Bab 2

1446 Words
Mobil bercorak hitam melaju di atas aspal. Kini Gio dan Arsya sudah berada dalam mobil menuju jalan pulang. "Ayah gak mau tau, kalau kamu sampai ngelakuin itu lagi, bertengkar di sekolah sampai bikin luka temen kamu sendiri, Ayah gak segan-segan supaya ngeluarin kamu dari sekolah itu," tegur Arsya sambil fokus pada ruas jalan. "Tapi aku benci mereka Ayah," Gio melipatkan tangannya di depan d**a. "Mereka selalu ganggu aku dan akhirnya ngeledek aku kalau aku ini gak punya Ibu." "Tapi Ayah gak pernah ngajarin kamu buat bertindak kasar. Ayah udah pernah sering bilang, jangan dengerin mereka. Emang kenapa kalau kamu gak punya Ibu? Kamu gak usah malu. Ibu kamu udah jelas-jelas meninggal, dia gak ninggalin kita." "Terus kalau gak ninggalin kenapa pergi?" "Itu semua udah diatur sama yang di atas," jawab Arsya tanpa beban. Ini semua memang sudah menjadi takdirnya. Ekspresi Gio kian menjadi sangat sedih. Dia rindu mamanya. "Aku kangen mama," ucap Gio yang mulai menangis. Sementara Arsya masih fokus menyetir, dia mengerti Gio. Dia selalu saja menangis, anak laki-lakinya itu memang sangat cengeng. Jadi Arsya tak pernah mengkhawatirkan itu. "Aku kangen mama. Aku kangen dipeluk sama mama. Aku kangen dianter ke sekolah sama mama. Aku kangen dibikinin s**u sama mama, aku kangen liat senyum mama, aku kangen belajar huruf sama mama, aku kangen mama Ayaaah," rengek Gio tanpa henti, tangisannya malah semakin kencang dan menjadi-jadi. Arsya tidak menghiraukannya, biarkan saja putranya itu menangis sampai dia benar-benar merasa lelah. "Aku pengen kaya yang lainnya, ditungguin sama mama di luar kelas sampai pulang, sama kaya waktu aku masih sekolah di taman kanak-kanak. Sekarang semuanya udah bedaaa," Gio mengelap air matanya dengan tangannya, tapi dia masih menangis terseguk-seguk. Dalam ulu hati Arsya yang paling dalam, dia tidak tega jika terus melihat Gio menangis seperti ini. Dia terlalu merindukan Riana yang tak akan pernah mungkin kembali. Arsya bungkam, dia tidak bisa menghentikan tangisan Gio. Ia mewajarkan ini, karena Gio masih sangat terlalu anak-anak. Semakin hari, sikap Gio menjadi berubah. Dia lebih sering menangis dan terpancing emosi di sekolahnya. Arsya sadar, ini terjadi karena kurangnya arahan pada Gio, ditambah Ibunya yang selalu memanjakan Gio. Setiap nenek selalu saja memperlakukan dengan sangat baik cucu mereka, itu sebabnya Gio kadang menjadi sangat manja. Arsya juga tidak bisa menahan Ibunya agar berhenti memanjakan anaknya. Yang ada, itu akan membuat Gio tertekan. Semuanya serasa serba salah. Arsya menidurkan Gio di atas ranjang kamarnya yang bermotif tokoh kartun Thomas and Friend. Pria itu membungkukkan badan lalu mengecup kening Gio beberapa saat. Dia membisikkan sesuatu agar Gio bisa beristirahat tenang dan bermimpi indah. Siapa tau Riana akan menghampirinya lewat mimpi, memberinya nasihat untuk tetap kuat. Memberinya kasih sayang walau dengan waktu yang tak lama. Semoga kejadian itu tidak akan terulang lagi. Arsya tak akan membiarkan Gio terlibat perkelahian lagi di sekolah. BLAM Pintu tertutup dengan sekali hentakan tangan. Arsya tiba di ruang TV, bersamaan dengan datangnya Pamannya, asistennya, pria yang selalu menemani Arsya kemanapun ia pergi, dia juga yang membantu Arsya dalam segala hal. "Paman," sapa Arsya tersenyum. Di tangan Paman, ada sepiring kue serabi. Kue yang manis dan enak itu adalah cemilan kesukaan Arsya. Cemilan yang selalu dibuatkan Riana untuk Arsya, jika ada waktu senggang, keduanya selalu makan kue itu bersama di ruang TV sambil menikmati tayangan sepak bola. Selalu ada tawa dan canda yang memenuhi rumah ini. Tapi sekarang, semuanya telah berubah dalam sekejap. Tak ada tawaan penuh kebahagiaan lagi yang tergambar di wajah Arsya. "Paman buatin ini buat kamu. Kamu makan dan habisin, paman tau, dari pagi kamu belum makan," Paman menyimpan makanan di tangannya di atas meja. "Buat apa paman repot-repot, aku bisa bikin sendiri dan aku juga bisa suruh pembantu," Arsya merasa tak enak. "Dengerin paman," ia menyimpan tangannya di kedua bahu Arsya, menyuruhnya untuk duduk. Arsya hanya menurutinya dan tak bisa berkutik. Keduanya duduk di kursi panjang yang sama. "Paman ngerti, semenjak kepergian Riana, kamu jarang berkomunikasi, kamu jarang makan, kamu jarang pergi ke kantor, kamu selalu berdiam diri di kamar. Selama ini, kamu selali nguatin Gio, tapi kamu sendiri? Paman liat, kamu masih larut dalam kesedihan kamu." Arsya terdiam, ia menyadari bahwa ucapan Paman Arya benar adanya. Semenjak istrinya pergi, dia seperti kehilangan sebagian semangat hidupnya. Namun Arsya yakin, kedepannya ia tak akan seperti ini. "Ini emang wajar Arsya, tapi Paman kasih saran, kamu lupain sementara Riana. Untuk itu, kamu bisa jalanin hidup kamu yang baru. Dan bukan berarti kamu lupain almarhum istri kamu, karena paman juga tau, dia gak akan pernah bisa hilang dari memori ataupun hati kamu." "Yaah, paman bener," Arsya membuka mulut. Paman memandang Arsya cemas, ia tahu, sekarang pria yang sudah dianggap menjadi anaknya sendiri itu pasti sedang terkena masalah. Ia tahu bahwa tadi pagi Gio lagi-lagi membuat ulah di sekolahnya. Dan salah satu pelayan di sini berkata bahwa Arsya sepertinya tengah bersedih, mungkin karena teringat sosok istrinya yang meninggal 5 bulan lalu. Itu sebabnya Paman berinisiatif untuk membuatkan makanan kesukaannya, agar dia terhibur. "Makasih Paman atas kuenya, nanti aku makan," Arsya mencoba melukiskan senyum di bibirnya. Senyum Paman juga ikut terbit, dia lega melihat Arsya yang mulai membuka dirinya lagi. Dulu dia tidak seperti ini, dia adalah pria yang hidupnya dipenuhi dengan tawa, karena dia mempunyai sifat yang kadang selalu humoris. Tiba-tiba terdengar hentakan sepasang kaki yang tengah berlari ke arah ruang TV. Seorang gadis dengan rambut agak keriting yang terurai, sedikit berwarna merah tiba dengan napas terengah-engah. Dia langsung menyambar makanan yang berada di atas meja dan memakannya dengan lahap. Arsya melongo melihat tindakan adiknya itu, begitupun dengan Paman. "Paman mana susunya?" tanyanya sambil mengunyah, mulutnya sudah dipenuhi kue itu. "Kamu kenapa? Kelaparan?" tanya Arsya tak mengerti, adiknya itu sudah seperti orang yang selesai lari maraton berhari-hari tanpa mengisi perut. Gadis yang bernama Ayumi itu duduk di kursi tanpa berhenti makan. "Kak Arsya tau gak, di kampus aku gak makan apa-apa. Kakak tau sendiri kan, kalo aku itu orangnya gampang lapar, jadi gini deh." "Emang uang jajan kamu kemana?" Paman beranjak dari duduknya meninggalkan kakak adik itu untuk membuatkan s**u untuk Ayumi. "Ilang, gak tau deh ada di mana!" jawab Ayumi heboh. "Pantes aja badan kamu itu gendut, pendek lagi," canda Arsya terkekeh pelan. "Aaah selalu aja bilang gitu," balas Ayumi sebal. Paman tiba dengan segelas air s**u, ia berikan menuman itu pada Ayumi, "Padahal kue itu paman buatin buat kakak kamu, tapi kamu malah habisin." "Maaf paman, hehe," Ayumi cengengesan. Dia pun menegak susunya. Paman hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan gadis muda itu. *** Matahari mulai menampakan semburat cahayanya. Kicauan burung terdengar beriringan di udara. Menandakan bahwa hari telah berganti, pagi baru telah menyapa. Manusia mulai menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Bagi pelajar, pergi ke sekolah, bagi karyawan pergi ke tempat kerja mereka, dan lain sebagainya. Clara yang masih keliling kota Jakarta belum juga mendapatkan pekerjaan. Dia hampir menyerah, tapi jika dia berhenti, dia juga tidak bisa pulang karena uang sakunya sudah menipis. Clara resah, dia berjongkok di sisi jalan, lagi-lagi tidak peduli dengan keadaan di sekitar. Dia jongkok seperti di tempat yang sepi dan tak ada satu orang pun di sana, padahal orang-orang mulai berlalu lalang. 'Hellow Clara, ini masih pagi! Kenapa udah males-malesan?!' Dunia seperti tengah mengejeknya seperti itu, begitulah yang terbesit dipikirannya sekarang. Gadis itu menautkan kedua tangannya dan mendongkak seolah tengah berdo'a. 'Ya Tuhan tolong kasih aku kerjaan, pliiiiiis,' pintanya dalam hati dengan wajah yang sangat memohon. "Pliiiiiissss.., pliissssssss....." tampangnya sangat mengerut. "Pliiiiiiii....." 'TIT TIT TIT....' Tiba-tiba suara klakson sebuah mobil membuat Clara terlonjak hebat, dia memekik kencang, matanya mengerjap. 'Tit... tiiitttt...' Clara kalang kabut dan kebingungan. Dia lantas berdiri, dilihatnya mobil mewah tengah berada tepat di depannya. Gadis itu membuka mulutnya, baru menyadari bahwa ia hampir saja tertabrak. 'Tiittt...tiiiiit' Lagi-lagi suara itu terdengar, Clara menutup kedua telinganya sebal tanpa beranjak dari tempatnya. Si pengemudi membuka kaca mobil dan menengok ke luar, melihat jelas-jelas gadis itu karena dia tak kunjung menyingkir dari sana. "Permisi, mobil saya mau lewat," teriak pria yang tak lain adalah Arsya. Clara melirik sebuah bangunan di sampingnya. Dia menyadari, berarti dia telah menghalangi mobil-mobil yang akan datang ke sana. Dia pun mengalah, melangkah ke samping seraya menghempaskan napas. Arsya kembali memasukan kepalanya ke dalam dan mulai melajukan mobilnya ke halaman kantornya. Dapat terdengar jelas suara deruan mobilnya, Clara memainkan bibirnya, kapan dia bisa naik mobil semewah itu? Ahh gadis itu lagi-lagi berkhayal seperti anak kecil, memalukan. Clara memandangi kantor di hadapannya itu dari atas sampai bawah sambil berpikir. Gadis itu sangat-sangat membutuhkan pekerjaan, siapa tahu ia bisa bekerja di tempat seperti ini. Dan akhirnya, dia menemukan sebuah petunjuk. Clara mengedipkan-ngedipkan kedua matanya, detik selanjutnya dia berlari mendekati pagar kantor itu dengan gerakan cepat. Perlahan, senyuman di wajahnya mulai mengembang, senyum sumeringah kini mendominasi wajahnya yang cantik. Akhirnyaaaaa. Apakah ini keajaiban yang datang di pagi hari?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD