2. Terima Kasih, Tapi Kau Tetap Menyebalkan

1359 Words
Tangan Gianna bergerak meraih botol bekas minuman yang ada di atas meja untuk melindungi dirinya dari Ethan. Namun sialnya, Ethan menyadari apa yang Gianna lakukan. Pria itu pun lebih dulu meraih botol itu, lalu melemparnya jauh dari jangkuan Gianna. "Lepaskan aku, Ethan! Lepas!" Gianna meringis. Benar-benar seperti kehabisan napas. Melihat hal itu, Ethan langsung melonggarkan cengkraman tangannya pada leher Gianna karena ia memang tidak berniat membunuh Gianna. Ethan hanya ingin menunjukkan pada wanita itu kekuasaannya. Jadi, dengan begitu, nantinya Gianna tidak akan berani pergi meninggalkannya. Namun, walau sudah melonggarkan tangannya, bukan berarti Ethan melepaskan. Tangan pria itu kini bergerak meraih piyama Gianna, lalu membukanya dengan paksa sampai membuat kancingnya terlepas dari tempatnya dan berserakan di lantai. "Kau tahu betapa aku merindukan tubuhmu ini? Pria berengsek mana yang berani membuat kulitmu terluka seperti ini? Katakan padaku, aku akan membunuhnya untukmu!" Ethan bicara sembari mengusap pipi Gianna dengan lembut. "Jangan sentuh aku, Berengsek!" Gianna terus berontak hingga tamparan keras dari Ethan mendarat tepat di pipinya. "Aku peduli padamu. Apa kau tidak mengerti juga?" Ethan yang terlihat murka, kembali mencekik leher Gianna dan bahkan lebih keras dari sebelumnya. Gianna semakin berusaha keras melepaskan cekikan Ethan, tetapi sialnya tenaga pria itu jauh lebih besar darinya. Dulu, Ethan tidak segila itu, tapi dia mulai berubah menjadi monster setelah terjerumus ke dalam lingkaran obat-obatan terlarang, ditambah kecanduannya pada alkohol yang semakin tidak terkendali. Ethan berkata seolah perselingkuhannya yang menjadi masalah utama, tetapi bagi Gianna masalah dalam hubungan mereka nyatanya jauh lebih rumit dari yang terlihat. "Ethan, lepaskan aku!" Gianna terus memohon. Suaranya terdengar pelan. Tenaganya seakan terkuras bersama oksigen yang semakin berkurang untuk bisa dihirupnya. "Lebih baik kau mati daripada kau menjadi milik laki-laki lain!" Ethan tampak semakin kalap hingga tak peduli keadaan Gianna yang sudah nyaris kehilangan nyawanya. "Ya, Tuhan, apa aku benar-benar akan mati?" Di tengah ketidakberdayaan Gianna, tiba-tiba tubuh Ethan ditarik dengan keras oleh seorang pria yang seolah dikirim Tuhan untuk menyelamatkannya. Cekikan Ethan pun terlepas. Bersamaan dengan itu, Gianna langsung bangkit dan mulai menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil memegangi lehernya yang terlihat memerah. "Beraninya kau melakukan itu pada seorang wanita? Dasar pria berengsek!" Dylan terus menghajar Ethan dengan begitu keras. *** "Dia akan di sana setidaknya untuk 4 sampai 5 tahun ke depan. Jadi, kau bisa hidup tenang sembari mencari cara untuk menjauh darinya. Anggap saja ini sebagai ungkapan rasa terima kasihku karena kau telah menolongku." Dylan bicara pada Gianna yang saat ini duduk di kursi tunggu di kantor polisi. Tadi, Dylan kembali karena mengingat pakaian, sepatu, serta jam tangan yang ia yakini masih ada pada Gianna, tetapi ia malah melihat pemandangan tidak terduga begitu sampai di sana. "Kau bicara seakan-akan hukuman sudah pasti Ethan terima. Apa yang membuatmu begitu yakin dengan hal itu?" balas Gianna pada Dylan yang berdiri di depannya. "Aku percaya pada kemampuanku." Hanya itu jawaban yang Dylan berikan pada Gianna. Lalu, seorang pria dengan setelan jas rapi datang ke kantor polisi dan langsung menemui Dylan. Gianna yang masih duduk dibuat cukup tercengang oleh kedatangan pria dengan setelan rapi itu yang langsung membungkuk hormat pada Dylan. Melihat pemandangan seperti itu membuat Gianna berpikir kalau Dylan bukan orang sembarangan dan mungkin itulah alasan dibalik rasa percaya dirinya. "Saya sangat mengkhawatirkan Anda, Pak Dylan. Bagaimana bisa Anda pergi tanpa membawa ponsel? Bahkan Anda menelepon saya dari kantor polisi." Pria berkaca mata yang seumuran dengan Dylan ini terlihat begitu cemas, sebab jika terjadi sesuatu pada Dylan, maka ia akan ada dalam bahaya besar. Dylan menghela napas karena cukup kesal pada asistennya itu. Usianya sudah hampir 30 tahun, tetapi Henry masih saja bersikap seakan-akan ia adalah anak kecil yang harus dikhawatirkan hanya karena tidak pulang atau lupa memberikan kabar. Henry tahu betapa buruknya hari yang ia alami kemarin dan dia telah menambah kekesalannya sekarang. "Jangan membahas itu sekarang, cepat antarkan Gianna pulang!" perintah Dylan tanpa menjawab pertanyaan dari asistennya itu. "Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri," tolak Gianna yang saat ini sudah berdiri. "Aku juga akan ikut denganmu karena barang-barangku tertinggal di sana, kan? Cepat!" Dylan meraih tangan Gianna, lalu membawanya keluar tanpa memberi penjelasan pada Henry tentang apa yang terjadi. "Aku harap dia tidak akan membuat masalah karena patah hati," gumam Henry sebelum akhirnya mengikuti Dylan dan Gianna. *** Setibanya di rumah, Gianna langsung mengambil semua barang-barang Dylan yang sudah ia masukan ke dalam sebuah paper bag. "Kau hanya meninggalkan pakaian dan sepatu di sini, tidak ada jam tangan. Ini barang-barangmu." "Apa kau yakin?" Setelah mengambil paper bag yang Gianna berikan, Dylan pun melihat-melihat isinya terlebih dulu. "Apa kau sudah mencarinya dengan benar di dalam? Siapa tahu jam tanganku terjatuh?" "Apa kau berpikir jika aku mencurinya? Bahkan jika aku kelaparan sekalipun aku tidak akan mengambil milik orang lain." Gianna yang tadinya sangat berterima kasih atas bantuan Dylan, kini menjadi sangat kesal karena pria itu seolah-olah menuduhnya. Sebenarnya bukan harga jam tangan itu yang Dylan pikirkan, tetapi jam tangan itu sangat berkesan untuknya sekalipun pemberi jam tangan itu telah menyakitinya. Henry yang mendengar keributan itu pun langsung mendekati Dylan, lalu berbisik, "Anda meninggalkan jam tangan itu di rumah." Mendengar itu, Dylan merasa sangat malu karena sempat menuduh Gianna. "Lupakan saja soal jam tangan itu! Aku akan pergi sekarang." Dylan melangkah pergi, bahkan tanpa meminta maaf pada Gianna. "Aku pasti sudah menampar mulutnya kalau saja tadi dia tidak menolongku," kesal Gianna dan langsung menutup pintu rumahnya. *** Mobil yang Henry kendarai kini tepat berhenti di pelataran lobi apartemen. Ya, Dylan tidak memintanya untuk mengantar ke rumah, melainkan apartemen di mana Dylan dan mantan kekasihnya tinggal. Setelah keluar dari mobil, Dylan pun masuk ke gedung apartemen itu, sementara Henry menunggunya di luar. Kemarin, Henry sudah melihat wanita yang begitu Dylan cintai telah bertemu dengan pria lain, lalu masuk ke mobil yang sama di saat ia begitu panik mencari keberadaan Dylan setelah wanita itu membatalkan pertunangan secara sepihak dengan alasan yang tidak masuk akal. Ya, alasan konyol karena wanita itu mengatakan perasaannya pada Dylan sudah jauh berbeda dan dia mencintai pria lain. "Delapan tahun terlupakan begitu saja karena kehadiran orang baru. Cinta benar-benar omong kosong," gumam Henry yang saat ini begitu kasihan pada Dylan. Pintu salah satu unit apartemen itu terbuka dan aroma yang begitu akrab langsung menyambut indra penciuman Dylan. Dylan pun masuk ke dalam apartemen itu untuk mencari keberadaan seorang wanita bernama Anna yang begitu ia cintai. Dylan mencari ke semua ruangan sembari memanggil nama wanita itu. Sampai akhirnya, ia baru menyadari kalau semua barang-barang Anna sudah tidak ada lagi di sana. Langkah kaki Dylan kini terhenti di depan sebuah foto yang ada di atas meja. Foto yang memperlihatkan kemesraannya bersama Anna ketika menghabiskan liburan musim dingin di London. Air mata Dylan pun jatuh begitu saja saat melihat foto itu dan ia masih tidak percaya jika Anna mengkhianatinya dengan begitu mudah. "Maafkan aku, tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Aku mencintai pria lain. Aku bertemu dengannya saat tinggal di London. Kau harus bertemu wanita yang lebih baik dariku." Kata-kata Anna kembali terlintas di benak Dylan dan itu semakin menyakitkan jika mengingat lagi bagaimana Anna melepaskan cincin pertunangan tepat di depannya, lalu mengembalikan cincin itu padanya. "Berengsek!" Dylan berteriak, lalu melempar foto itu ke lantai. Kaca pada bingkai foto pun pecah dan berserakan. Tak cukup sampai di sana, Dylan juga membanting barang apa pun yang ada di depannya, bahkan sampai menjatuhkan sebuah meja hingga menimbulkan suara yang keras. "Jadi, inikah akhir dari delapan tahun kebersamaan kita? Kenapa harus seperti ini?!" Dylan lagi-lagi berteriak, tetapi ia sudah tidak sanggup lagi membanting barang seperti tadi. Dylan pun terduduk di lantai dan menangis dalam diam. Setelah ibunya meninggal dan hubungannya dengan sang ayah memburuk, Dylan pikir kedatangan Anna dalam hidupnya adalah sebuah anugerah yang begitu indah. Dylan sampai punya keinginan untuk hidup bersama Anna dan melengkapi kekosongan yang telah lama ada di hatinya. Namun nahas, pada akhirnya ia ditinggalkan lagi oleh orang yang sudah dianggapnya sangat berarti. Dylan menghapus air matanya, kemudian berdiri dan tersenyum saat melihat pantulan dirinya pada cermin yang ada di kamar Anna. "Menemukan wanita yang lebih baik darimu? Baiklah, aku akan melakukannya. Akan kutunjukkan kalau aku masih bisa hidup, bahkan tanpamu. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya aku ditinggalkan. Aku akan membalas semuanya!" Dylan bicara seorang diri, lalu pergi dari tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD