Bab 2

1231 Words
Halo. Terus ikuti kisah Lady sama Seno ya. Muach! Tiga hari setelah pertengkaran mereka Seno baru bertandang ke rumah orang tua Lady. Setibanya di sana Seno langsung menuju ruang makan. Di meja makan hanya ada orang tua dan abangnya Lady. Perempuan itu sendiri tidak terlihat bergabung sarapan. Elen, mama Lady mengajaknya untuk sarapan bersama tapi Seno menolaknya. Saat Eru yang menyuruh laki-laki tersebut tak berani menolaknya. Elen dan Prabu terkekeh melihatnya. Seno benar-benar patuh dan tidak membantah satu katapun yang keluar dari bibir putranya. Tak berapa lama Lady turun dari lantai dua dan bergabung dengan mereka. Ia tidak menghiraukan kehadiran Seno di sebelah abangnya, dirinya masih kesal pada pria itu. Tanpa menatap ke arah laki-laki yang dicintainya, perempuan yang memakai blouse lengan pendek peach dan celana bahan hitam itu memakan sarapannya. Ia enggan menyapa Seno. Dia memang mencintai pria tersebut namun jika harus merendahkan dirinya jangan harap. Selama ini dirinya sudah mengalah, menahan sakit karena mencintai secara sepihak.   Lady tahu risikonya saat dirinya memaksa Seno menjadi pasangannya, tetapi tak bisakah pria itu memberinya secuil cinta padanya. Ini sudah hampir satu tahun tapi hubungan mereka tetap di tempat tanpa ada kemajuan. Bukan waktu yang singkat untuk Lady berusaha mengambil hati Seno tapi celah untuk dirinya masih tetap tertutup rapat. Mungkin yang dikatakan Felly benar sudah saatnya ia menyerah. Tapi hatinya berat jika berpisah dengan Seno. Dirinya sudah terbiasa dengan pria itu, sudah terbiasa Seno di sampingnya. Jika harus sendiri Lady belum bisa membayangkan bagaimana nantinya. Ia menghela napas pendek, kenapa cintanya harus seperti ini? Sekalinya jatuh cinta tak mendapat balasan. "Dy, udah selesai. Berangkat dulu ya." Didorongnya kursi di belakangnya sampai menimbulkan deritan. "Seno-nya belum selesai, Sayang," tunjuk Elen ke arah piring Seno yang masih tersisa sedikit nasi. "Dy, berangkat sendiri aja nggak usah diantar," jawab Lady tanpa mau melihat ke arah Seno.  "Tapi, Sayang. Seno udah datang tunggu sebentar, ya?" bujuk Elen lagi. Firasatnya mengatakan terjadi sesuatu dengan pasangan itu, tapi ia tidak akan ikut campur. Baginya mereka sudah dewasa pasti mampu menyelesaikan permasalah mereka. "Nggak usah, Ma. Dy berangkat sendiri aja," tolaknya lagi. Lady mengambil tasnya dan menyampirkan tali tas itu ke bahu. Kemudian mencium tangan kedua orang tua dan mencium pipi abangya sekilas. Sedangkan kakak iparnya belum terlihat mungkin masih tidur, maklum saja sejak hamil, Arumi jadi sedikit pemalas.   "Biar diantar Seno, Dek." Eru menghentikan langkah Lady yang sudah mencapai ruang tengah. Lady menghela napasnya, ia butuh waktu sendiri untuk memikirkan semua ini. Tanpa banyak kata perempuan itu duduk di sofa tengah lalu menyalakan televisi. Abangnya jelas tahu jika ada yang tidak beres dengan dirinya. Ia tidak akan mengeluh apa-apa pada Eru. Abangnya sudah memperingatkan Lady saat dirinya meminta izin untuk menjalin hubungan dengan Seno. "Dy ...." belum selesai Seno bicara, Lady sudah berdiri dan meninggalkan dirinya.  "No, habis antar Lady aku tunggu di rumah." Seno berbalik dan mengangguk mendengar perintah Eru. Kemudian, ia melanjutkan langkahnya ke depan. *** "Saya turun di sini."  Seno tidak menghiraukan perintah Lady. Pria itu terus mejakukan mobil ke butik milik perempuan berwajah ayu sampingnya. Untuk mengantisipasi Lady secara tiba-tiba membuka pintu, Seno sudah menguncinya dari awal. Ia tahu kekasihnya itu masih marah padanya.   Sebenarnya kalau dipikir-pikir, selama ini Lady tidak pernah menuntut dirinya berperilaku layaknya seorang pacar pada umumnya. Menghabiskan waktu bersama, hang out atau sekedar duduk berdua di taman. Dia memahami Seno. Bisa dikatakan mereka jarang berkencan. Lady akan menelepon dirinya untuk mengingatkan istirahat, makan dan jika perlu teman ke undang pesta. Tapi entah mengapa Seno masih belum bisa menerima Lady sepenuhnya. Kadang ia merasa bersalah pada perempuan cantik tersebut karena dirinya tak bisa berpura-pura baik pada Lady. "Seno! Kamu dengar saya, kan? Kenapa terus berjalan? Berhenti!" hardik Lady kesal. Apa pria itu tuli sampai menghiraukan perintahnya? Anggap saja Seno menutup telinganya dan pura-pura tidak mendengar. Ia terus melajukan mobil tersebut, tidak berapa lama benda besi beroda itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan minimalis di kawasan pertokoan elit pusat kota. Segera Lady membuka pintu mobil tapi kuncinya belum dibuka Seno. Ia hempaskan tubuhnya di sandaran jok mobil. "Dy, aku minta maaf soal kemarin. Aku ... aku bukannya nggak suka kamu ke rumah, hanya saja ...." "Kamu nggak ingin aku dekat dengan keluargamu, kan? Aku tahu kamu kurang suka jika aku ke sana. Hampir satu tahun dan kamu masih nggak bisa terima aku. Kalau aja aku punya pilihan, mungkin aku nggak akan cinta sama kamu. Sekarang beri aku satu alasan yang tepat agar aku nggak ke rumahmu lagi." Lady menatap lekat wajah Seno dari samping.  Pria itu diam. Apa yang harus ia katakan? Apa dia harus mengatakan yang sebenarnya kalau memang ia tidak suka Lady main ke rumahnya juga dekat dengan keluarganya?  "Udahlah. Buka pintunya aku udah telat." Seno membuka kunci otomatis pintu mobil. Lady keluar dan menutup pintu tanpa menoleh padanya. Seno memandangi siluet tubuh lady yang menghilang di balik pintu butiknya. *** Dengan jantung berdebar tidak karuan, Seno membawa kakinya melangkah memasuki bangunan sederhana tapi luas yang sering disebutnya 'rumah'. Tempat di mana dia juga teman-temannya dilatih sebagai seorang bodyguard. Sudah lebih dari lima tahun dirinya bergabung dengan kelompok ini. Baginya mereka adalah keluarga. Tapi tidak kali ini, perasaannya mengatakan ada yang tidak beres dengan bosnya. Meskipun tadi lelaki itu berbicara seperti biasanya, tapi sorot matanya menunjukkan percikan amarah. Seno memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Eru lalu masuk setelah mendengar instruksi dari bosnya. Dengan susah payah ia menelan ludah melihat Eru dengan wajah kerasnya.  "Pak." Eru berdiri membelakangi Seno lalu berbalik, memindai laki-laki di hadapannya dengan pandangan menyelidiki lalu berjalan anggun ke arahnya. Hanya sepersekian detik rahang Seno terasa sakit sampai terhuyung mundur. Eru memukulnya meskipun bukan di titik fatal. Beberapa kali laki-laki tersebut menerima pukulan yang dilayangkan Eru. "Aku sudah katakan padamu jangan pernah menyakiti Lady. Aku juga sudah memperingatkanmu jangan mempermainkan perasaan adikku. Jangan memberinya harapan palsu dan jangan menerima cintanya karena balas budi padaku. Tapi kamu tidak mendengarku. Kamu mencoba bermain-main denganku, heh?! Satu tahun Seno! Satu tahun belum cukupkah untukmu bisa menerimanya? Aku diam bukan berarti tak tahu apa-apa. Jangan berpikir dia mengadu padaku, Lady tak pernah sekalipun bercerita padaku tentang hubungan kalian. Kurang apa Lady? Aku tahu dia bukan tipe-mu, tapi dia berusaha menjadi seperti yang kamu mau. Tapi sepertinya dirimu yang terlalu angkuh karena dicintai olehnya. Lebih baik pertunangan kalian dibatalkannya saja, tidak ada gunanya bertahan dalam hubungan yang saling menyakiti. Sungguh menyesal aku mendorong Lady untuk tidak menyerah mendapatkan dirimu." Pria itu menutup mulutnya dengan rapat. Ia kira Eru tidak akan memantau hubungan mereka, ternyata secara diam-diam memperhatikan mereka. "Pak." "Pergilah. Tidak ada gunanya kamu di sini. Soal pembatalan pertunangan biar aku yang mengurusnya." Eru sudah tidak tahan melihat kesedihan yang terus menerus ditutupi oleh adiknya. Mereka lahir dari rahim yang sama, karena itu ikatan batin mereka lebih kuat. Dirinya pria yang memang ditakdirkan untuk mengejar keinginannya, lain halnya dengan Lady. Sekuat dan setegar apa pun perempuan itu tidak pantas untuk disia-siakan. Adiknya berusaha bertahan tapi pada akhirnya Eru akan memaksanya untuk menyerah. "Pak, saya ...." "Keluar Seno. Sekarang! Sebelum timah panas ini menancap di kepalamu!" Dengan langkah lesu, gontai serta wajah lebam juga perut sakit Seno keluar dari ruangan Eru. Dirinya memang pantas mendapatkan ini semua. Bosnya sudah cukup baik tapi dia seperti anjing yang menggigit majikannya, tidak tahu terima kasih. Sekarang keadaan semakin rumit, hubungannya dengan Lady juga Eru menjadi tegang. Mungkin bos-nya benar, dirinya terlalu sombong dicintai oleh perempuan berparas ayu itu. Ya Tuhan kenapa semakin rumit seperti ini.              Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD