CVC 12. Kepepet°

1406 Words
Ada penyebab kenapa sebuah lukisan bisa menyentuh perasaan orang yang melihatnya, karena sebuah karya seni dibuat atau diciptakan dengan penuh perasaan. Entah dari derita yang pernah dialaminya, kejadian yang membekas di benak, atau imajinasi terpendam, atau harapan yang amat sangat didambakan. Bagaimana sorot mata atau senyum tipis seseorang di sebuah potret bisa memukau masyarakat dunia. Bagaimana harga coretan- coretan tanpa bentuk yang jelas bisa dihargai sangat mahal, dicuri, disimpan di museum, dan diabadikan. Itulah sebuah seni. Berbeda dengan barang asal jadi, tiruan, atau hasil plagiasi. Harganya tidak akan mencapai nilai estetika sehingga disebut seni. Aaron tergegau ketika Cassandra tahu- tahu mengabaikannya. Gadis itu kembali menatap lukisannya sambil mengembuskan asap rokok ke permukaan lukisan bagai meniupkan nyawa ke benda itu. Aaron kembali ke sofa, memasang jubah satinnya dan duduk mengempas bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri. Ia merasa serba salah dengan tingkah Cassandra yang aneh. Agaknya pikiran seniman tidak sesederhana gadis biasa. Bagi Cassandra, melukis Aaron Sebastian adalah sebuah tantangan melawan nafsu berahi. Ia lebih perlu uangnya daripada tubuh pria itu. Meski begitu, lukisannya pun harus dikerjakan dengan kesungguhan. Demi penjiwaan, ia sempat memikirkan bahwa sosok Aaron inilah pria idamannya. Cinta sejatinya. Setelah lukisan itu selesai, tentu saja ia harus mengenyahkan obsesi palsu tersebut. Mata Cassandra menatap lukisan Aaron terbaring telanjang di atas sofa, mata hampa terbuka lebar dengan luka tusuk bersimbah darah di perutnya. Tangan dan kaki terkulai lemas. Sebilah pisau tergeletak di lantai disertai ceceran darah. Dua gelas anggur di meja. Yang satu terisi separuh, yang satunya tergeletak tumpah menggenangi meja. Buah- buahan berserakan di meja dan karpet. Seakan menggambarkan situasi penemuan jasad Aaron Sebastian mati terbunuh setelah kencan satu malamnya. Aaron dan Gabriel tidak bisa mengatakan itu lukisan yang je.lek. Tidak. Lukisan itu sangat indah, nyata, perasaannya tersampaikan dengan sangat baik. Aaron dan Gabriel menggigil ngeri melihat pemandangan itu. Seolah jika itu ramalan kematian Aaron, maka ia akan melakukan apa saja untuk mencegahnya. Namun, antara Aaron maupun Gabriel tidak ada yang bisa berkomentar karena Cassandra tidak bisa diajak bicara. Mereka duduk di sofa memandangi gadis itu menikmati pestanya sendiri. Bau keringat, bercampur asap rokok, aroma kopi, dan cat minyak, sedikit banyaknya membuat pusing kepala. Setelah pemandangan lukisan bernunasa gelap tersebut, mereka disuguhkan pemandangan ja.lang gadis yang menari- nari seorang diri. Terlalu banyak kafein memacu tubuh Cassandra harus banyak bergerak. Ia perlu meluapkan energinya. Lagu bertempo perlahan beraliran baroque pop, National Anthem-nya seperti pengiring pengunjung kelab malam yang menari- nari mabuk. Kedua tangan Cassandra belepotan warna bercampur jadi satu hingga menjadi abu-abu menangkup wajahnya sendiri, mengusap rahang, lalu turun ke lekukan leher dan belahan da.danya. Jika Aaron merayu dengan mempertontonkan tubuhnya, Cassandra membalasnya dengan menari sen.sual. Mata terpejam dan kepala terteleng terhanyut musik. Pundak dan pinggulnya meliuk menggoda. Kedua pria ternganga menontonnya. Alarm di ponsel Aaron dan Gabriel berbunyi bersamaan, mengejutkan dua pria itu. Mereka terbelalak melihat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Seharusnya Aaron kencan dua jam yang lalu. Aaron memeriksa ponselnya dan terdapat puluhan panggilan tidak terjawab serta pesan tidak terbaca dari Kitty Baby yang kesekian. Gabriel menatap penuh tanya pada Aaron sedangkan pria itu malah mengusap kasar wajahnya sendiri. Aaron lalu berujar serak pada Gabriel. "Bisa kau pulangkan Cassandra sekarang juga? Aku harus menemui Lovita. Aku akan pergi seorang diri." Gabriel menjawab dengan suara direndahkan. "Waktunya sangat mepet, Aaron. Kau tidak akan sempat kencan lalu kembali ke sini, karena tidak mungkin 10-15 menit main kau akan selesai." Aaron merutuk diri sendiri. "Sialan! Jika saja obat penahan sakit bisa membantuku. Uggh, ya ampun, ini akan jadi malam yang sangat menyakitkan!" "Bagaimana jika undang Lovita ke sini. Sementara aku mengantar Cassandra. Setelahnya aku akan mengantar Lovita pulang." "Hmm, itu ide yang bagus. Aku akan menghubungi Lovita." Aaron mengetik pesan pada Lovita agar datang ke apartemen menggunakan taksi. Sementara Gabriel mengajak bicara Cassandra. Ia mengubit pundak Cassandra. "Maaf, Nona Cassandra. Ini sudah malam, saya akan mengantar Anda pulang." Cassandra berhenti menari dan menatapnya gusar. "Aku belum selesai," katanya. "Aku tidak pernah meninggalkan lukisanku tidak terselesaikan. Bisa- bisa aku harus memulainya dari awal lagi dan rasanya tidak akan sama dengan yang kubuat sebelumnya." "Iya, tetapi kami tidak akan memorsir waktu Anda. Mungkin Anda perlu istirahat." "Aku tahu kapan aku perlu istirahat." Aaron melihat mereka masih berdebat segera menimbrung. "Dengar, Cassandra. Aku klien yang membayarmu, aku punya jam kerja juga dan malam ini cukup sampai di sini, kita lanjutkan besok saja." Cassandra memelototi Aaron. "Wah, Anda salah jika menyamakan pekerjaanku dengan Anda, Bapak Aaron. Pekerjaan sebagai seniman tidak ada waktu tetap dan jika saya mengatakan saya belum selesai, maka saya belum selesai." Aaron yang terdesak menjadi gusar bukan kepalang. Dari sudut pandangnya, tidak ada yang perlu diubah atau ditambahkan pada lukisannya. "Begini saja. Pekerjaan hari ini selesai. Aku puas dengan hasil lukisan seadanya ini. Aku tidak ingin ada penambahan apa pun. Kau akan tetap mendapatkan bayaranmu." Cassandra merengut, bersedekap tidak senang. Aaron hendak mendesaknya lagi, tetapi Gabriel segera menengahi. "Memangnya apa lagi yang mesti diselesaikan dari lukisan ini, Nona?" tanya Gabriel. Cassandra mencebik santai. "Cuma kurang tanda tanganku. Itu saja." Aaron menggerutu. "Oh, ya ampun, cuma coretan kecil saja." Gabriel segera membekapnya. "Eh, ya, silakan bubuhkan tanda tangan Anda, Nona," ucap Gabriel kemudian. Cassandara menggoreskan tanda tangannya dengan cat hitam di pojok bawah lukisan. "Sudah! Selesai. Sekarang aku ingin cuci tangan. Di mana aku bisa cuci tangan sekalian ke toilet?" "Di situ, silakan!" Gabriel mendorong Cassandra ke kamar mandi tamu tidak jauh dari ruang tengah tersebut. Cassandra keheranan, tetapi tidak bertanya. Ia pun masuk ke kamar mandi. Gabriel hendak berbicara dengan Aaron lagi, tetapi dikejutkan oleh Cassandra yang keluar dari kamar mandi. "Aku perlu tasku," katanya seraya melengos mengambil tas dan ponselnya di kursi, lalu kembali masuk ke kamar mandi. Yakin Cassandra tidak keluar lagi, Aaron dan Gabriel berbicra dengan suara direndahkan. "Bagaimana? Lovita jadi ke sini?" tanya Gabriel. "Ya, dia sedang memesan taksi. Semoga tidak berpapasan dengan Cassandra. Bisa- bisa runyam lagi. Aku tidak cerita kalau Cassandra ada di sini." "Ya, semoga saja." Akankah semudah itu? Cassandara perlu waktu membersihkan sisa cat yang sudah sangat melengket di kulitnya. Bukan hanya di tangan, tetapi juga kaki, lutut, bahu, dan da.danya. Ia juga perlu membenahi makeupnya. Selesai menata penampilannya, tiba- tiba perut Cassandra sakit karena kebanyakan minum kopi. Ia terpaksa bu.ang air dulu. Memelorotkan celana, ia duduk di kloset dan mengejan. Di ruang tengah, Aaron dan Gabriel menunggu tidak sabaran. "Astaga, apa yang dilakukan Nenek Tapasha itu di dalam sana?" gerutu Aaron. Nyaris 1 jam Cassandra di dalam kamar mandi. Sementara Lovita sudah mencapai lokasi apartemennya. "Aku akan memeriksanya." Gabriel mendatangi kamar mandi, mengetuk sedikit lalu bersuara sesopan mungkin pada orang di dalamnya. "Nona Cassandra, Anda baik- baik saja di dalam?" Cassandra menyahutinya. "Eh, ya, aku baik- baik saja. Tadi sakit perut, tapi ini sudah selesai. Sebentar lagi aku keluar." Aaron mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan. "Astaga ... pakai acara BAB segala ...." Petugas keamanan memberitahunya Lovita ada di lobi. Aaron meminta mereka menyuruh Lovita menunggu dulu. Sementara menit demi menit semakin mendesak. Cassandra keluar kamar mandi dengan wajah lebih segar dan lega. "Baiklah, aku siap pulang," katanya. Memasang blazer dan sepatunya, lalu mengempit tas tangannya dan mengikuti Gabriel menuju ke pintu depan. Aaron enggan melepas kepergiannya karena gagal mengajak Cassandra ke ranjang. Ia menyalam ketus. "Terima kasih atas kerja kerasmu, Cassandra." Cassandra tidak menyahutinya. Menoleh pun tidak. Napasnya tercekat menahan getir. Jika ia datang sebagai Cassandra Elliana saat jadi pegawai Novantis, sangat yakin Aaron tidak akan mengucapkan hal baik seperti itu padanya. Sungguh ironis. Cassandra masuk ke lift bersama Gabriel. Mereka tidak berbicara apa pun karena sibuk dengan pikiran masing- masing. Di jalur lift yang sebelahnya, Lovita, gadis cantik berambut hitam panjang, berpakaian dress mini dilapisi mantel bulu, tiba di lantai apartemen Aaron. "Hai, Kitty Baby .... Ayo masuk!" sambut Aaron, seraya membuka pintu. Melihat Aaron hanya mengenakan mantel satin, Lovita semringah dan melempar diri ke pelukan Aaron. "Aaww, Aaron, aku kangen kamuuu ...." Cuuup. Mereka berciuman dan pintu elektronik itu pun tertutup rapat. Cassandra masih di lift menuju ke lantai dasar. Ia merogoh tasnya untuk mengambil kaca mata hitam, tetapi mendadak matanya membulat dan ia terperangah. Gabriel menoleh padanya. "Ada apa?" "Ponselku! Ketinggalan di kamar mandi." Cassandra langsung panik bukan main. Di ponsel itu ada nomor aslinya sebagai pegawai Novantis, serta beragam foto pribadinya. Jika sampai dibuka orang lain, bisa- bisa identitas aslinya akan terbongkar. Cassandra menarik lengan Gabriel dan mengguncangnya. "Ponselku! Aku tidak bisa hidup tanpa ponselku! Kita harus kembali mengambilnya!" "Haduhh!!" Gabriel menepuk jidatnya. Sepertinya malam ini akan sangat kacau bagi Aaron. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD