sendu. "Pergilah, nak. Tolong, ibu baik-baik saja. Ibu sedih melihatmu begini." "Aku tidak mau ibu kembali terluka." Kepala Ara miring sedikit lebih miring ke kanan. Meresapi wajah lirih putranya. Aksa dewasa layaknya seperti buku kuno yang usang. Dia tidak bisa lagi tahu apa yang putra bungsunya rasakan. Aksa tidak lagi sehangat mentari yang Ara kenang. Dalam benaknya, ada rasa sesal yang menggunung. Menyadari bahwa kebodohannya membawa Aksa ke puncak rasa sakit yang belum mampu terobati oleh waktu. "Ibu minta maaf," sesal Ara menahan tangis. Mencoba menyentuh pipi putranya yang tidak lagi seperti dulu. "Andai saja Taka masih di sini, semua berbeda. Kau tidak akan menderita demi melindungiku." Aksa tidak katakan apa pun selain diam. Kedua matanya menyorot hampa. Sesaat Ara tercenung, merangkum pipi sang anak dengan senyum getir. "Ibu berdoa setiap malam. Agar putra ibu yang masih berdiri dan bernapas, diberi kebahagiaan yang nyata untuk selamanya. Aksa kecilku tidak perlu menderita karena kekacauan di dalam rumah. Karena melihat ibunya yang lumpuh terus tersiksa." Bibir Ara gemetar. "Aku berharap pada Tuhan, kalau Adelia adalah malaikat yang dititipkan padamu. Tolong, perlakukan dia dengan baik." Aksa hanya diam. Membeku selama beberapa saat sebelum kepalanya tertunduk, dan dia mengangguk kecil. "Jangan biarkan dia terluka. Jika suatu saat nanti kehidupan pernikahan kalian terguncang, jangan ucapkan kata pisah sebelum kalian bicara. Kau dengar?" Aksa lagi-lagi hanya bisa mengangguk. *** Adelia kembali memundurkan langkahnya. Terpaku menemukan Dexa Daro berjalan santai masuk ke dalam lift. Dengan tatapan mata melecehkan terang-terangan, pria tidak bermoral itu melemparkan seringai nakal yang membuat Adelia ingin muntah sekarang. Dengan terburu-buru, Adelia berjalan melintasi pria itu. Dan tangan Daro mencekalnya, menyeret Adelia kembali masuk ke dalam lift direksi. Menekan tombol secepat mungkin, dan membiarkan lift itu dengan asal membawa mereka ke tempat tujuan. "Kau masih belum menjawab lamaranku, Adelia?" Adelia mendesis. "Aku tidak perlu menjawabnya. Kau sendiri sudah tahu jawaban apa yang akan kuberikan, kan? Untuk apa menunggu?" Cekalan tangan Daro pada lengan Adelia semakin mencengkram kuat. "Aku tidak suka dengan sifat ketusmu. Kau pikir, kau siapa? Kau ini hanya sampah. p*****r yang ingin hidup enak. Kau takut miskin, bukan?" Adelia menggigil. Mendadak gemetar karena pandangan Daro membuat tubuhnya seperti terbelah dua. Kedua matanya bersinar pedih, mencoba untuk tetap tegas meski sulit. "Aku sama sekali tidak takut miskin. Tidak sama sekali," Adelia menepis cekalan tangan itu dengan kasar. "Dengar, kalau pun aku miskin, aku terhormat. Setidaknya, aku tidak seperti yang kalian bayangkan." Daro terkekeh sinis. Mengendus aroma bunga yang khas dari tubuh Adelia memenuhi ruang sempit lift ini. "Benarkah? Bukan kau, tapi ibumu. Vina. Perempuan itu terlalu sombong sampai-sampai merendahkan dirinya hanya untuk kembali menjadi kaya dan berkuasa." Adelia membeku mendengar ejekan Daro. "Kenapa kau diam? Karena aku benar?" Dengan tidak sopannya, Daro terus mendesak Adelia sampai punggungnya merapat pada tembok lift yang dingin. Sengaja memberi pancaran mata intimidasi yang menyapu dingin. "Kenapa? Kau bisa mengoreksi kalimatku kalau itu kesalahan." Adelia kembali bungkam. Dia tidak akan membuang waktunya untuk meladeni seorang Dexa Daro yang sesumbar. Kalau tidak karena Delana Andhra, Adelia tidak akan sudi bersamanya. Melihat pria ini saja membuatnya muak. Ingin muntah. Muntah di wajah pria sombong ini. Lift berdenting. Pintu terbuka tak lama kemudian. Adelia terpaku datar, menemukan Delana Andhra mendongak dari berkas di tangannya. Memandang tajam ke arah mereka dalam diam. "Kau datang?" Andhra menahan agar pintu lift tidak tertutup. Pandangan matanya sengaja menatap Daro cukup lama. "Kenapa tidak mengabari?" "Aku datang untuk menemui calon istriku," ujar Daro dengan senyum manis. "Kenapa, Andhra? Kau terlihat tidak suka?" Andhra menarik napas kesal. Tampak sama sekali berusaha untuk tidak menghiraukan kalimat ledekan Dexa Daro. "Tidak," katanya datar. "Kalau kau ingin bertemu, seharusnya kau membuat janji." Pandangan mata Andhra jatuh pada Adelia yang menunduk. "Adelia sibuk. Dia bukan pegawai sembarangan. Jam kerjanya padat. Dan kau tidak dalam kapasitas bisa merusak jadwalnya sesukamu," desis Andhra tajam. Menarik tangan Adelia untuk keluar dari dalam lift. Dan menekan tombol agar pintu itu tertutup. Meninggalkan seringai keji yang Daro berikan untuk keduanya. Pada kakak beradik yang terlihat dingin satu sama lain. Sikap Delana Andhra layaknya kutub, dan Adelia pun sama. Setelah pintu menutup sempurna, Adelia menepis kasar tangan sang kakak dari tangannya. Menatap jijik pada tangan yang baru saja menyentuh tangannya, dan berjalan pergi. Meninggalkan Delana Andhra yang termenung dalam diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD