[Tak perlu menjadi orang lain untuk membuat seseorang tertarik pada kita. Jadilah diri sendiri dan tunjukkan kemampuan serta kelebihan kita.]
-wishwondersurprise.blogspot.co.id-
***
Walau masih tidak percaya kalau laki-laki itu ternyata adalah bosku di cafe tempatku bekerja, tapi demi Leo yang sudah sangat baik padaku, aku tidak jadi keluar dari Blue Sky. Akan kutunjukkan bahwa aku bisa bersikap profesional untuk membedakan urusan kampus dan pekerjaan. Toh menurut Leo, Elang juga sangat jarang datang ke cafe. Buktinya lima hari aku bekerja di sana, aku baru bertemu dengannya Sabtu malam lalu. Jadi kurasa Leo ada benarnya.
Hari ini—Senin, suasana di lorong kampus begitu ramai, sekilas aku mendengar suara bisik-bisik tipis dari beberapa mahasiswi yang sedang bergosip tentang laki-laki berlesung pipi itu. Siapa lagi kalau bukan Langit Segara atau lebih dikenal dengan Elang.
"Jadi semalam lo sama Elang? Ngapain aja sama dia?"
"Dia ngajak lo kemana?"
"Elang gimana di tempat tidur?"
"Dia pasti hot banget kan ya?"
"Berapa senti panjangnya?"
"Berapa ronde main sama dia? Katanya dia tuh kuat banget ya?"
"Pakai apa sih dia?"
"Lo beruntung banget deh dideketin dia...."
Dan semua pembicaraan tidak penting lainnya yang tidak sengaja kudengar. Begitu mudahnya mereka terpedaya dan menyerahkan dirinya secara suka rela pada seorang Elang. Kemudian menjadi bangga karena telah dipilih—untuk jadi mangsanya. Padahal belum tentu Elang masih mengingat mereka setelahnya. Dan ini yang terjadi pada sahabatku sendiri, Ruth.
Teoriku terbukti ketika kulihat Elang dan kelompoknya mendekat ke arah para penggosip itu tanpa mengindahkan mereka—bahkan dilirik pun tidak! Aku berdecak melihatnya dan memalingkan wajahku tetap ke loker.
"Ki—rei." Sebuah suara berdesis di belakangku ketika kelompok cowok popular itu melewatiku. Aku menelan ludah sembari memutar tubuhku perlahan dan mendapatinya sedang menatapku dengan seringaiannya sambil berjalan.
Cowok aneh.
Eh tapi kenapa ia mengingat namaku? Lalu kenapa aku jadi salah tingkah begini kalau cowok itu baru saja menyebut namaku tadi? Aku bergidik ngeri sembari menaikkan bahuku. Namun hal tadi sempat membuatku membayangkan profilnya yang memang sangat sempurna, rambutnya berwarna cokelat tebal senada dengan manik matanya yang berwarna cokelat terang, bibirnya tidak tebal dan tidak tipis juga tapi terlihat s*****l, hidungnya tinggi sangat pas bertengger di wajahnya yang agak oval, yang paling menarik perhatian adalah dua lubang pada kedua pipinya—yang mungkin terlihat semakin dalam bila ia tersenyum, sayangnya aku belum pernah melihat dia tersenyum.
"Heh, Rei!"
Suara Ruth mengejutkan sekaligus menyadarkanku dari lamunan tentang sosok cowok menyebalkan itu. Tapi sekarang jantungku malah berdegup keras tanpa alasan yang jelas saat melihat sahabatku. "Hai, Ruth...," jawabku sedikit gugup.
Aku meraih pundaknya dan mengajaknya ke kelas. Sambil berjalan aku menceritakan apa yang terjadi denganku di tempatku bekerja. Raut wajahnya sedikit berubah. "Kalau begitu kamu harus cari tempat lain lagi dong, Rei?" tanyanya.
Aku mengangguk, "Awalnya begitu, tapi Mas Leo berhasil meyakinkanku untuk tetap bekerja di sana, Ruth. Toh memang Elang jarang sekali datang ke cafenya itu," dalihku, "mungkin dia hanya datang seminggu sekali...."
Ruth menghentikan langkahnya dan menatapku curiga, "Rei, kamu enggak suka sama Elang, kan?" tanyanya.
Dengan cepat aku menggeleng, padahal dalam hati aku masih membayangkan lesung pipi Elang bila ia tersenyum. “Mana mungkin Ruth,” kelitku.
Kemudian sekelompok penggosip tadi melewati kami—masih dengan suara yang berisik, "Kalau kamu kemarin sempat diapa-apain sama Elang, kamu pasti masuk kelompok itu Ruth," selorohku. Ruth memalingkan wajahnya ke arah mereka. Dan aku melanjutkan, "sepertinya mereka itu tergabung dalam komunitas ‘mangsanya Elang’."
Ruth terkekeh pendek, "Tapi tetap saja banyak cewek yang mau sama Elang, Rei," sahutnya sambil dagunya mengarah ke kelompok tadi. “Termasuk aku....”
Aku berdecak sembari memukul bahunya, "Ya, aku heran dengan kalian semua."
"Rasa bibir Elang masih terasa di sini Rei," ujar Ruth terdengar nelangsa sambil menunjuk bibirnya.
Sontak saja otakku melayang pada saat mataku menangkap adegan mereka berciuman dengan hot-nya di balik dinding pembatas loker.
Lidahku kelu tidak tahu harus berkata apa lagi.
Kudorong pintu kelas yang tertutup dengan sangat pelan, beruntung Dosennya belum datang. Aku dan Ruth menuju kursi di bagian yang kosong—tengah. Lalu Dosennya datang tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan. Satu jam kemudian pintu ruangan terdorong lagi dan terbuka lebar, masuklah Elang seorang diri.
Sang dosen—Pak Rusli, melirik ke arah jam ditangannya, "Apa kau tahu jam berapa sekarang Langit? Atau setidaknya kau tahu cara mengetuk pintu!" tegurnya.
Elang melihat jamnya dan mengangguk, tapi ia tetap berjalan santai menuju kursi belakang. Mata Pak Rusli membesar sempurna sambil geleng-geleng kepala. Elang duduk di kursi belakang bergabung dengan teman-temannya. Selalu ada bisik-bisik dari beberapa gadis yang dilewatinya. Termasuk Ruth yang ada di sebelahku. Ia terus membisikkan betapa sempurnanya Elang sebagai laki-laki dan menurutnya Elang adalah great-great-great kisser, walau Elang sudah menghina cara ciumannya, namun kelihatannya ia tidak peduli. Sakit hatinya seolah menguap begitu saja bila melihat laki-laki itu.
Satu jam berikutnya berlalu dan tiba-tiba Ruth bertanya padaku, "Menurut kamu, aku perlu bicara lagi dengannya enggak, Rei?"
Aku menoleh ke arahnya sembari menggeleng, "Dia enggak menghargai kamu, Ruth," sahutku datar.
"Kalau saja aku boleh bekerja, aku pengin juga kerja di cafe Elang, Rei. Kamu beruntung," ungkapnya. "Tapi please, jangan sampai kamu jatuh cinta sama Elang ya, Rei," tambahnya dengan ekspresi memohon.
Aku mencubit pipi sahabatku itu, "Ruth sayang, itu hal yang mustahil. Aku kan sudah bilang cowok itu malah ingin langsung memecatku ketika dia tahu kalau aku adalah pegawainya. Aku—enggak—mungkin—jatuh—cinta—sama—cowok—itu!” tegasku. “Lagi pula Elang juga enggak mungkin mendekati perempuan yang sudah nampar dia, kan?" sahutku sembari terkekeh ringan, "aku bisa lihat dia itu benci sekali melihatku, Ruth," tambahku.
Ruth mengernyitkan dahinya, "Ehm—iya juga sih," selorohnya sambil tertawa ringan.
Kami berdua menertawakan suatu hal yang mungkin bertolak belakang dengan hati kami masing-masing. Jantungku kembali berdegup ketika mengingat kembali suara teguran Elang tadi pagi.
Ia menyebut namaku dengan benar. Dan aku merasa senang karena ia mengingat namaku dibanding Ruth yang bahkan sudah berciuman dengannya. Eh perasaan apa ini?
Kenapa aku harus merasa seperti ini?
***
"BRUGH!!"
Aku meringis kesakitan ketika rasa sakit di tulang ekor bagian belakangku mendera. Bokongku baru saja berciuman dengan aspal karena pengendara motor yang ugal-ugalan itu. Aku berdiri sembari memegangi bagian belakangku dan menatap si pengendara motor besar yang tidak melepas helmnya itu. Dia hanya membuka kacanya dan membuatku mendengkus kesal ke arahnya. Ya tentu saja Elang tidak akan menolongku, kalau perlu ia akan mendorongku lagi untuk memuaskan hatinya. "Heh! Lo punya mata enggak sih?" hardiknya marah.
Huh?
Mataku berputar dan menatap tajam ke arahnya, tidak peduli kalau dia adalah atasanku ditempatku bekerja. Bukankah dia yang hampir membuatku kehilangan nyawa? Harusnya dia meminta maaf, dan bukannya malah marah-marah.
Dasar orang aneh!
"Ini masih area kampus, kamu yang seharusnya hati-hati bawa motor! Enggak kebut-kebutan seperti itu!" semburku tidak mau kalah.
Dari tatapan matanya aku tahu ia menahan marahnya, kemudian ia menutup lagi kaca helmnya dengan gusar dan memacu motornya dengan kencang ke arah jalan raya. Aku menggeleng tidak percaya. Dia benar-benar tidak punya rasa empati sama sekali.
***