Punggung kurus Eko mulai menjauh dan semakin terlihat kecil. Berada pada antrean terdepan membuatnya melesat menjauhi kami. Tak terasa, tubuhnya tak lagi terlihat karena puncak gunung memang tinggal hitungan langkah.
“Woy, tunggu!” teriakku dari belakang.
Bukannya berhenti, dia justru mempercepat langkah. Aku menggeleng pelan, mendengar suara lantang yang begitu nyeleneh.
“Simboook!!!” Gema suara teriakannya terdengar begitu panjang. “Jangan lupa jemuranmu!!!” lanjutnya tak kalah ngawur.
Kami pun tak segan tertawa geli mendengarnya. Hampir saja aku lupa; di balik stamina dan mentalnya yang kuat, dia itu memiliki sifat kekanak-kanakan pada hal-hal tertentu.
“Hehe … aku yang sampai duluan!” gumam Eko, sembari mengacungkan jempol kurusnya kepadaku.
“Emangnya balapan?” cuekku.
“Iya, kowe curang! Kalau bilang, kan, aku juga pasti lebih cepat lagi jalannya,” sahut Marni.
“Salah sendiri jalannya lambat!” sangkal Eko.
“Udah-udah. Lihat ke bawah, tuh!” leraiku.
Malah ngeributin hal yang ndak penting, pikirku. Aku menggeleng, telunjukku kuarahkan menuju desa, jauh di bawah sana. Mata mereka tampak berbinar. Menghargai usaha sendiri memang terasa memuaskan. Desa-desa yang kami lalui, jalanan terjal yang kami lewati, perjalanan panjang penuh keringat kami akhirnya berakhir. Lelah dan penat seakan terbayar lunas oleh pemandangan menakjubkan tersebut. Udara sepoi dan perasaan lega inilah yang kami nanti sedari tadi. Tubuh kurus Eko terlihat paling puas. Sembari menghadap ke arah kami dari sebuah dataran luas di puncak gunung. Matanya tampak paling bersinar.
Tunggu dulu, dataran? Di puncak gunung? Ya, aku tak salah sebut. Ada sebuah dataran luas menyerupai lapangan bola di puncak Gunung Sindoro. Tempat yang juga merupakan spot favorit untuk berkemah bagi para pendaki seperti kami tersebut, memanglah daya tarik gunung yang tak terlalu populer di kalangan pendaki itu. Kami pun, mulai gelesehan melegakan tubuh.
Namun, perasaan sentimentil kami tak ditanggapi sama oleh Ilham. Dia tampak tak senang, dan segera menurunkan tas punggungnya. Suara desah menyedihkan mengiringi rebahnya tubuh gempal itu begitu saja.
“Dasar kampungan!” Tak lantang, tapi jelas. Celetuk pedas yang keluar dari mulut keringnya mengagetkan kami.
“Berani-beraninya dia ngomong! Apa harga cermin sekarang mahal?” Eko membalasnya tak kalah tegas.
Kuping Ilham yang panas, memerah seketika. Dia segera bangkit dan bergegas mengejar Eko.
“Maksudmu apa?!” Ilham melotot lebar dan membusungkan dadanya.
Eko yang juga terpancing tak terlihat gentar. Dia balas membelalakkan mata dengan wajah tengilnya yang mengesalkan. Tatapan keduanya yang tak lagi tenang memaksaku turun tangan.
Kurentangkan kedua tangan lebar-lebar. d**a mereka yang berada dalam jangkauan tanganku segera terbelah, menyerupai mobil ambulans yang menerobos kemacetan.
“Slow Ham, slow!” tenangku seraya menepuknepuk dadanya.
Eko menatapku tajam. Wajahnya terlihat murka. Alisnya yang turun-naik membuat keningnya semakin menciut.
“Sejak kapan kowe temenan sama dia?!” bentak Eko.
Ketenangan Eko benar-benar diuji. Aku yang tak berniat buruk, bahkan ikut mendapat semprot darinya.
“Di sini semuanya teman!” Jawaban asalasalanku hanya membuatnya semakin geram.
Sejenak dia mengepalkan tangan sebelum berkata, “Yowes!” Kemudian pergi menjauh, sementara Ilham masih mencoba mengintervensi.
Dengan sigap, aku segera menahan dan menghadangnya. Ilham tampak tak senang dan memelototiku dengan bengis. Dia juga menepis tangan kiriku dengan kasar. Tentu saja aku tak membalasnya. Tak ada gunanya juga mencelup tanah ke dalam air yang sudah keruh. Aku hanya mencembungkan bibir dan mengangkat alis kiriku. Isyarat tegas bahwa aku tak takut dengan gertakannya membuatnya mundur dengan wajah kecewa. Bahkan, Marni dan Jumi ikut tegang menyaksikan pertikaian tersebut. Aku hanya bisa tersenyum kecut, meski niatan menenangkan sudah di ujung tenggorokan.
Pokoknya, kutenangkan dulu Si Eko, pikiranku begitu fokus pada satu hal. Itu membuatku bergegas.
Eko duduk di pojok kanan sambil menggelar lintingan kesukaannya.
“Enggak kau gendong saja sekalian, temanmu itu?!” Nada ketusnya mengagetkanku.
Aku hanya mengangkat bahu dan menghela napas. Bagai memberi kejutan lain, dia segera menunjuk ke sebuah tempat di bawah kami. Sudutnya mengatur wajah, terasa janggal. Jelas sekali, bahwa dia tengah mencoba menyembunyikan tampang dongkol.
“Itu rumahnya, kan?” ucapnya, kemudian mengambil secuil kemenyan lalu menghaluskannya.
“Yang putih, ya?” Sembari ikut duduk, aku menjawabnya. Rumahnya sebenarnya tak terlihat jelas. Namun aku mencoba membuatnya lebih tenang.
Apa pun, yang penting dia bisa tenang, pikirku. “Orang kaya itu enak, ya?” Mendengar ocehannya, sejenak aku menoleh.
Tentunya, dia tak serius mengucap hal tersebut. Dia bahkan berusaha menutupi perkataan tersebut dengan menggeleng kecil. Wajahnya pun langsung tertunduk. Pura-pura kesulitan menggulung lintingan yang telah selesai dia bumbui, dengan tampang murung.
“Mungkin? Rumahku saja sampai ketutupan. Cuman kebun belakang rumah saja yang bisa kelihatan dari sini,” jawabku.
“Rumahku malah enggak kelihatan!” Sambil membakar lintingan itu, dia menjawabnya dengan nada sinis.
Kutatap ekspresi kelabu pada wajah gelapnya yang semakin tak sedap dipandang. Sembari menyelonjorkan kaki di atas tanah, aku berkelakar ringan, “Memangnya, kowe punya rumah?” lalu mengeluarkan sebuah lintingan di dalam plastik wadah permen, dari dalam sakuku.
“Bul!” Asap mengepul jelas di sekitar wajahnya.
“Ngawur kowe!” Dia buru-buru menjawab, hingga nyaris terbatuk-batuk. Suaranya yang tenggelam itu, sedikit menggelitik gendang telingaku. “Uhuk-uhuk, uhuk!” Dia segera terdahak, dengan suara yang parau. Rembesan air mata yang terlihat begitu menyakitkan, terlukis di wajahnya yang memerah.
“Kan, itu rumah mbok-mu!” kelakarku lagi, sembari tertawa ringkas.
Dia terdiam kecil, menatapku tajam, kemudian ikut tertawa. Setelah membalasnya dengan senyum kecil, kami berdua semakin keras tertawa, dengan guyonan tak bergizi itu.
“Yuk, balik!” ajakku, sembari bangkit.
“Ya! Aku juga harus minta maaf kayaknya,” jawabnya.
“Aku ndak mau bantu, lho!” ancamku sembari tersenyum. Itulah mudahnya Eko. Kalau dinasehati, dia malah akan semakin keras kepala. Lebih baik biarkan dia merenung. Dia memiliki jiwa yang besar asalkan tak dipaksa buru-buru. Jika dipaksakan, efeknya justru sebaliknya.
“Siapa yang minta?!” pungkasnya, sembari merangkul pundak pegalku sehabis menggendong tas. Suasana hati yang baik ini pun, berhasil kujaga sampai di tempat peristirahatan. Namun di sana, Ilham sudah menunggu kami dengan berdiri tanpa berucap sepatah kata pun.
Entah apa yang dia pikirkan.
***
Hidup dalam lingkungan yang sama sejak SD, membuatku hafal betul dengan perangai dan tindak-tanduknya. Aku tak bemaksud menganggapnya prestasi. Namun, sikap kerasnya sebenarnya tak mudah diluluhkan. Berkelahi tanpa alasan jelaslah, menjahili adik kelaslah, sifat itu yang membuatnya bermasalah. Saling membantu membuat kami mampu menyelesaikan sekolah, walau jauh dari kata memuaskan. Hingga kini pun, kado bekas luka di pelipis kiriku dari Eko masih belum pudar.
Aku mendapatkannya ketika batu sebesar jeruk purut itu mendarat pelan di pelipis kiriku. Kala itu, Eko yang tak pernah menang berkelahi melawanku akhirnya hilang kesabaran.
Dilemparnya batu keras itu tak terlalu kencang dari jarak yang cukup jauh. Ya, namanya juga batu. Kencang atau pun pelan tetap saja tak sebanding dengan kulit manusia. Yang kuingat, darah menetes deras hingga mata kiriku tak dapat terbuka, tapi takdir berkata lain. Alih-alih semakin bermusuhan, kami justru menjadi sohib.
Dia begitu peduli terhadapku. Kehidupan sekolah bahkan tak pernah kami lalui tanpa kebersamaan. Tak berlebihan rasanya jika menyebut, aku orang kedua yang akan dia dengar setelah ibunya. Pasalnya, ayahnya sudah berpulang sejak dia kecil. Dia juga memiliki hubungan yang buruk dengan keluarganya yang lain. Itulah yang menyebabkannya punya sifat keras.
Tiba-tiba, Ilham berjalan mendekat dengan wajah tertunduk. Bukan wajahnya yang membuatku kaget, melainkan tangannya yang terulur. Aku nyaris tak pernah melihat Ilham meminta maaf secepat ini. Selain itu, Jumi juga terlihat mesam-mesem geli. Marni memang tak banyak bergerak, dia hanya mengamati sambil memasang wajah kesal. Aku menggeleng melihat Ilham menggerakkan tangannya minta disambut.
Terdorong rasa penasaran, kuteliti lagi wajah bulat tertunduk Ilham. Terlihat telinga kecil yang begitu kontras dengan tubuh gempalnya itu sudah memerah. Pantesan, pikirku sembari menoleh kecil kepada Marni.
“So … sori, Ko!” Tak tulus, tetapi terdengar pasrah. Ilham memaksakan diri meminta maaf dengan raut wajah yang jauh dari kata menyesal.
“Ndak apa-apa!” Eko meraih tangan besar Ilham, hingga terlihat tumpang-tindih.
Apapun, melihat usaha Ilham berbaikan merupakan hal baik. Suara gemerisik serangga gunung juga sudah terdengar semakin nyaring. Udara sore pegunungan yang dingin, membuat kami tak bisa terus-terusan bersantai. Terpal bakal tenda masih terbungkus rapi. Sadar tak akan ada hal baik jika kami terus bermalasmalasan, membuat tanganku meraih barang bawaan. Kuperiksa barang-barang tersebut lalu menatanya ulang. Setelah itu, aku segera meminta mereka untuk berkumpul.
“Perlengkapan sudah dicek semuanya, dan ndak ada barang bawaan yang ketinggalan. Mulai dari terpal, cadangan makanan, karung, semua pokoknyalah. Dan berhubung waktu sebentar lagi siang, kita istirahat dulu sejenak.” Briefing asalasalanku tampak membuat mereka pakem. Itu memantapkanku untuk lanjut. “Setelah ini, para gadis mencari kayu bakar. Tenda biar aku dan Eko yang urus,” lanjutku. Pembagian tanggung jawab ini membuat wajah mereka berganti kecewa. Apalagi Ilham. Dia tampak paling gelisah. Tingkahnya celingukan membuatku tak tahan untuk bertanya, “Kenapa, Ham?” “Ee, tugasku apa?” tanyanya.
“Hah?!” Aku menatap Eko dan pemuda kurus itu mengendikkan bahu. Sejenak kami saling tatap sebelum aku mengambil inisiatif.
“Anu, kamu cari saja empat kayu panjang.
Besar-kecil ndak masalah,” ucapku.
“Itu saja?” remeh Ilham.
“Kalau sudah dapat, kamu bebas,” ucapku.
“Yowes!” pungkasnya, sebelum bergegas pergi.
Aku menggeleng. Pemandangan ini rasanya masih janggal. Ilham itu tak suka disuruh-suruh. Melihat pemuda gempal itu berlapang d**a, rasanya masih seperti bohong.
“Kesambet sawan celeng, kayaknya tuh bocah!” kelakar Eko.
“Hus! Kalau orang mau baik, jangan dijelek-jelekkan!” ingatku.
Kami meneruskan pekerjaan kami masingmasing, menggali tanah kira-kira setengah meter lebih. Kami memberinya jarak sekitar dua meter ke arah barat, yang nantinya kami jadikan pondasi tiang. Setelah itu, kami mengambil tiga buah bambu yang sudah kami persiapkan. Lebih tepatnya, kami menyembunyikannya sejak tahun lalu. Ujung atas dua bambu sudah terpotong membentuk setengah lingkaran. Pangkal bawahnya juga kami runcingkan. Dua buah bambu tersebut merupakan bakal tiang, sementara yang satu lebih kecil. Namun, begitu panjang.
Setelah merakit tiang, kami kemudian menggelar terpal di atasnya. Ujung-ujung terpal kami tarik dengan tambang, lalu kami hubungkan pada pasak sederhana yang terbuat dari kayu. Sekarang, sudah jadi seperti tenda pada umumnya, hanya saja bagian depan dan belakang masih kosong melompong.
Bukan berarti kami membiarkannya begitu saja, kami hanya tinggal menunggu Ilham kembali. Menyobek beberapa karung, menancapkan kayu-kayu yang dia bawa. Lalu memasangkan sobekan-sobekan karung tersebut, supaya lubang tersebut tertutup rapat. Maklum, keterbatasan material mengharuskan kami berimprovisasi.
Pencarian kayu bakar dan pemasangan tenda berjalan lancar. Ilham berhasil mendapatkan keempat kayu yang kumaksud, hingga pemasangan bisa berjalan lancar. Para gadis juga melakukan tugas dengan memuaskan. Kayu-kayu yang mereka bawa lebih dari cukup untuk setidaknya menghangatkan diri selama dua malam. Setelah bekerja seharian, kami melepas penat dengan bermain bola.
Bola? Ya, bola sepak. Dataran luas itu sangat cocok digunakan sebagai lapangan. Rumput di sana pun tak kalah mewah dengan stadion sepak bola. Apalagi, terdapat sebuah bola plastik yang Eko sembunyikan bersama bambu-bambu tadi. Sebenarnya, kami menggunakannya sebagai penanda agar bambu tadi mudah ditemukan. Tak kusangka, bola yang kupungut dari rumah tetangga itu bisa berguna hari itu.
Kami memainkan sebuah permainan yang kami sebut “kucingan”. Permainan passing di mana kami harus terus mengoper bola sambil menghindari kejaran satu orang yang berjaga. Kucing, sendiri diambil dari istilah “ngucingi”, yang berarti mengelabuhi. Ini merujuk pada teknik menggiring dalam sepak bola yang identik dengan mengelabui.
Namun, permainan sendiri terasa membosankan. Pasalnya, permainan hanya berkutat pada Marni, yang memiliki skill paling buruk. Sudah pasti dia menjadi bulan-bulanan. Bahkan, hanya Jumi yang terus serius, dan menikmati permainan. Dia bahkan, tak pernah jaga.
Hal itu disadari Ilham yang kebetulan, kebagian jaga. Dia sengaja mengincar Jumi karena penasaran. Meskipun selalu dipecundangi dengan skill-skill ciamik yang Jumi perlihatkan, Ilham tampak tak putus asa. Jumi pun demikian, dia semakin bersemangat, dan tak membiarkan Ilham mengambil bola dengan mudah.
“Awas kamu!” Belum mulai saja, Ilham sudah memprovokasi Jumi.
Tak seperti bualan besarnya, Jumi berhasil mengolong Ilham dengan skill backheels memukau, dan melewatinya dengan mudah. Kami semua hanya bisa takjub, sementara Ilham kian kesal.
Dia segera berbalik, dan menabrak Jumi yang sudah melewatinya beberapa langkah. Jumi yang terkejut tak mampu menahan beban tubuhnya. Dia pun menendang bola dengan asal, sebelum tergelincir menuju ke arah tebing. Untung, aku segera berlari menahannya. Ilham mungkin berhasil merebut bola, tetapi caranya benarbenar salah.
Untungnya tanganku cekatan. Aku berhasil menggenggam tangan kirinya, dan menariknya kembali ke atas.
“Kamu ndak apa-apa, Jum?” tanyaku.
“Mas Amat ganteng.” Pelan, tapi jelas sekali kudengar dia menggumam.
“Siapa yang ganteng, Jum?” tanyaku, memastikan.
“Enggak, kok! Jumi enggak bilang ganteng! Jumi bilang ... mateng. Ya, mateng!” sangkalnya. “Mateng? Emangnya mukaku kaya telur rebus?” Jumi seperti benar-benar membayangkannya kemudian tertawa.
“Mas Amat lucu,” sahut Eko dengan suara gemulai yang dibuat-buat.
Marni dan Jumi segera tertawa, sementara Ilham tampak terkejut.
“Diem kowe, wadah terasi!” bentakku.
“Ih, Mas Amat galak,” goda Eko.
“Ngomong sekali lagi, tak sigar lambemu!” bentakku.
“Sadis amat, kon?” protesnya.
“Kamu ndak apa-apa, Jum?” tanya Ilham.
“Ndak, kok Ham. Santai saja!” jawab Jumi.
Dengan jatuhnya bola, permainan terpaksa kami hentikan. Lagi pula, orang tak waras mana yang mau main bola di tempat tanpa pagar pembatas itu, selain kami.