Pukul delapan malam, Agas dan Dava datang menyusul, menggantikan orang tua Deril yang menunggui korban kecelakaan. Papa Deril memberi tahu bahwa luka pada korban bukan luka parah, mungkin tidak sampai tiga hari lukanya akan mengering- itu informasi yang didapat sang Papa dari dokter.
Usai merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan, Deril mengajak Shara- yang sudah satu jam menemaninya didepan ruang rawat- untuk ke kantin rumah sakit. Shara menurut. Perutnya memang lapar karena tak sempat membeli makanan sejak ia dan Intan ke bioskop.
Bicara soal Intan, gadis itu pamit setengah jam yang lalu untuk pulang lebih dulu. Kemudian Shara meminta Andi untuk mengantar pulang gadis itu- yang jelas langsung ditolak oleh Intan dengan telinga memerah malu. Kalau saja mereka tidak sedang dalam suasana duka, Shara pasti sudah tertawa meledek pada respon Intan. Dan Shara tak menyerah, ia mengatakan pada Andi bahwa taksi tak menjamin aman apalagi bagi perempuan malam-malam begini. Jadilah Andi mengiyakan dan ikut serta pamit pulang.
"Ini kenapa?" Deril menyentuh siku Shara yang seperti baru tergores sesuatu.
"Jangan dipegang! Perih, tau."
Tak menghiraukan, Deril malah meluruskan tangan kiri Shara, kepalanya mendekat mengamati luka disana. "Abis kegores, ya?"
"Iya. Tadi buru-buru nemuin lo jadi sempet kegores gitu. Kegores apaan ya? Lupa."
Deril menyentuh sekali lagi, membuat Shara meringis, "Sampe merah gini. Jangan ceroboh kenapa sih?"
"Ngaca." kata Shara ketus, "Disini yang harusnya dikhawatirin itu elo."
Deril menyengir, "Lega banget gue liat Mbak tadi gak parah."
"Lain kali jangan ngebut. Ini yang terakhir lo kebut-kebutan dijalan." ujar Shara. "Untung luka si Mbak tadi luka biasa. Coba kalau sampe operasi?"
"Jangan ngomong gitu, kali."
"Ih, serius gue."
"Iya-iya. Tadi yang terakhir." Deril menunjukkan deretan giginya pada Shara, tersenyum menggemaskan, "Insya Allah," tambahnya.
Shara mencebik tak menanggapi banyak. Kemudian perempuan itu mendengar suara kursi yang diseret, sedetik kemudian terasa beban berat dibahu kanannya. Tahu-tahu Deril sudah asik bersandar dipundak perempuan itu.
"Seneng banget liat lo khawatir kayak tadi." kata Deril sembari memejamkan mata.
"Ini di rumah sakit." jawab Shara dengan jawaban tak sesuai konteks, berniat menyindir kelakuan Deril di tengah banyaknya orang disana.
Mendengar itu, Deril malah tersenyum dan mengamit lengan Shara.
"Bucin teroooos!"
Koor rusuh tersebut sudah jelas dari suara Agas, namun kali ini Dava tak ikut meledeknya. Shara menoleh, menemukan gadis yang ia kenali walaupun tidak begitu akrab. Gisel, kekasih Dava.
Oh, pantes anteng. Batin Deril.
Agas, Dava, dan Gisel bergabung dengan meja mereka, sementara Deril terpaksa menjauhkan kepala dari bahu Shara.
"Bucin sama cewek sendiri juga." jawab Deril sembari melempar Agas dengan kulit kacang. "Ngapain pada nyusulin kesini?"
Dava yang sedang membisiki sesuatu pada Gisel kemudian menoleh pada Deril, "Gue mau balik duluan sama Gisel."
"Ngapa susah-susah kesini kalau ada HP, g****k?"
"Gue telpon lo dari tadi kagak lo angkat, nyet!" balas Dava.
"Ya udah sana balik. Rusuh banget lo," usir Deril.
Gisel menoleh kesamping ke arah Shara yang sedari diam saja, "Kamu gak bareng kita aja? Katanya kesini tadi pake taksi?"
Shara mengerjap, "Eh? Eng- iya, sih. Tapi, ngerepotin gak?"
"Lo balik sama gue." sahut Deril.
Shara mendengus, "Lo punya kewajiban nungguin Mbak tadi sampai keluarganya dateng."
"Dan gue juga punya kewajiban nganterin lo balik."
"Unless lo sopir gue." balas Shara dengan tangan menyilang didepan d**a.
"Gue gebetan lo."
Agas yang memperhatikan keduanya jadi memutar bola mata merasa jengah. Beda lagi dengan Gisel terkikik geli, "Lucu banget Deril," ujarnya sembari berbisik pada Dava.
Dava menatap sang kekasih datar, "Biasa aja."
* * * * *
Setelah berdebat dan memutuskan untuk mengalah pada Shara, Deril pun hanya menawari mengantar gadis itu ke tempat parkir mobil Dava. Dengan seenak jidat, Deril melingkarkan lengannya dipundak Shara selama berjalan keluar rumah sakit.
"Kasian banget cewek gue jadi nyamuk." ujarnya sembari membukakan pintu mobil belakang untuk Shara.
Gisel tertawa, "Enggak gitu, lah. Gue sama Dava gak bakal ngacangin dia."
"Heh," panggil Deril pada Dava, "Anterin cewek gue pulang dengan selamat."
"Bacot amat, anjeng." balas Dava lalu masuk kedalam mobil.
Shara menatap datar pada lelaki jangkung didepannya, "Rese parah, ya, elo hari ini."
Deril tertawa, "Ini namanya bagian dari perjuangan, Sayang."
"Perjuangan mata lo."
Deril melotot mendengar itu, "Kasar amat ngomongnya?!"
"Bodo amat. Sama mantan ini," sergah Shara.
Deril tertawa lagi, kepalanya maju kemudian ia mengecup bibir Shara. Setelah menjauh, ia merapikan rambut gadis itu yang berterbangan oleh angin malam.
"Lo tu—" Shara menepis tangan itu.
"Apa?"
"Suka nyosor banget sih?!"
Tin! Tin!
Shara menoleh ke mobil dibelakangnya, kemudian kembali menatap tajam pada Deril. "Minggat sana lo,"
Deril tersenyum manis. Tak peduli Shara selalu mengatakan kalimat sinis padanya.
"Kalau udah nyampe rumah langsung ganti baju, cuci muka, cuci kaki, minum s**u, tidur. Gak usah begadang nonton drakor. Ngerti?"
"Iya."
"Besok aku jemput ke sekolah."
Apa katanya? Aku? A-ku?!
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Deril terlambat bangun.
Gara-gara bermalam dirumah sakit kemarin, ia baru sampai dirumahnya sekitar pukul sebelas malam. Dan bukannya segera tidur, ia malah bermain game hingga ia ketiduran dan bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh.
Deril mandi asal-asalan, memakai seragamnya, kemudian kakinya mengayun keluar kamar ingin menghampiri mamanya. Belum sampai pintu, Adam-sang Papa sudah keluar dari kamar, dengan setelan pakaian kerja yang lengkap namun.. sedikit berantakan?
Deril melengos kesal. "Makanya Mama gak bangunin aku. Eh, ternyata." Sindir Deril, "aku gak mau, ya, punya adik lagi."
Adam tertawa tak merasa bersalah. "Mama kamu yang ngajakin," jawabnya sambil berlalu dari sana.
"Kamu mau berangkat jam segini?" tanya Adam usai melihat jam tangannya.
"Iya."
"Udah jam 7 ini."
Deril tak menjawab. Ia meneguk cokelat hangat di atas meja makan kemudian menyalimi Adam. "Berangkat, Pa."
"Gak mau bareng Papa aja?"
"Gak. Tambahin uang jajan, dong."
Adam mendengus. "Nanti Papa transfer. Jangan bilang Mama kamu, marah nanti."
Deril mengangguk. "Beres."
* * * * *
Dan yang didapatkan Deril ketika sampai didepan gerbang sekolah adalah gerbang yang sudah terbuka lebar dengan murid-murid yang berkeliaran. Deril mengernyit, ia memberhentikan motornya didepan pos satpam.
"Kok rame-rame, Pak?" tanya Deril tanpa basa-basi.
"Lah, kan, hari ini free class," jawab Pak Budi. "Nyambut tamu dari Amerika, kan?"
Deril mengangguk-angguk baru ingat akan hal itu. Tahu begini Deril tak akan terburu-buru berangkat ke sekolah. Lelaki itu berpamitan pada Pak Budi dan memasukkan motor ke lapangan parkir.
Cowok tampan itu berjalan santai memasuki sekolah, sesekali ia menyugar rambutnya ke belakang membuat beberapa siswi disana mengumpat pelan hingga memuji terang-terangan. Dari arah depan, Viga, senior kelas tiga, berlari kecil ke arah Deril membuatnya mengernyit.
"Baru dateng, Ril?"
"Iya." Kepala Deril melongok mencari teman-temannya, "Lo tahu temen-temen gue dimana, gak?"
"Di labas kayaknya," Viga mengusap bahu Deril, "Yuk, gue juga mau kesana."
Deril tak menanggapi. Ia memutar tumitnya dan berjalan ke lapangan basket diikuti Viga dibelakangnya yang sama sekali tidak ia pedulikan keberadaannya.
Musik kencang dari sound system di lapangan basket membuat Deril mengernyit. Matanya menemukan keberadaan Andi, Agas, dan Dava yang berada didepan sendiri dari banyaknya kerumunan dipinggir lapangan. Berdiri disamping Agas, ia menemukan Shara dan beberapa siswi lainnya di tengah lapangan sedang menampilkan dance.
Ulangi.
Shara. Dance.
Deril kini mengerti mengapa banyak kerumunan laki-laki dipinggir lapangan, pun nampaknya teman-temannya sendiri saja tak ingin ketinggalan. Bukan Deril tak tahu mantan kekasihnya itu ikut ekstrakulikuler modern dance. Tapi selama menjadi pacar Shara dulu, Deril tak pernah melihat Shara tampil didepan umum.
Tiba-tiba saja Deril membenci penampilan sekolahnya kali ini.
Melihat Shara bergerak gemulai ditengah lapangan, dengan kostum yang- ingatkan Deril untuk menegur ketua ekstrakulikuler nanti- Deril tak mengerti bagaimana bisa mantan kekasihnya bisa secantik dan semenakjubkan itu.
Deril memijat pangkal hidungnya, tiba-tiba merasa pening. Kalau bisa, Deril ingin meninju satu-persatu mulut siswa disana yang dengan kurang ajarnya memuji penampilan Shara dengan bahasa v****r.
Satu tangannya ia masukkan di saku celana, ia mengalihkan pandangan kemanapun asal bukan ke arah Shara yang cantiknya terlihat tak wajar. Namun tatapannya malah menemukan Andi yang pandangannya lurus dan serius ke arah Shara.
"Ngeliatin siapa lo?" todong Deril membuat Andi terkejut.
"Gak liat siapa-siapa," Andi berdeham gugup, "takut gue liatin Shara?"
"Bukan takut. Males ribut aja."
Deril meninggalkan lapangan basket setelahnya. Tak peduli bahwa Agas dan Dava memanggil-manggil namanya karena pergi tanpa pamit, ataupun Shara yang masih belum selesai tampil.
* * * * *
"Jadi lo tukeran nomer sama Andi?" tanya Shara sembari melipat mukenah yang ia pinjam dari mushola sekolah.
Usai tampil tadi, keduanya memilih pergi menunaikan sholat dhuhur. Setelahnya Intan bercerita bahwa ada kemajuan diantara hubungan gadis itu dengan Andi.
"Iya." Intan menyengir, "Dia emang baik, sesuailah sama perkiraan gue selama ini. Tapi apa, ya, Shar. Dia kayak menutup diri gitu, loh."
"Kayak gimana sih?"
"Bingung ngejelasinnya." Intan menaruh mukenahnya di lemari. "Kayaknya dia lagi suka sama cewek lain, deh."
Shara mengernyit, kemudian ingat percakapannya dengan Andi kemarin lusa. "Kalaupun iya, tugas lo bikin dia suka sama elo, kan? Focus on your direction."
Shara menghentikan langkahnya tepat di pintu mushola, ia mendongak menemukan sosok Deril yang menghadang jalannya. Sepertinya cowok itu baru selesai wudhu karena wajah dan sebagian rambutnya yang basah. Shara sempat mengerjap beberapa detik melihat Deril yang terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat begini.
"Minggir."
Deril menyeringai, "berani bayar berapa?"
Shara melengos. Ia melangkahkan kakinya ke kanan, namun Deril dengan usilnya ikut ke kanan. Shara ke kiri, Deril ikut ke kiri. Berulang begitu hingga Shara jengah.
"Ril!"
"Apa?"
"Minggir gak?"
Intan dibelakang Shara sudah memasang raut wajah datar melihat kelakuan Deril yang seperti bocah. Wajah lelaki itu sangat tengil membuat siapa saja ingin menelan bulat-bulat kepalanya.
Tak kehabisan cara, Shara dengan isengnya mencubit pipi Deril. Tidak keras. Shara bahkan yakin Deril tak merasakan apapun akibat cubitan yang ia berikan. Tapi caranya cukup membuat Deril geram dan melotot.
"Cala, gue baru wudhu!"
Shara dan Intan terbahak.
"Rasain!"
* * * * *
Shara mengacak-acak rambutnya kesal karena ia gagal memahami materi pada bukunya. Ini sudah setengah jam lebih dan Shara tidak fokus dengan yang dibacanya.
Alhasil gadis yang sedang memakai piyama dora itu memilih menaiki kasur dan merebahkan tubuh disana. Pikirannya melayang mengingat kembali ketika Deril mengantarnya pulang tadi.
"Lo abis ketemu Kak Erika?" tanya Shara karena kakak kelasnya itu memberitahu Shara bahwa Deril baru menemuinya.
"Hm."
"Ngapain?"
Deril menoleh, "dia bilang apaan?"
"Kak Erika bilang lo abis marahin dia."
"Lebay amat. Orang gue cuma negur." Deril memainkan korek ditangannya. "Lagian ngasih kostum dance kayak gitu."
"Kostum yang gue pake tadi itu yang paling biasa, tahu!" geram Shara.
"Kalau yang kayak begitu menurut lo biasa, gimana bisa cowok-cowok disana sampai berani ngomong lancang soal lo?" Deril menumpukan sikunya pada setirnya, matanya menatap tajam Shara. "Untung gue gak nendang muka mereka satu-satu."
"Emang mereka ngomong apa?"
Deril mendengus. "Ya ngomong yang aneh-aneh. Lagian elo juga. Gimana bisa berani banget pakai celana dalem-"
"Itu hotpants, Deril!" pungkas Shara cepat dengan pipi memerah.
"Lo pakai celana sependek itu ditengah lapangan, Cala. Perut lo juga kemana-mana." Deril mengerang frustasi, "Pak Budi aja sampai ngiler seember ngeliatin elo."
Shara memberengut kecil. "Gue kan gak tau."
"Apanya yang gak tau?!"
"Ih, jangan marah-marah kenapa sih?!"
"Ya elo bikin emosi."
Shara hampir tak mengenal Deril yang sekarang. Deril kekasihnya dulu tak pernah mempermasalahkan apapun yang Shara lakukan. Sekalipun misalnya Shara melakukan hal tak terduga, Shara yakin Deril tak peduli. Tapi Deril yang sekarang nyatanya tak begitu. Shara benar-benar tak tahu mengapa Deril bisa berubah seposesif dan seperhatian ini. Apa segala ungkapan rindu yang belakangan Shara dengar dari mulut Deril adalah nyata adanya?
Shara mengambil ponselnya, membuka kontak nomor Intan dan mengirimi pesan singkat disana.
Shara Fressia
Apa gue harus nurutin kata lo buat buka hati lagi ke Deril?
sent.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Di antara tumpukan buku yang Shara bawa ke salah satu meja di perpustakaan kota, Deril benar-benar hanya dianggap angin lewat. Pada situasi seperti ini Deril jadi teringat adiknya. Shara dan Cinta adalah dua perempuan yang Deril tahu benar-benar candu kepada buku. Bedanya, adik Deril itu hanya menyukai novel-novel fiksi sedangkan Shara mengkonsumsi segala jenis buku.
Deril menumpukan dagunya pada sisi meja, mengamati Shara yang terlihat cantik dengan kepala menunduk dan poni berjatuhan. Apalagi ketika perempuan itu sesekali mengajak Deril berbicara mengenai isi buku sejarah yang sedang dibacanya, Shara terlihat seratus juta lebih cantik dimatanya. Pernah tahu dengan pepatah luar yang mengatakan tentang kecantikan perempuan datang dua kali jika otkanya cerdas? Deril setuju dengan itu. Walaupun Deril hanya iya-iya saja ketika Shara mengajaknya mengobrol mengenai sejarah Irlandia.
Ah, apakah mantan kekasihnya itu tak bisa berhenti membuat Deril terpana?
Merasa cukup merekam wajah Shara dimemori, Deril menegakkan punggungnya, berganti posisi jadi bersandar pada kursi kayu yang ia duduki dan melipat tangan didepan d**a.
"Udah tau belum kalau Andi suka sama lo?" tanya Deril tiba-tiba. Shara yakin ia akan tersedak bila saja ia sedang memakan atau meminum sesuatu.
"Ha?"
"Ha?" ulang Deril dengan bibir mengejek. "b***k ya?"
Shara melotot, "Lo mabok?"
"Mabok Cala? Iya."
Shara diam.
"Serius gue. Udah tau belum?"
"Ngaco lo." Shara membalikkan halaman bukunya. "Jangan ngomong gitu lagi."
"Kenapa?"
"Intan suka sama Andi."
"Lah?!" sekarang Deril yang terkejut. Ia bahkan langsung tegak dan mencondongkan wajahnya pada Shara, "serius?"
Shara mengangguk. "Makanya jangan ngaco kalau ngomong."
"Gue gak ngaco, Ca. Insting sesama cowok tuh kuat. Lo gak tahu aja." Deril iseng menekan perut semut yang lewat dimejanya. "Pokoknya ya, Ca, kalau ada yang berani deketin elo. Gue begal beneran."
Shara membaca ulang kalimat pada bukunya, merasa sedikit tidak fokus akibat kalimat Deril. Tapi kemudian ia malah memfokuskan matanya menatap Deril.
"Dia pernah bilang lagi suka sama cewek. Tapi kayaknya bukan sama gue." tutur Shara.
"Kenapa lo bisa nyimpulin gitu?"
"Karena kalau dia sukanya sama gue, harusnya waktu itu dia bilang gue suka sama lo, kan? Bukan gue suka sama cewek lain."
Deril terdiam, mencoba mencerna kalimat Shara. Sedetik kemudian ia langsung berdecak, "Yaelah, jelas aja dong, Cala! Ya kali mau langsung nembak."
"Hah?"
"Ha-ho ha-ho. Kayak keong, lo." Deril jengkel. "Lo tuh emang gak peka apa pura-pura gak peka, deh?"
"..."
"Cinta segi berapa, nih, jadinya?" ujar Deril diakhiri kekehan, "Intan suka Andi. Andi suka elo. Elo suka gue."
"Siapa suka lo?" pungkas Shara cepat.
"Elo, kan?"
"Pede lo selangit."
"Alah, ngeles mulu kayak Zaskia Gotik."
"Gak jelas lo."
"Kan Zaskia punya lagu yang 1000 alasan itu looooh."
"Apa sih, anjir." sebal Shara.
Deril langsung memasang wajah datarnya, membuat Shara menahan tawa.
"Ca, bayangin misal temen lo tahu kalau Andi suka sama lo?"
"Andi gak suka sama gue, udah gue bilang juga!"
"Andi suka sama elo, gue udah bilang juga!" kata Deril mengembalikan kalimat Shara.
Shara menatap was-was, "Ril, serius deh, jangan ngaco. Kalau Intan denger-"
"Intan bisa marah sama lo?" tebak Deril.
Shara mengangguk tegas.
Deril melirik ke atap perpustakaan, menampakkan raut wajah berpikir sebelum ia mengatakan, "Kalau elo gak mau musuhan sama temen lo, ya udah balikan aja sama gue. Jadi Intan bisa sama Andi."
Duk!
"Aduh, Shara!" pekik Deril dengan melotot tak percaya ketika Shara menendang kakinya dibawah meja. "Gue ngomong fakta, ini. Salahnya dimana coba?"
"Dimana-mana." Shara mengambil tempat pensil dari tas punggungnya, kemudian meletakkan di meja dan bersiap menulis. "Gak usah bahas beginianlah. Mending ngerjain tugas aja."
Deril yang melihat Shara fokus mengerjakan tugas merangkum buku sejarah itu jadi berdiri memutari meja dan pindah duduk disamping Shara. Laki-laki itu merebut bulpoin dan buku Shara.
"Gue aja yang nulisin. Lo yang dikte." ujar Deril sembari langsung menghadap lurus ke buku Shara.
"Eh, ngapain sih?!" Shara menarik bukunya, "Kerjain tugas lo sendiri!"
"Tugas gue udah dikerjain Dava."
"Ya udah sana! Tulisan lo jelek, gue gak mau ditulisin sama lo."
"Enak aja lo ngomong. Walaupun kisah cinta gue berantakan, tulisan gue rapi, ya!"
"Apa hubungannya, Deril!"
Tapi sebenarnya, Shara sudah tahu dari dulu kalau tulisan Deril itu terbilang rapi walaupun tidak sebagus tulisannya. Sepertinya Deril mewarisi dari sang ibu.
"Udah deh jangan bawel. Gue aja yang nulis."
Shara melengos, lalu memberikan buku yang sempat ia tarik dari Deril. "Jangan disingkat-singkat kalau nulis. Awas lo!"
* * * * *
Andi memberhentikan motor vespanya didepan gerbang sekolah, tepat didepan gadis imut berpita kuning yang sepertinya sedang menunggu jemputan.
"Hai?" sapa Andi.
Jangan tanya bagaimana reaksi seorang Intania Siffa. Lutut gadis itu mendadak lemas. Intan tersenyum gugup sebelum menjawab sapaan sang pujaan.
"H-hai."
"Kok sendirian? Shara mana?"
Intan merasakan degup jantungnya semakin cepat.
Kok tau gue biasanya sama Shara? Jangan-jangan dia stalker gue? Batin Intan cengengesan.
"Dia udah balik sama Deril." jawab Intan. Tak mempedulikan ekspresi Andi yang mendadak mendung, ia lanjut bertanya, "Andi mau pulang?"
"Iya. Elo balik sama siapa?"
Butuh beberapa detik Intan untuk menjawab pertanyaan sederhana dari lelaki tampan itu. Tapi Intan sedang berusaha mencoba peruntungan saat ini.
Kalau gue bilang jujur dijemput sopir, pasti dia jawab ya udah doang. Coba bikin melas aja kali, ya? "Gue nunggu bus."
Andi mengernyit, "bus?"
Intan mengangguk.
"Kok gak nunggu di halte? Bus, kan, gak lewat sini?"
Waduh, mampus! Bodoh banget, Intaaan! "Eh-eng-anu. Eh, emang iya? Gue gak pernah naik bus. Jadi gak tahu." Intan menggaruk telinganya, "ya udah gue jalan dulu ke halte. Hehe. Bye, Andi!"
Mami, Intan malu! jerit gadis itu dalam hati.
"Bareng gue aja."
"Eh?"
"Gue anterin sampai halte."
Intan melengos. Bibirnya sudah cemberut membuat Andi terkekeh. "Bercanda, Intan."
Lelaki yg itu mengedikkan dagu ke jok belakangnya, "Tapi gakpapa pakai Ondi? Gue lagi gak bawa mobil."
"Ondi?"
"Vespa gue."
"Pfffft." Intan menahan tawanya. "Vespa lo namain?"
Andi mengedikkan bahunya. "Mau gak?"
Lo bawa pakai becak aja gue mau! "Iya-iya."
* * * * *
Hujan mendadak turun deras ketika Deril dan Shara baru masuk ke mobil setelah selesai dari perpustakaan tadi. Padahal sebelumnya tak ada mendung. Beruntung Deril hari ini membawa mobil bukan motor besar seperti biasanya, berkat sang Mama yang pagi tadi menyuruhnya untuk membawa mobil. Katanya takut jika Deril pulang kehujanan. Uh, sepertinya Hanin sekarang pandai meramal.
Deril melirik Shara yang berkali-kali menggosokkan tangan pada lengan, atau mengapit tangan diantara sela-sela paha. Paham jika gadis itu kedinginan, Deril memilih menepikan mobilnya pada warung pinggir jalan.
Shara yang bingung karena mobil mendadak berhenti jadi menoleh pada Deril.
"Beli STMJ dulu." ujar Deril menjawab pertanyaan yang tak pernah dilontarkan Shara.
"Gue ikut turun, ya?"
"Di mobil aja. Payungnya kecil, cuma muat satu orang."
Bibir Shara mengerucut namun tak ayal tetap menurut.
"Dikursi belakang ada jaket gue. Pakai aja."
Shara menoleh ke belakang dan menemukan jaket hitam tergeletak disana. Ia bergegas mengambilnya karena ia tak kuat menahan dingin.
"Cepetan, ya!" seru Shara ketika Deril sudah membuka pintu dan berlari ke warung.
Sekembalinya Deril, ia langsung mengangsurkan gelas satunya untuk Shara yang disambut semangat.
Keduanya hening. Shara asik meniup-niup minumannya, merasakan hangatnya gelas yang ia genggam. Hujan semakin deras, cuaca semakin dingin. Diiringi lagu Why Don't We berjudul 8 Letters pada tape mobil, rasanya menyenangkan.
"Papa mama kamu apa kabar?" tanya Shara memecah keheningan.
Deril menyeduh sedikit minumannya kemudian menoleh, "Ngapain nanyain mereka? Tanyain nih apa kabar hati aku kamu gantungin terus."
"Idih?"
Memang kapan Deril meminta Shara untuk menjadi kekasihnya lagi? Tidak pernah. Aneh sekali laki-laki itu.
"They are totally fine," jawab Deril akhirnya. "Masih suka pacaran gak tahu tempat padahal ada anak yang dirumah. Gak tahu malu banget, kan?"
Bukannya kayak elo belakangan? batin Shara menimpali.
"Nyokap tuh cerewet parah."
Shara masih diam mendengarkan.
"Gue pernah cerita sama bokap kalau mau deketin elo. Terus bokap kayaknya ngadu ke nyokap. Pas sarapan, nyokap ngomel-ngomel ke gue. Katanya gue mirip papa, suka ngegampangin sesuatu." Deril terkekeh, "jelas aja gue mirip papa, orang gue anaknya, ya, kan?"
Tanpa menanggapi pertanyaan retoris Deril, Shara bertanya yang lain. "Ngegampangin sesuatu gimana?"
"Bokap pernah putus sama nyokap, dulu tuh. Terus kata mama, papa gampang banget ngajak balikan ke nyokap. Kayak gak tahu diri gitu padahal udah nyakitin mama. Bener-bener se-nyakitin itu, pokoknya."
Wah mirip elo, dong? "Nyakitin gimana emangnya?"
Deril mengedikkan bahu, "Mama gak cerita."
"Bukan gak cerita sih. Papa langsung bekep mama waktu mama mau nyeritain dulu papa nyakitin gimana."
Deril tertawa disela ceritanya. Diam-diam Shara menikmati tawa cowok disampingnya. Tak bosan Shara membandingkan Deril yang dulu dan sekarang. Deril yang dulu mana mau bercengkerama dengan Shara apalagi cerita tentang kehidupan rumahnya seperti sekarang?
Hm. Jika seperti ini, Shara akan selalu bertanya pada diri sendiri. Apakah ini sudah waktunya Shara untuk benar-benar membuka hati?
"Cakep, ya, gue?" tanya Deril tiba-tiba. "Lo liatin gue gak kedip loh, Ca."
Shara langsung menatap jendela mobil disamping, berusaha agar wajahnya tak memerah karena ketahuan mengamati wajah Deril.
Laki-laki itu tertawa lagi. Tidak sulit ternyata membuat seorang Shara salah tingkah. Deril yang gemas jadi mengacak rambut Shara yang langsung ditepis gadis itu sembari marah-marah karena rambutnya jadi berantakan.
"Sumpah elo gemes banget. Gue cium boleh gak, sih?" cetus Deril begitu saja.
"Tumben izin dulu?" dengus Shara geli. Karena Shara hafal betul kalau Deril suka menciumnya tanpa bertanya dulu seperti saat ini. Karena selain aneh mendengar Deril meminta izin, Shara juga malu untuk sekedar mengangguk mengiyakan. Mau taruh dimana wajahnya?
Deril menyeringai sembari menumpukan tangannya di jok Shara dan mempersempit jarak. "Biar sopan dikit." Jawab Deril sebelum bibirnya menempel diatas bibir Shara.
Shara masih memangku gelasnya ketika Deril memiringkan wajah memperdalam ciuman mereka. Demi apapun, Shara tak pernah merasakan Deril menciumnya selembut ini. Biasanya lelaki itu hanya sekedar mengecup atau melumat namun tak pernah seperti ini.
Entah dorongan dari mana hingga tangan kanan Shara memilih mengusap pelan rahang Deril dengan bibir membalas ciuman, membuat cowok itu semakin mendorong badan Shara hingga punggungnya benar-benar tersudut diantara jendela mobil dan jok. Deril menghisap bibir atas Shara sebelum menggigit yang bawah. Shara mengerang kecil, dan Deril tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk membiarkan lidahnya ikut berperang.
Shara merasa gila ketika lagi-lagi Deril menggigitnya dan mendesak lidah Shara untuk ikut bermain. Sepertinya Deril belum ingin menyudahi kegiatan mereka dalam waktu dekat.
Jadi sebelum Shara benar-benar pingsan dalam ciuman, Shara mendorong pelan bahu Deril, menyuruhnya untuk berhenti. Deril menurut. Lelaki itu menjauhkan wajahnya, hanya beberapa senti saja sembari menetralkan nafasnya yang tersengal-sengal.
Deril menatap Shara yang masih terpejam dengan nafas sama tak beraturannya. Bibir gadis itu basah membuat Deril tak tahan untuk tak melumat sekali lagi. Hanya lumatan kecil sebelum Deril mengecup pipinya.
Merasa sudah waktunya, dengan jari Deril merapikan poni Shara, ia bertanya. "Balikan sama aku, ya?"
Shara menggeleng pada detik berikutnya. Benar-benar tanpa jeda waktu panjang untuk menjawab. Benar-benar tak berpikir dan langsung menolak. Deril terduduk dijoknya seperti posisi semula. Wajahnya menampakkan raut tak percaya. Apakah Deril baru saja diterbangkan dengan ciuman panas mereka lalu ditenggelamkan ke dasar jurang dengan penolakan gadis itu?
Wah, gadis ini. Yang benar saja.
* * * * *
"Hujan, Ndi. Masuk dulu aja," ajak Intan karena rintik air bertetesan kecil dari langit.
Andi membuka helmnya dan menggeleng, "Langsung balik aja. Belum deres ini."
"Ini mau deres. Lo gak bawa jas hujan, kan? Udah deh jangan ngeyel, masuk dulu aja." Oceh Intan yang akhirnya disetujui dengan tak enak oleh Andi.
Mengapa pula harus merasa tak enak? Intan saja merasa senang berkali-kali lipat. Kapan lagi coba pujaan hatinya ini bisa mampir ke rumah begini?
Tapi lengkung dibibir Intan sontak hilang ketika mamanya membukakan pintu dan dengan mata berbinar dan menyapa dengan kalimat memalukan.
"Loh, Mami gak tahu kamu punya pacar? Sini-sini, masuk." kata Indah sembari menyingkir dari pintu agar Andi dan Intan bisa masuk.
"Mi, Andi bukan--"
"Pacarnya Intan mau minum apa?" Indah bertanya dengan suara kelewat lembut. Benar-benar, ya. Ibu dan anak tak ada bedanya.
"Mami!"
Indah menoleh pada putrinya, "Apa?"
Baru Intan akan menjawab, ibunya kembali memotong. "Kamu duduk aja diruang tamu temenin dia. Mami yang bikinin minum."
Maminya mendorong-dorong bahu Intan untuk duduk disamping Andi lalu berbalik dan berjalan kearah dapur.
Intan yang mendadak merasa sangat kikuk karena kelakuan sang ibu, bergeser sedikit karena duduk terlalu dekat dengan Andi.
"Maaf, ya, mami gue emang agak-agak." ucap Intan sambil meringis.
Andi terkekeh, "Mirip banget kalian."
"Cerewetnya?"
Andi mengangguk. "Wajahnya juga mirip. Cantik gini."
Oh-oh, apakah seorang Andi sudah bisa menggombal? batin Intan tersenyum tak karuan.
Menutupi rasa malunya, Intan berdeham. "Rumah lo dimana sih, Ndi?"
Padahal sih, Intan tahu dimana rumah Andi. Intan kan pernah meminjam buku tahunan milik temannya yang bersekolah satu SMP dengan Andi. Iya, Intan memang seniat itu. Tapi siapa tahu Andi pindah rumah, kan?
"Perum Gajah Emas. Tau gak?"
Oh, tetep. "Tau, kok."
"Kenapa? Mau ke rumah?" goda Andi.
Sumpah ya, Intan baru tahu kalau Andi suka bercanda begini. Padahal Andi yang Intan tahu hanya Andi yang dingin dan pendiam. Kalau gini kan, Intan jadi semakin suka.
"Cari topik aja gue. Hehe."
"Lo temenan sama Shara dari kapan?" tanya Andi disela-sela matanya yang mengelilingi foto keluarga di dinding rumah Intan.
"Dari kelas 10. Sekelas lagi sama dia di kelas 11. Jadi deket banget."
Andi mengangguk-angguk, "Shara masih suka sama Deril?"
Mata Intan bergerak ke kanan dan ke kiri. Apakah aman menceritakan rahasia temannya kepada Andi? Tapi, kan, ini rahasia. Masa Intan mau membocorkan?
"Ada lah. Rahasia." Intan menoleh pada Andi. "Kenapa sih dari kemarin nanya Shara?"
Padahal Intan bertanya begitu hanya untuk mengisi pembicaraan saja. Ia tak bermaksud kepo atau apapun. Namun sepertinya Andi menanggapi pertanyaan Intan dengan serius.
"Kalau elo bisa jaga rahasia Shara, lo juga bisa jaga rahasia gue, kan?"
Intan mengangkat alisnya, bertanya lewat tatapan.
"Gue suka sama Shara."
Seketika jantung Intan mencelos. Tubuhnya kaku dengan tatapan mata tak percaya.
Andi menyukai Shara.
Andi, Shara.
Shara temannya?
Shara Fressia?
Dari sekian banyaknya perempuan cantik yang akan menjadi alasan Andi agar Intan mundur dalam merebutkan hati Andi, haruskah Shara?
Haruskah sahabatnya sendiri?
Intan menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia menanggapi kalimat Andi dengan tertawa saja. Jenis tawa yang dibuat-buat. Karena Intan tak tahu harus merespon bagaimana. Karena hatinya benar teriris ketika tahu bahwa....
Astaga. Intan harus apa?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ada yang salah dengan Intan pagi ini. Intan memang masih setia duduk disamping bangkunya. Namun gadis lucu itu diam, tak banyak bicara. Intan yang dikenal Shara adalah sosok yang cerewet dan tak bisa diam. Akan selalu ada topik yang dibahas. Namun mengapa kali ini tidak begitu?
"Tan, kenapa sih?" gemas Shara melihat Intan mengerjakan tugas dalam diam.
Intan menoleh, masih setia menumpukan dagu pada meja dengan tangan terus menulis, "apa yang kenapa?"
"Elo diem mulu. Kenapa sih? Cerita, dong!"
Intan tertawa, "Gak papa, Shar. Gak mood aja gue."
"Lagi PMS?"
"Hm."
Shara mengangguk memilih mengalah. Keduanya berdiam-diaman hingga dua mata pelajaran sudah selesai. Namun keanehan tentang Intan tak berhenti disana. Ketika bel istirahat berbunyi, Shara mengajak gadis itu ke kantin seperti biasanya. Tapi Intan langsung menolak dan menyembunyikan kepalanya diantara tangan yang ia lipat diatas meja.
"Gue lagi gak ngantin." katanya.
Menepis semua rasa penasarannya, Shara lagi-lagi hanya mengiyakan. Tapi kemudian Shara yang sedang duduk dimeja kantin dengan Deril dan teman-temannya, menemukan Intan baru memasuki koperasi dengan dua teman kelasnya, Niken dan Zara.
Shara bukannya kekanakkan dengan mempermasalahkan Intan yang memilih ke kantin dengan mereka dan bukan dirinya, tapi mengapa Shara merasa Intan seolah menjauhinya?
Deril yang mengamati raut sedih Shara jadi menyikut lengan gadis itu, "kenapa?"
Yang ditanya hanya menggeleng lemah, "gak papa. Gue balik ke kelas dulu, ya? Udah kenyang."
"Cerita dulu kenapa?" Deril kembali menoleh ke belakang dimana ada Intan yang sedang bercengkerama dengan dua temannya, "lagi berantem sama Intan?" tebaknya.
"Gue mau ke kelas."
Deril menghela nafasnya. "Gue anterin."
Keduanya beranjak dari bangku dan melewati koperasi untuk kembali ke kelas. Mata Shara terus memandangi Intan yang sedang tertawa kencang dengan Niken dan Zara, hingga Intan menoleh dan menemukan keberadaan Shara juga. Intan tersenyum menyapa. Hanya begitu sebelum Intan kembali menghadap kedua temannya.
Deril tak pernah menghadapi situasi seperti ini. Ia bingung harus apa, apa lagi Shara tak mau bercerita. Deril menepuk kepala Shara dua kali ketika keduanya sudah sampai didepan kelas.
"Nanti pulang sekolah ke rumah gue, ya?"
Deril tak tahu cara menghibur perempuan itu selain yang satu ini.
"Ogah, ngapain banget."
"Cinta punya buku baru-baru. Abis borong, dia." Melihat akan terjadi penolakan, Deril buru-buru menambahkan. "Daripada lo galau begini, mending baca buku, kan? Hehe."
Shara mendengus geli, "iya-iya."
* * * * *