Tiga

1126 Words
"Seharusnya kamu tidak semudah itu membiarkan seseorang masuk ke kehidupan kita, Sugar." Wijat melingkarkan tangannya di pinggang Hastuti. Bibirnya menyasar leher Hastuti dan membuat perempuan yang sedang berkutat dengan pinggan dan spatula itu menggeliat geli. "Aku lagi masak, Wi." "Memangnya kenapa?" tanyanya sambil memutar tubuh Hastuti hingga menghadap ke arahnya. "Aku suka aromamu yang bercampur rempah-rempah. Dan ..., " Wijat menghirup aroma rambut Hastuti, "lemon?" Hastuti terkikik. Dilingkarkannya tangannya ke leher Wijat. Satu kakinya mengepit pinggul Wijat. Dengan satu hentakan, tubuhnya bergelayut di tubuh Wijat seperti bayi simpanse. Kini posisi kepalanya di atas kepala Wijat. Hastuti membuat Wijat mendongak untuk beradu bibir dengannya. "I love you, Sugar." "I love you too, Honey." Keduanya tenggelam dalam ciuman yang panjang dan dalam. Hingga akhirnya Wijat tak kuat menahan beban Hastuti dan merebahkan Hastuti di atas meja dapur. "Lagi? Tadi malam, kan sudah." Hastuti menggoda Wijat sambil melingkarkan kakinya lebih erat. Roknya terbuka hingga pangkal paha. "Apa semalam aku terlihat puas?" "Mmm, kamu mengejang. Lalu mendesah panjang. Itu artinya apa?" "Artinya aku kesal karena harus berakhir. Aku selalu dan selalu ingin mengintimidasimu, Sugar." Wijat menghentikan protesan yang akan keluar dari mulut Hastuti dengan lumatan-lumatan kasar di bibirnya. "s**t! Aku lupa matiin kompor!" teriak Hastuti panik saat aroma gosong merebak. Buru-buru disingkirkannya Wijat dari atas tubuhnya. Dia memandang kesal pada warna hitam di pinggan yang tadinya berupa irisan-irisan daging, bawang Bombay, dan paprika. "Aku tidak pernah suka paprika," kata Wijat sambil memandang ke dalam pinggan. "Jangan konyol! Ini menu makan siang kita. Dan sekarang hanya ada kentang tumbuk untuk makan." Hastuti mengerucutkan bibir. Spatula masih tergenggam di tangannya. "Hei, aku tidak keberatan hanya makan kentang tumbuk. Jika kamu mau kita bisa beli makan di kafe sebelah kios Charlotte. Schnitzel di sana enak sekali." Wijat mengusap pipi Hastuti dengan ibu jarinya. "Kita tidak bisa selalu makan di luar, Wi. Keuangan kita terbatas. Kita belum punya pemasukan lagi dan ..., entah sampai kapan kita akan di sini." Hastuti duduk di salah satu kursi yang tadi disingkirkan Wijat. Dia meletakkan spatula di atas meja dan menyandarkan tubuhnya. Wijat mendekati Hastuti dan membelai rambutnya dengan sayang. "Aku ingin pulang. Aku rindu Jakarta. Suasananya. Udaranya. Makanannya. Hhh." Hastuti mendesah. Bibirnya menyungging senyum separuh. "Bahkan aku rindu kemacetannya." Hastuti tertawa getir. Matanya beradu pandang dengan Wijat. "Kita pulang saja, ya, Wi." "Tik ..., aku--" Belum sempat Wijat menyelesaikan kalimatnya, tangisan balita terdengar meraung dari kamar. Hastuti tergopoh-gopoh berlari sebelum tangisan itu semakin keras. "Jadi itu alasanmu membantu mahasiswa yang mencari alamat tadi?" Wijat memperhatikan Hastuti yang memberi s**u dalam botol pada Eugene Jr. Hastuti mengangguk menanggapi pertanyaan Wijat. "Logatnya Jakarta banget. Dan meskipun penampilannya kebule-bulean, aku mengenali sosoknya yang Indonesia banget. Dia mengingatkan aku sewaktu awal bekerja di Jakarta. Sewaktu pertama kali mengenal Mar--" "Sudahlah. Aku tidak mau mendengar bagian itu. Karena nama itu kita jadi terdampar di sini, Tik. Dan kita belum juga mendapat kekebalan politik." "Dia sudah di penjara, Wi. Kamu dengar, kan beritanya? Kita bisa pulang. Kita tidak perlu lagi minta suaka. Aku cape lari terus-terusan, Wi. Aku ingin menetap. Dan menghabiskan masa tua denganmu." Hastuti mencabut dot kosong dari mulut Eugene Jr. Menggantinya dengan n****e sinetis dan meletakkan bayi itu di lantai agar dia bebas merangkak dan bermain. "Aku ingin punya anak jika masih bisa," katanya sendu sambil memandangi baby Eugene yang mengayunkan krincingan di tangannya. Bunyi dentingnya mengingatkan Hastuti pada satu masa yang tertutup kabut. Dia memegangi kepalanya yang sedikit berdenyut. "Sakit kepala lagi?" Wijat mengulurkan tangan dan memijat lembut pelipisnya. "Sedikit. Mungkin kelelahan." "Harusnya kamu tidak perlu menyanggupi tawaran Eugene untuk mengasuh anaknya." "Tidak bisa. Dia sudah begitu baik kepada kita. Selain itu, kita membutuhkan uangnya, Wi." "Aku bisa bekerja." "Jangan bodoh. Bahasa Inggrismu kacau. Dan tidak ada tempat yang mau mempekerjakan pelarian seperti kita." Lagi-lagi Hastuti tertawa getir. "Kita akan melalui ini bersama, Tik. Kita akan baik-baik saja." Wijat memeluk tubuh Hastuti. Membiarkan kehangatan mengaliri mereka berdua. Seperti kehangatan malam-malam dingin yang selama ini menguatkan mereka. Melihat dua orang yang mengasuhnya berpelukan, baby Eugene merangkak cepat. Tangannya menggapai-gapai pada Hastuti minta di gendong. Hastuti melepaskan pelukan Wijat dan mengangkat baby Eugene ke dalam gendongannya. Menciumi bayi Eugene dan Charlotte dengan penuh sayang. Perasaan yang dulu sangat dihindarinya. ~o0o~ Setelah mengayuh kira-kira dua blok, Zea menghentikan laju sepedanya dan menyurukkannya di depan sebuah kafe. Dengan terengah-engah dan air mata yang hampir menetes, dia memasuki kafe lalu memesan segelas still mineral water dingin. Zea meneguknya hingga langsung habis. Dan memesan lagi segelas. Dia duduk di sudut ruangan sambil membalik-balikkan menu. Tidak sopan rasanya memasuki sebuah kafe tapi hanya memesan air putih saja. Lagipula hanya pada saat makan siang inilah bisa menikmati masakan hangat yang betul-betul dimasak. Tidak seperti sarapan dan makan malam yang biasanya hanya berupa 'makanan dingin'. Dia tidak terlalu lapar, jadi dia memutuskan hanya memesan sepiring pommes mit ketchup. Sambil menunggu pesanannya, Zea mengenang kembali pertemuannya dengan Hastuti. Dia tidak menyangka jika perjumpaan mereka bisa begitu menguras emosinya. Sejak tadi Zea berusaha menahan agar dia tidak menghambur ke pelukan Hastuti dan menceritakan segala sesuatu yang dia ketahui. Tapi itu tidak mungkin. Sangat tidak mungkin untuk saat ini. Bagaimana tidak? Hastuti adalah targetnya untuk dilenyapkan. Dan semakin hari dia menunda waktu pelenyapan itu, semakin dia tidak bisa melakukannya. Ada apa denganku? Ini bukan aku. Ini tidak biasa. Apa karena aku tahu cerita mereka yang sesungguhnya? Zea menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah. Pesanannya datang dan dia segera mengambil sebuah kentang goreng dan mencocolnya pada saus. Hambar. Tidak ada yang salah dengan kentang gorengnya. Hatinya yang hambar. Harinya juga hambar. Dia tidak bisa melakukan ini. Melenyapkan Hastuti dan mengirimnya pulang tanpa nyawa. Tidak! Tidak! Dia tidak akan tega. Setelah tekadnya untuk mencari dan menemukan, lalu akan dia lenyapkan begitu saja? Tidak! Zea pun membuka tabletnya dan mengirimkan sebuah surel. Aku tidak bisa melakukannya. Kirim saja orang lain. Besok dia memutuskan akan meninggalkan Jerman dan menghilang untuk beberapa waktu. Dia butuh menenangkan pikirannya. Dia juga harus mengatur strategi agar bisa menemui Hastuti dan mengatakan kebenarannya. Zea memandang keluar kafe. Ke arah sepedanya yang terpakir asal di depan kafe. Sore ini dia akan mengembalikan sepeda itu dan mengucapkan terima kasih. Mungkin sedikit pelukan tanda perpisahan dan janji akan menemuinya kembali. Kapan? Entah kapan. Sebuah pesan masuk ke surelnya. Tidak bisa dibatalkan. Lakukan! Atau kamu yang lenyap! Zea merinding membaca kata-kata dalam surel tersebut. Dia memang belum pernah menolak tugas dan belum pernah sekalipun gagal. Wajar jika mereka marah karena dia menolak. Tapi sebuah lonceng berbunyi jauh di dalam kepalanya. Semacam alarm tanda bahaya yang selalu timbul jika ada hal-hal yang tidak beres. Mereka mengetahui siapa dia. Siapa aku. Dan hubungan kami. Jika aku diburu. Dia juga. Kami tidak aman. Buru-buru Zea membayar makanannya dan mengayuh sepedanya ke arah tadi dia datang. Dia harus segera melakukan perjalanan lagi. Dan kali ini dia tidak sendirian.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD