3 ~ Kisah Lama

1761 Words
◍•◍•✿•◍•◍❤◍•◍•✿•◍•◍ “Aku juga belum sholat maghrib, boleh sekalian numpang sholat?” tanya Ferdi pelan. “Hmm... kamu sholat dikamar tamu ya, aku dikamar Khai.” jawab Maisha langsung masuk ke kamar Khai, setelah sebelumnya menyiapkan sajadah dikamar tamu dan sandal rumah untuk digunakan setelah wudhu didepan kamar mandi. Beberapa saat Maisha menikmati sujudnya, entah apa yang dirasakan hatinya kini hingga tiba-tiba meneteskan butiran bening disudut matanya. Dia sendiri bingung dengan mood swing yang dialaminya sejak pertemuannya dengan Ferdian sore tadi. Perempuan mania itu masih terisak beberapa saat setelah doa panjangnya, sambil menekan-nekan ujung hidung yang mulai memerah, Maisha mencoba memahami apa yang dialami hatinya saat ini, merindukan seseorang kah? atau pendamping lebih tepatnya. Tanpa ia sadari seseorang dari balik pintu kamar memperhatikan tubuhnya yang sedikit bergetar karna tangis. Ferdian hanya bergeming melihat pemandangan pilu didepannya tanpa mampu berkata-kata. Selesai sholat, Maisha segera bangkit begitu teringat masih ada Ferdian dirumahnya, ia langsung keluar kamar tanpa melepas mukenah. Dan ternyata Ferdian sudah duduk manis di sofa ruang tamunya berjejer rapi dengan miko, ciko dan ciki kucing kesayangannya. “Udah selesai?” tanya Ferdian begitu melihatnya keluar kamar, masih bisa ia lihat kedua matanya yang sembab karena tergerus air mata. “Sudah.” jawabnya singkat “Aku pamit ya, kamu istirahat aja, kayaknya capek banget.” “Hmmm... iya Fer, gak enak juga kalo dilihat tetangga nanti, tau sendirikan orang-orang gimana liat single parent kayak aku.” seloroh Maisha dengan sedikit tawa. “Yaudah bikin mereka enak aja liat kita.” senyum Ferdian mengekor setelah kalimatnya. ’Kita katanya.’ batin Maisha sambil menekan kuat d**a sebelah kirinya, takut lelaki didepannya menyadari degup jantungnya yang kian tak terkendali. “Hussh.... sana pulang, ntar dicari orang rumah baru tau rasa.” “Iya, telat gapapa kali, gak ada yang nyari juga. Ya sudah salam buat sikecil ya.” lirih Ferdian, hanya dibalas anggukan pelan Maisha . “Oh iya... simpan nomorku yang tadi Rum.” lanjutnya lagi sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya. Mereka berpisah didepan carport, setelah saling mengucap salam, begitu mobil Ferdian menjauh tanpa sadar Maisha melambaikan tangannya. ~ Ferdian POV ~ Rumaisha... Rumaisha.... Rumaisha Malik Adelia, masa sih Rumaisha yang itu?? Aku mengetuk-ngetukkan jemariku pada setir mobil, mencoba berfikir. Sudahlah.... jalan aja, siapa tau yang order ini ibunya, atau kakak-kakaknya, atau saudaranya atau siapa sajalah. Belasan tahun tak bertemu, kalaupun ini Rumaisha yang itu, si cinta pertamaku dulu, ya gak masalah dong, mungkin dia juga sudah sangat berubah, makin cantik mungkin. “Mbak Rumaisha, saya driver taxi online,” “.....” “Oke siap, ditunggu yaa, mobil saya warna putih” "....." Aku mendengarkan dengan seksama suara diujung sama, sambil mengingat-ingat bagaimana suara Rumaisha versiku dulu. Dan hanya butuh beberapa detik aku yakin bahwa itu adalah suara yang sama. Demi Tuhaaaan.... dia benar-benar Rumaisha ku yang itu. Mimpi apa aku semalam, sampai-sampai bisa jemput Rumaisha. Sepuluh menit setelah kututup panggilan telepon, aku sudah sampai di depan lobby mall terkemuka di kota kecil ini. Bisa kulihat jelas wanita dengan baju pink yang menggendong balitanya, disebelah kanan kirinya banyak tas besar belanjaan warna warni. Itu Rumaisha, ternyata benar tebakanku, dia makin cantik, auranya makiiiin, mmm... mematikan. Terutama saat menggendong anaknya yang gembul menggemaskan seperti itu, auranya jelas jauh berbeda dengan belasan tahun lalu saat kami terakhir bertemu. Dengan sigap aku keluar mobil, mencoba memasang senyum senormal mungkin padanya. “Rum, ternyata beneran kamu.” Dia tersenyum dan mengangguk pelan, senyum manis yang masih sama seperti dulu. Tidak... tidak... tidak... senyumnya yang sekarang makin membius juga. Tak begitu lama dia sudah duduk dikursi penumpang tepat di sebelahku, menuju rumahnya. Pertanyaan-pertanyaan ringan aku lontarkan agar suasana disekitar kami tak terlalu hening. Tapi yang paling membuatku menganga ketika dia menunduk saat mengatakan ‘DIVORCE’ saat aku menanyakan tentang suaminya. Bagai tersambar petir disiang bolong, kami bahkan hampir terpental karna kecerobohanku yang menginjak rem mendadak. “Fer, hati-hati.” ucapnya menyadarkan ku. Yaaa... aku hanya tak menyangka, wanita yang dulu aku cintai, ternyata punya cerita kelam terkait rumah tangganya, tak jauh beda denganku. Padahal aku berharap ia hidup bahagia dengan siapapun pria pilihannya. Tapi ternyata, itu hanya harapanku semata. Aku sempat mencuri-curi pandang padanya, namun ia hanya diam terpaku menatap lurus kedepan, sesekali tersenyum saat kulempar candaan-candaan receh, sengaja, demi melihat senyum dibibir mungilnya. Sesampai dirumahnya pun, entah apa yang merasuki pikiranku saat permintaanku numpang sholat dirumahnya terlontar begitu aja, ia hanya mengangguk dan memintaku sholat dikamar tamu. Padahal terbersit di pikiranku ingin menjadi imamnya. :) imam sholat... imam sholaattt....(˘⌣˘ ) ▪️▪️▪️ Sementara itu, Maisha melamun ditepian ranjang putranya sambil tersenyum menatap layar ponselnya. Baru saja ia menyimpan nomor Ferdian, dan langsung penasaran dengan foto profil w******p nya, tapi ternyata lelaki itu hanya memasang gambar hitam polos sebagai foto profil. Rum. Selama ini hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan sebutan itu. Dialah Ferdian, tapi entah kenapa lama kelamaan ia menyukai panggilan itu, ambigu siih, suka dengan panggilannya atau suka pada pemanggilnya. Maisha hanya tersenyum mengingat kenangan remajanya dulu. Sedari kecil Rumaisha biasa dipanggil Maisha oleh keluarganya, teman-temannya banyak yang memanggil Maisha atau Icha. Sampai saat kelas tiga SMP ia kenal dan dekat dengan Ferdian, yang sangat usil dan senang menggodanya dengan panggilan singkatnya, Rum. Sampai suatu hari Ferdian mengutarakan perasaannya yang lebih dari sekedar sahabat pada Maisha. Namun cinta monyetnya itu merenggang seiring waktu sampai mereka berpisah saat masuk bangku SMA. Ferdian melanjutkan di SMA favorit, sedangkan Maisha dipaksa keluarganya melanjutkan ke sekolah yang lain. Sebenarnya Maisha menolak mentah-mentah permintaan keluarganya tersebut, ia merengek untuk didaftarkan di SMA favorit juga, berharap masih bisa melihat Ferdian. Karena jujur, Maisha lah yang belum bisa move on dari lelaki itu. Sampai beberapa tahun Maisha masih kalut dengan perasaannya yang tak bisa berpaling dari Ferdian, bahkan disaat-saat tertentu ia nekat dan dengan percaya dirinya menitipkan salam lewat Dona, sahabatnya dimasa SMP yang satu kelas dengan Ferdian di SMA. “Don, gimana dong aku gak bisa lupain Ferdi.” curhatnya suatu hari. “Yaa... makanya buruan cari cowok, si Ferdi aja udah punya cewek sekarang, jangan mau kalah.” celoteh Dona santai. “Kamu kira aku gak laku-laku banget apa? itu si Adi sama Ilham udah beberapa kali nembak aku tauk, tapi akunya belum bisa membuka hati.” “Udahlah nek, lo lupain aja si Ferdian, tooh cinta monyet juga.” ketus Dona “Meski cinta monyet kek, cinta kuda kek, kadal, buaya, gorilla, kalo gak bisa lupain gimana dodol.” “Auk ah gelap cha, gue udah capek juga nyampein salam lo ke Ferdi, lain kali bayar kalo mau nitip-nitip.” Beberapa tahun berlalu, hingga saat pertengahan kuliah Maisha berani membuka hati untuk seorang Arga, ayah kandung Khaivaro sekaligus mantan suaminya. Sosok yang menurutnya sangat dewasa, tentu karna usia mereka yang terpaut enam tahun. Satu tahun perkenalan mereka, keluarga Arga datang untuk meminang Maisha dan tahun berikutnya setelah wisuda mereka melangsungkan pernikahan. Keluarga Arga tidak ingin menunda pernikahan, karna memang sudah cukup umur pada saat itu, apalagi adiknya juga sudah terlebih dahulu menikah dan dikaruniai seorang putri. Mereka melangsungkan pernikahan saat Arga 29 tahun dan Maisha belum genap 23 tahun. Beberapa bulan setelah menikah mereka memutuskan untuk pindah keluar kota, dirumah sendiri agar lebih dekat dengan kantor Arga. Mereka hidup cukup harmonis dan bahagia hingga dikaruniai seorang putra lucu, Khaivaro Arya. Sampai dua tahun setelah nya cobaan bertubi-tubi datang menghinggapi keluarga mereka. Adik bungsu Arga meninggal dalam kecelakaan kerja meninggalkan istri dan seorang putri seumuran dengan Khai. Selang beberapa bulan berikutnya ibunda Arga juga meninggal dunia karena sakit. Arga seperti orang kehilangan arah setelah kepergian adik dan ibunya dalam waktu berdekatan. Beberapa bulan setelah itu, arga berpamitan keluar kota menjenguk Keyra, istri dari almarhum Handi-adiknya. Karena putri mereka sudah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Maisha mengurungkan niatnya untuk ikut menjenguk karena dia sendiri sedang tidak sehat. Sepulang dari sana, perilaku Arga mulai aneh, makin sering melamun, sering mengabaikannya, sering berhari-hari tidak pulang karena urusan pekerjaan. Maisha masih mencoba memahaminya, mungkin suaminya bersikap demikian untuk menghilangkan kesedihannya. Sampai suatu hari, kabar mengejutkan itu tiba, Keyra dan ibunya datang kerumahnya. Maisha tentu saja sangat senang karena kedatangan adik iparnya itu. Mereka berdua sangat dekat karena memang usianya hanya terpaut satu tahun. Keyra langsung menerjang memeluk Maisha dengan erat dan menahan tangisnya, Maisha hanya mampu mengusap lembut punggungnya. “Sabar Key sabar, kamu pasti kuat demi anakmu.” Mendengar perkataan Maisha bukannya membuat Keyra tenang, namun tangisannya makin menjadi. Hingga ia terduduk bersimpuh, dihadapan Maisha. “Maafin aku mbak, maafin.” tangis Keyra meledak. “Kenapa? Tenang dulu, ceritain ada apa?” “Nak Maisha, ibu sama Keyra kesini mau menyampaikan sesuatu yang mungkin agak terburu-buru.”sambung ibu Keyra. “Kenapa bu, gapapa bicara aja bu, siapa tau Maisha bisa bantu.” “...” ibu Keyra makin gusar dan menggenggam erat tangan Maisha. “Maaf nak, karna gak meminta ijin sebelumnya, se-sebenarnya nak Arga dan Keyra kami nikahkan dua minggu yang lalu.” sambung ibunya. DEG...!! Maisha hanya mematung ditempat, ulu hatinya terlalu nyeri bagai disambar petir disiang hari, namun lagi-lagi Maisha hanya bisa diam. Ya, dia memang seseorang yang tak pandai mengekspresikan emosi, dan hanya memilih diam atau menangis seorang diri. Empat bulan setelah kabar pernikahan Keyra dan Arga, Maisha pulang ke rumah orang tuanya di Malang. Memohon ijin untuk berpisah dari suaminya dan mengurus percerainya. Jangan ditanya respon orang tuanya saat itu, Ayahnya langsung jatuh sakit dan ibunya tak henti-hentinya menangis, mengingat putri kesayangan mereka kini harus menyandang status janda. Apalagi Arga adalah menantu yang paling dibangga-banggakan selama ini dan tak menyangka akan mengkhianati putri mereka dengan tindakan seperti ini. Arga, hanya bisa memohon Maisha untuk bertahan dan memaafkannya, namun Maisha tetap pada pendiriannya untuk berpisah. Karna sebelum menikah ia hanya meminta Arga untuk setia dan menjadikannya wanita satu-satunya, tapi dengan mudah dikhianati Arga. “Aku memaafkanmu mas, dari dulu aku mengijinkanmu menikah lagi, tapi tolong jangan jadikan aku salah satu dari istrimu, sampai kapanpun aku gak bisa berbagi hal satu itu.” ucap Maisha terakhir kali pada Arga saat mereka bertemu dipengadilan agama. “Bun, tolong mengerti aku hanya menuruti wasiat alm. Handi untuk ‘menjaga’ Keyra dan anaknya.” sanggah Arga saat itu. Tapi Maisha tak menjawabnya lagi dan memiih berlalu pergi dengan mata memerah. ‘Menjaga mas, bukan menikahi’ batin Maisha. Sejak berakhirnya pernikahan Maisha dan Arga, ia memilih tinggal hanya dengan putranya dirumah yang diserahkan Arga untuk Khaivaro anaknya. Sedangkan Arga memilih tinggal di Surabaya dengan keluarga barunya. *Bersambung ( ˘ ³˘)♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD