Patah Hati

1500 Words
"Malah manggut-manggut nih anak. Udah buruan baik, keburu telat. Nanti si Ronny keburu ngamuk, gaji kita hari ini nggak cair kapok dah! Cepetan!" Seru Vera membenarkan posisi duduknya. "Tapi beneran ya. Nanti pulang kerja kita ke hotel itu lagi." Nadine memastikan. "Iya Nadine! Cerewet pisan maneh! Udah sekarang kita cabut dulu! Udah jam delapan kurang lima belas menit!" Ujarnya seraya menunjukkan benda bulat ke dekat muka Nadine. "Emang lo itu ya, sahabat terbaik aku. Makasih Vera cantik." Rayu Nadine sambil naik ke jok motor sambil memasang helm kesayangannya. Vera sedikit menengok ke belakang. "Cantik dari lahir, nggak perlu memuji berlebihan gitu!" Sahutnya memperlihatkan wajah super songong. "Hehehe! Iya, iya! Percaya!" Vera menyalakan starter. "Pegangan yang kenceng! Gue mau ngebut!" "Siap bos!" Nadine melingkarkan tangannya ke perut Vera. Bremm, bremm, bremm, wuussssss! Vera menarik gas di tangan kanannya dengan kecepatan tinggi. *** Pagi ini harapan Reynor begitu besar, yaitu tidak lagi bertemu dengan Nadine yang selalu membuatnya pusing karena ulahnya yang terus menuntutnya untuk tanggung jawab. Sedangkan ia sendiri tidak mengerti, apa yang harus ia pertanggung jawabkan. Reynor tengah bersiap-siap hendak berangkat ke kantor. Berdiri di depan kaca, menyisir rambutnya yang cepak, yang sudah dipenuhi dengan klimisnya pomade mahal import tentunya. "Semoga, perempuan gila itu tak lagi datang menggangguku. Semoga dia benar-benar pergi." Ucapnya seraya berdiri di depan cermin, lalu merapikan dasi di krah kemejanya yang sedikit miring. Reynor berbalik, berjalan meraih tas kerja yang ada di atas tempat tidur, lalu meninggalkan kamar menuju meja makan untuk makan pagi bersama. Berjalan dengan gagah, tangan kanan dengan menenteng tas kerjanya, dan terlihat juga ada jas yang menggantung di lengan kirinya. Berjalan dengan mantap, menapaki hari ini dengan penuh semangat. Sesampainya di meja makan, ternyata sudah ada Ramon dan Karina yang menunggunya. "Pagi, Pah, Mah!" Sapa Reynor. Meletakkan tas dan jasnya di bangku kosong sebelahnya, lalu duduk. "Pagi, Rey! Hemmm, dari wajahnya sih kaya yang lagi seneng. Ada apa? Cerita sama Mama!" Telisik Karina ingin tahu, menatap Reynor serius. "Apaan sih, Mah. Biasa aja kali." Sahut Reynor, seraya membalik piring yang menelungkup di depannya. "Nggak biasanya lho Rey, muka kamu kelihatan secerah ini. Ya nggak, Pa?" Karina melempar tanya pada Ramon. "Iya, betul tuh kata Mama. Kamu lagi kesambet atau gimana?" Ledek Ramon, menatap putranya penasaran juga. "Ya Tuhan! Apaan sih pagi-pagi gini udah pada rumpi! Aku biasa aja, nggak sedang apa-apa juga." Elak Reynor. "Mending kita nikmati aja nih, makanan buatan bik Sum." Reynor menyebarkan pandangannya ke atas meja yang di penuhi dengan makanan. "Wah, enak ini, ada nasi goreng, telur mata sapi, ayam kecap, sambel tomat, sop juga ada itu. Mau makan yang mana dulu ya. Hemmmm!" Ujarnya mengalihkan pembicaraan. Karina dan Remon saling menatap. Karina mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Hemm, makan pakai sop aja lah. Pagi-pagi gini kayanya seger makan yang berkuah hangat gini." Ucap Reynor. Ia memilih mengambil makanan berkuah itu dengan lumayan sangat banyak. Tak lupa ia masukkan sambel tomat dan kecap sebagai pelengkap penguat rasa. "Papa mau makan pakai apa? Biar Mama yang siapin." "Nasi goreng aja, sama telurnya juga Mah." Karina dengan sigap langsung mengambilkan nasi goreng dengan toping telur mata sapi untuk sang suami. "Ini Pah!" Karina meletakkan piring ke hadapan Ramon. Sedangkan Karina sediri memilih mengambil sop untuk dirinya sendiri. Ramon sedikit melirik anaknya. "Tuh Rey, lihat! Kalau udah punya pasangan, hidup kita itu enak. Makan ada ya g nyiapin, mau ke kantor juga ada yang nyiapin, capekpun ada yang mau dengan sukarela memijat. Enak banget! Emang kamu nggak kepengen?" Celetuk Ramon memancing pembicaraan lagi. "Hemmmm! Mulai lagi!" Gerutu Raynor. Mendengar jawaban tak niat dari anaknya, Ramon hanya mengurai senyum di sudut bibirnya. "Oh iya Rey, Papa sama Mama nanti malam mau makan di luar. Kamu ikut ya!" Ramon terus berusaha mengajak bicara Reynor. "Ikut? Ngapain sih? Males lah Pa." Tolaknya sambil terus mengunyah makanan. "Lagian juga nggak biasanya kan Papa ngajakin aku kaya gini. Papa sama Mama aja berangkat berdua, biar romantis. Kalau ada aku nanti malah ganggu keromantisan kalian berdua. Ya kali aja habis ini, bakalan punya rencana buatin aku adik, hehehe!" Karina menegakkan kepalanya, menatap Reynor. "Husss! Kamu ini, kalau ngomong suka ngawur. Mama sama Papa ini sudah tua, nggak ada pikiran mau nambah anak. Ngurusi kamu aja udah bikin kami pusing, apalagi nambah." Celetuk Karina. "Hahaha, ya kali aja Ma." "Papa sama Mama maunya sekarang itu nambah cucu aja, biar rumah rame." Ramon nimbrung. "Uhukkk!" Reynor tersedak. Ramon dan Karina saling menatap kembali, mulutnya tertutup menahan tawa. "Oh iya, Rey! Papa sama Mama mau makan malam sama teman lama Papa. Nah, kamu sekalian ikut ya, biar rame. Kan biar pada tahu anggota keluarganya masing-masing. Soalnya kami sudah lama nggak ketemu. Mau ya Rey?" "Aku nggak ada waktu, Pa. Banyak pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini. Mama sama Papa aja deh yang berangkat" Tolak Reynor. "Kamu kalau Papa ajak keluar pasti alasannya macam-macam. Banyak kerjaan, banyak ini itu, capek lah, apa lah. Heeemmm!" "Hehe, bukannya alasan, Pah. Aku kan beneran sibuk. Kalau nggak percaya, ayo ikut ke kantor! Papa bisa lihat sendiri, tumpukan berkas di meja aku yang udah kaya gunung Fuji, hehehe." "Papa mau ngenalin kamu sama anaknya teman Papa. Anaknya baik, nggak neko-neko kaya anak zaman sekarang, cantik juga lho. Mau ya, ikut makan malam?" Reynor menegakkan kepalanya. "Papa sama Mama nggak usah aneh-aneh deh. Aku sama Selena aja masih belum baikan. Ini malah udah mau main dijodohin sama anak orang, nggak ah. Nanti aja kalau kami sudah kembali seperti dulu, kami akan segera merencanakan pernikahan. Papa sama Mama tenang aja, berapapun cucu yang kalian minta, bakalan aku buatin, hehehe!" Karina meletakkan sendok di tangannya. "Sampai kapan Rey, kamu akan terus mengejar Selena? Dia itu udah ninggalin kamu. Come on my son! Please, realistis! Di luar sana masih banyak wanita yang mengharapkan kamu. Kamu itu mapan, tampan, berkelas. Nggak akan susah untuk memilih wanita seperti apa yang kamu inginkan." Reynor menghentikan kunyahannya, sedikit mengangkat kepalanya, menatap Karina kurang suka. "Ma, please, jangan intimidasi aku lagi. Aku berhak menentukan pilihanku sendiri. Beri aku kesempatan buat nunjukkin ke Mama, Selena layak aku perjuangkan! OK Ma?" Karina membuang nafasnya kasar, lalu mengambil ponsel yang ada di samping piringnya. Sedangkan Ramon memilih diam. "Kamu sudah lihat berita di sosial media hari ini?" Karina menyodorkan ponselnya ke arah Reynor. "Baca sendiri, biar mata dan hati kamu kebuka, Selena itu sudah memilih laki-laki lain." Reynor mengambil ponsel dari tangan Karina. Melihat sebuah foto yang di pajang di sosial media milik Selena. Sebuah foto Selena tengah mengenakan sebuah gaun berwarna gold, di hiasi taburan permata di bagian dadanya. Berjalan bergandengan dengan seorang laki-laki di sampingnya yang mengenakan setelan jas berwarna hitam. Terlihat keduanya saling menatap di penuhi senyum kebahagiaan. Mata Reynor beralih ke bawah, membaca caption yang di tulis oleh Selena. 'Seorang laki-laki sejati akan datang dan meminta ke hadapan orang tua wanitanya tanpa beribu alasan. Karena wanita, butuh kepastian.' Reynor membuka mulutnya, menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak mungkin! Ini nggak mungkin. Ini pasti berita hoax kan, Ma?" "Rey, sadarlah! Selena sudah menjadi milik orang lain. Tadi malam sepertinya mereka sudah melakukan lamaran, dan pernikahannya akan di gelar beberapa hari lagi. Kamu masih mau mengejarnya? Apa yang kamu harapkan dari Selena, Rey?" "Tadi malam? Mama sudah tahu dari tadi malam? Kenapa Mama nggak ngasih tahu aku? Mama sengaja ya, supaya aku dan Selena benar-benar pisah? Iya Ma? Mama keterlaluan!" Sentak Reynor penuh amarah. "Rey sadar! Sudah berkali-kali Mama bilang, selena itu sudah tidak menginginkan kamu. Untuk apa kamu terus mengejarnya. Kamu... " "Stop Ma! Cukup!" Suara lantang terucap dari mulut Reynor, memotong bicara Karina. Reynor meletakkan ponsel milik Karina lalu berdiri, mengambil tas dan jasnya. "Kamu mau kemana? Kamu belum selesai makan, Rey. Habiskan dulu makananmu! Dari kecil Mama nggak pernah mengajarimu untuk tidak menghabiskan makanan. Di luar sana masih banyak orang yang kelaparan. Kamu harusnya bersyukur bisa makan enak tanpa merasa kekurangan sedikitpun!" Reynor menatap Karina. "Bisa nggak sih, Mama itu nggak usah atur-atur hidup aku? Aku sudah dewasa Mah. Aku bukan lagi anak bayi yang wajib Mamah tentukan apa yang aku mau dengan mau Mama." "Reynor! Yang sopan kalau bicara dengan orang tua, nak!" Kini Ramon ikut bereaksi. "Papa juga sama aja kaya Mama. Selalu apa-apa pengennya di turutin. Papa mau apa,, Reynor harus turutin. Reynor capek Pa!" Ramon tak membalas. Ia sadar, saling membalas tidak akan menyelesaikan masalah. Ia tarik dalam-dalam nafasnya. Seraya memegangi dadanya yang terasa sedikit sesak. "Reynor butuh waktu untuk sendiri!" Tanpa berpamitan, Reynor segera pergi meninggalkan meja makan. "Reynor!" "Sudah, Ma. Beri dia waktu untuk menenangkan diri. Jangan di paksa." "Tapi Paaa?" "Sudah, cukup!" Karina membuang nafasnya kasar. Reynor yang sedang emosi, mengemudikan mobilnya dengan ugal-ugalan. Pikirannya kacau setelah melihat foto Selena tengah bergandengan dengan laki-laki lain, terlebih itu adalah sebuah prosesi lamaran. Selena benar-benar memilih pergi darinya. Padahal Reynor sudah menawarkan akan segera menikahinya, namun ternyata pintu hati Selena sudah tertutup untuknya. "Gue nggak bisa tinggal diam! Gue harus ketemu Selena, sekarang juga!" Di pertengahan jalan, Reynor memutar mobilnya menuju apartemen Selena. Ia masih ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika apa yang dia lihat tidaklah nyata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD