Sebuah harga diri

1613 Words
Apa yang dirinya harapkan? Dipersilahkan masuk oleh Alvano dan menunggu di dalam? Atalia tertawa meremehkan pemikirannya, seharusnya dirinya tidak mengharapkan hal tersebut. begitu dirinya mendapatkan prilaku dingin dari Alvano, Atalia memilih untuk pulang menggunakan taksi. Menghabiskan sisa sore hari dengan mengerjakan tugas seorang diri, tengkurap di perpustakaan yang terhubung langsung pada balkon. Dimana Atalia bisa melihat keindahan matahari tenggelam di sana. Sinar jingga membuatnya terpana, terdiam beberapa saat sambil mengingat, kapan terakhir kali dirinya menikmati senja tanpa ambisi untuk menjadi yang paling hebat di kelas? Dengan ambisi kalau dirinya akan mendapatkan pria yang dicintainya? Ketika ponselnya berdering, Atalia langsung memeriksanya. Mendapatkan pesan dari Shofa yang mengajaknya hang-out dengan teman-teman satu kelasnya. Atalia bukanlah anak rumahan, dia tumbuh di keluarga yang mampu untuk dirinya mendapatkan uang jajan lebih. Cantik, pintar, kaya raya dan juga seksi itu melekat pada dirinya. Atalia digilai oleh banyak pria. Jika saja dirinya tidak menyukai Alvano, pasti Atalia sudah berganti-ganti pasangan sekarang. “Pak Al pulang gak ya?” bertanya pada dirinya sendiri sambil mengirimkan pesan pada sang suami. Me: Bapak hari ini pulang tidak? Kalau iya, saya akan masak makan malam lebih banyak. Beberapa menit berlalu belum juga ada balasan. Sampai akhirnya notifikasi masuk dan Alvano hanya menjawab dengan kalimat, “Tidak perlu masak.” Yang diyakini Atalia kalau suaminya tidak akan pulang. Membuatnya berdiri dan bersiap untuk keluar bersama dengan teman-temannya. Tidak apa-apa bukan untuknya menikmati hidup seperti sebelumnya? Atalia butuh pelepasan untuk rasa sesak di dadanya. “Perlu gue jemput gak?” Tanya Shofa ketika panggilannya diangkat oleh Atalia. “Gak perlu, sharelock aja. Gue ke sana sekarang,” ucapnya begitu. Mendatangi salah satu tempat karaoke tempat dia dan teman-temannya biasa menghabiskan waktu. Kedatangan Atalia langsung membuat heboh. “Akhirnya si Princess fakultas datang!” “Atalia come back, guysss!” “Seneng-seneng ayokk! Atalia yang bakalan jadi DJ!” Atalia menggelengkan kepalanya sambil tertawa melihat tingkah teman-temannya. “Gue mau nyanyi! Gue mau lepas penat!” teriaknya yang langsung dilempari mic oleh salah satu temannya. Di ruangan yang disewa seluas 25 meter persegi itu Atalia mengeluarkan rasa sesak di dadanya dengan menyanyikan lagu dangdut galau. Yang langsung disuraki oleh teman-temannya diikuti kalimat, “Atalia masih patah hati, Guyss! Pak Alvano udah nikah soalnya!” Teriakan meledek itu diabaikan Atalia, dia butuh pelepasan dan menyanyi sesuka hati. Bahkan karena tidak menginginkan adanya gangguan, Atalia mematikan ponselnya. “Ala, lu mau minum gak?” tawar Shofa. Umur mereka legal untuk minum alcohol, dan bukan ha lasing untuk Atalia melakukannya. Tapi dia memilih untuk mengambil jalan aman. “Gak, pesenin gue soda aja. Gue mau nyanyi lagi ini.” “Udah woy, giliran yang lain sekarang.” Atalia mengangkat tinggi microphone. “Gue mau nyanyi sepuasnya! Gue mau mendominasi! Jadi gue yang bakalan bayarin semuanya!” teriak Atalia yang menghebohan seisi ruangan tersebut. *** “Gue anterin lu, sekalian gue mau tau dimana apartemen lu sekarang,” ucap Shofa memaksa. “Gak usah, di sana ada kerabat gue. Nanti aja lagi, lagian gue mau mampir dulu ke toko. Lu mau ikut ke toko? Pake baju yang kayak gitu?” “Ogah,” ucap Shofa menggelengkan kepalanya seketika. “Yaudah deh, lu hati-hati di jalan ya.” Atalia mengangguk, dia membiarkan teman temannya pergi lebih dulu. baru dirinya memesan taksi. Dan tujuannya tidak langsung ke apartemen, Atalia meminta diantarkan ke sebuah gereja dimana dirinya berdo’a di sana. Berharap semuanya baik-baik saja. Bisnis keluarganya yang mulai membaik dan adiknya yang pulih, juga hatinya yang terasa sakit oleh Alvano yang belum kunjung mencintainya. “Tolong aku, Tuhan,” ucapnya sebelum melangkah pergi dari sana. Diantarkan oleh taksi yang sama ke apartemen. Ketika masuk, Atalia merasakan suasana yang mencekam. Bukan takut karena makhluk halus, Atalia hanya merasa kalau dirinya akan mendapatkan masalah yang besar. “Dari mana kamu?” Benar saja, itu suara sosok yang menjadi sumber rasa sakitnya. Ketika Atalia berbalik, dia mendapati Alvano yang duduk di sofa sambil memegang gelas berisi martini. “Saya tanya kamu dari mana?” “Dari luar, Pak. Abis main sama temen.” “Kenapa gak minta izin?” Karena Atalia tau kalau dirinya tidak akan diizinkan. Jadi dia memilih menutup mulut sambil menunduk. “Saya Tanya kenapa kamu gak minta izin? Kamu lupa kesepakatan kita?” menaikan nada bicara yang mana membuat Atalia memejamkan mata sejenak. “Karena saya tau kalau bapak gak akan izinin saya. Lagipula apa yang saya lakukan itu bukanlah hal buruk, saya sama teman saya Cuma pergi ke tempat karaoke. Dan masalah hubungan kita, Bapak tidak perlu khawatir karena saya tidak akan mencari masalah.” Alvano berdiri dan melangkah ke arahnya. “Harusnya kamu gak cari masalah sejak awal. Apa yang kamu lakukan hari ini membuat saya memperimbangkan untuk menolong Ayah kamu yang dari tadi menelpon meminta tolong,” ucapnya dengan penuh penekanan sebelum melangkah pergi dari sana. “Pak, Bapak mau kemana?” Atalia mengikuti langkah Alvano. “Pak, maksud bapak apa? Jelasin dulu sama saya. Pak?” Namun diabaikan oleh Alvano, pria itu keluar dari apartemen dengan menutup pintu dengan kuat. Atalia buru-buru mengaktifkan ponselnya dan melihat panggilan tidak terjawab dari Ayah dan juga Ibunya. Atalia segera menghubungi Ibunya kembali. “Hallo, Ibu? Maaf tadi Atalia lagi main sama temen-temen dan hapenya gak diaktifin. Kenapa Ibu nelpon?” “Tadinya Ibu mau bilang dulu sama kamu, tapi karena kamunya gak aktif, maka Ayah sama Ibu langsung nelpon Alvano dan minta bantuan dia.” “Bantuan apa?” Tanya Atalia khawatir. “Bantuan buat perusahaan. Kamu tau gimana kondisi kita sekarang, dan perusahaan besar milik Alvano pasti bisa membantu.” Atalia terdiam sejenak, dia memejamkan mata kemudian menarik napas dalam dan bertanya, “Lalu? Apa dia mau membantu kita, Bu?” “Alvano belum memberikan jawaban. Tapi dia bilang akan mempertimbangkan. Ibu paham kok kalau urusan keluarga dan bisnis itu berbeda, tapi ibu benar benar berharap kalau Alvano mau membantu. Kamu paham ‘kan?” Satu lagi tugas untuknya, dia harus meminta bantuan pada Alvano. Dan Atalia yakin kalau ini akan sangat sulit. *** Sebelum Atalia terlelap, dia mengetik pesan pada Alvano untuk meminta maaf. Namun setelah menulis lebih dari 100 kata, Atalia kembali menghapusnya dan memilih untuk menulis di atas kertas seperti biasa. “…Untuk kesayangan, Cintaku. Pak, hari ini Atalia capek banget. Banyak pelajaran yang gak Atalia pahami, padahal teman-teman lain dengan mudah menyerap ilmu. Rasanya menyakitkan, tapi tidak sebanding dengan perlakuan Bapak sama Atalia. Atalia gak akan menyalahkan, apa yang bapak lakukan hari ini begitu kejam. Di saat Atalia datang membawakan berkas, harusnya Bapak menyambut Atalia dan mengatakan terima kasih. Terlebih lagi di sana ada perempuan bernama Ellen yang menyebalkan. Namun sekali lagi, Atalia tetap suka pada Bapak meskipun kadar sukanya berkurang 0,00000001%. Hari ini Atalia juga keluar sama teman-teman, Atalia minta maaf karena gak kasih tau Bapak. Melihat mata Bapak yang menatap dengan marah, membuat Atalia bertanya-tanya, kapan ya mata Bapak akan melihat Atalia dengan penuh cinta? Mustahil ‘kah? Tapi tidak apa ‘kan untuk berharap? Pak Alvano, jika Atalia bisa menemui Tuhan dan memintanya untuk mengubah perasaan terhadap bapak, maka Atalia sudah melakukannya sejak dulu. Mencintai Bapak itu menyenangkan, tapi lebih banyak sakitnya apalagi setelah kita menikah. Rembulan malam ini ditelan awan, Pak. Sama seperti perasaan Atalia yang tenggelam karena kegundahan. Ah ya, tadi Atalia lihat jari Bapak terluka. Itu kenapa? Lain kali hati-hati ya, Pak. Tidak banyak yang ingin disampaikan. Bapak jangan khawatir, rasa cinta Atalia pada bapak hanya berkurang sedikit. sisanya Atalia masih akan mengatakan, ‘I Love you, Pak Alvano.’ Dari Atalia….” Lebih mirip catatan harian. Atalia melipat kertas itu dan memasukannya ke dalam amlop yang dia beli banyak. Menyimpannya di atas meja dan siap dia berikan pada Alvano besok. Sejauh ini Atalia lebih yakin kalau suratnya tidak pernah dibaca. Namun kebiasaan selama satu tahun lamanya itu membuat Atalia ketagihan dengan menuliskan perasaannya dan rasa cintanya kemudian membagikannya dengan Alvano. Dan malam itu, Atalia tertidur dengan kegundahan di hatinya. Baru juga dia melepaskan rasa gelisahnya, kini pikirannya dibebankan hal-hal seperti itu lagi. Saat pagi tiba, Atalia tidak melihat tanda-tanda kalau Alvano akan pulang. Yang mana membuat Atalia memilih untuk pergi ke kampus lebih pagi. Ada buku yang harus dia pinjam ke perpustakaan untuk pembelajaran kali ini. Sebelum ke perpustakaan, Atalia pergi ke ruangan dosen terlebih dahulu. Menuju salah satu pintu yang sudah tidak asing untuknya. Dimana Atalia berjongkok dan menyelipkan surat cintanya di sana. Namun ketika Atalia baru memasukan sebagian surat itu ke bawah, pintu lebih dulu terbuka. Atalia mendongkak dan mendapati Alvano yang berdiri di sana. “Masuk,” ucapnya yang langsung dilakukan oleh Atalia. Sedikit kaget ketika pria itu mengunci mereka dari dalam. “Bapak tidur di sini?” Tanya Atalia ketika dia melihat bantalan sofa yang berantakan. “Sudah dengar dari ayah dan ibu kamu?” Atalia kini menatap Alvano kemudian mengangguk. “Bapak bisa bantu?” “Kenapa saya harus bantu mereka di saat anaknya selalu membangkang dan tidak menuruti saya?” Atalia yang masih berdiri itu menggigit bibir bawahnya sambil menunduk, matanya focus pada surat yang masih ada di tangannya. Sebelum Atalia membalas ucapan Alvano, ponselnya lebih dulu berbunyi. Itu dari Ayahnya yang memberinya pesan untuk kembali menanyakan ketersediaan Alvano membantu mereka. “Tolong saya, Pak. Tolong bantu orangtua saya, saya minta maaf atas apa yang saya lakukan. Yang tidak menuruti perkataan bapak,” ucapnya dengan suara pelan dan menunduk. Alvano menyeringai karenanya. “Apa yang bisa kamu berikan pada saya jika saya membantu orangtua kamu?” “Harga diri saya, sesuai yang bapak inginkan.” “Masa? Coba buka baju kamu,” perintah Alvano yang membuat Atalia langsung menatap pria di hadapannya. Namun, Alvano sepertinya tidak main-main. Yang mana membuat Atalia perlahan membuka kancing pakaiannya. Menggigit bibir semakin kuat menahan isakan. Bukankah ini keterlaluan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD