Bab 1: Aku Seorang Apoteker

1921 Words
“Carol!” Carol, yang sedang duduk di lereng bukit, menutup telinganya setelah mendengar teriakan kasar dan makian yang berasal dari kaki gunung. Tatapan matanya suram selagi ia menatap ke langit, matahari sedang tenggelam dan dua bulan menggantung di angkasa. “Carol, apa kau tuli?”  Beberapa saat kemudian, sekelompok remaja berlari ke atas bukit dengan cepat, dipimpin oleh seorang anak laki-laki gemuk berusia sekitar tujuh belas tahun. Ia memiliki tangan dan kaki yang besar, perutnya gemuk, wajahnya bulat seperti kepala babi, dan hidungnya merah. Anak laki-laki itu bernama Parker, ia adalah anak pemilik tempat penggilingan. Ia datang bersama para pengikutnya.  Gerombolan remaja itu mengelilingi Carol. Parker kemudian mengulurkan tangannya dan meraih kerah baju Carol, “b******n sialan! aku sudah berteriak memanggilmu dari tadi, kenapa kau tidak menjawab?” geramnya.  “Pasti dia sengaja.” “Jika kau memandang rendah kami, berani-beraninya kau juga memandang rendah Tuan Parker!” “Sepertinya kita harus mengajarinya bagaimana cara menghormati orang.” “Ayo pukul dia!” Satu per satu dari mereka menghujat dan menjulurkan tangan untuk mendorongnya.  Sorot mata Carol tampak dingin. Tubuh kurusnya yang tampak seperti anak berusia lima belas tahun sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Tubuhnya seperti daun yang tertiup angin, seakan mudah untuk dijadikan sasaran.   Parker menamparnya dan menggeram, “Aku benci jika kau menatapku seperti itu!” Beberapa dari gerombolannya berteriak dan bergegas memukul serta menendangnya secara bergantian. Dalam sekejap, Carol memar dan babak belur, darah pun keluar dari sudut mulutnya. Seluruh tubuhnya lemas dan jatuh ke tanah seperti bola yang pecah dan kempis. Carol tetap diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak berjuang ataupun berteriak. Hingga akhirnya Parker mulai merasa bosan dan tidak lagi menemukan kesenangan yang dia rasakan seperti dulu. “Sudahlah, ayo pergi!” “Lain kali, ketika aku memanggilmu, ingatlah untuk menjawab seperti anjing! Kuharap kau bisa belajar menjadi lebih pintar.” Ia menendang Carol sekali lagi, lalu berbalik dan pergi tanpa berkata lagi. “Tuan Parker, tunggu kami!” Para pengikutnya bergegas menyusul dan berjalan mengapit ke sisi kanan dan kirinya. Carol merasa sangat kesakitan. Dia berbaring cukup lama sebelum perlahan bangun dan berjalan terpincang-pincang menuruni gunung sendirian.  Saat itu langit sudah gelap, samar terlihat dua bulan di langit yang bersinar cemerlang berwarna hijau dan merah, agung dan memesona. Kota ini sangat kecil, hanya ada beberapa puluh keluarga saja. Sebenarnya, tidak salah kalau tempat ini disebut sebagai desa, bagian dari wilayah yang dikuasai seorang baron.  Ini adalah hari ketiga jiwa dan raga Carol berpindah ke tubuh ini. Carol membawa ingatan dari tubuhnya yang asli, dan menyadari bahwa ini bukanlah bumi. Pemilik tubuh ini bernama Carol. Ajaibnya, Carol kecil ini terlihat sama persis dengan ia saat masih kecil. Karena itu, untuk saat ini Carol menyebut tempat ini sebagai dunia paralel bumi.  Menurut ingatan fisiknya, ada dua orang yang paling berkuasa di kota ini, mereka adalah sheriff dan petugas pajak. Rumah mereka ada di tengah kota, terbuat dari batu yang sangat indah, sangat kontras dengan lingkungan kumuh di sekitarnya. Di sisi lain adalah rumah milik orang-orang yang memiliki kedudukan kedua setelah mereka, yaitu pemilik tempat penggilingan dan apoteker. Ayah Carol adalah satu-satunya apoteker di kota itu. Rumahnya memiliki enam atau tujuh kamar yang luas sekali. Dibandingkan dengan rumah lain di kota kecil itu, rumah Ayah Carol termasuk rumah yg cukup besar.  Dalam ingatan Carol, ayahnya adalah seorang pecandu alkohol berat. Sedangkan ibunya, dia sama sekali tidak ingat.  Begitu ayahnya mabuk, ia akan menonjok dan menendang Carol. Parahnya lagi, ia juga memperlakukan Carol seperti b***k dan menyuruhnya melakukan segala pekerjaan berat. Meskipun tidak ada bukti, Carol merasa bahwa sepertinya Carol yang asli bukanlah anak biologis si apoteker. Setengah bulan yang lalu, Ayah Carol yang jahat jatuh ke sungai dalam keadaan mabuk, dan ia kemudian meninggal. Tak lama setelah ayahnya meninggal, Carol merasa tidak mampu beradaptasi karena sikap para penduduk kota terhadapnya tampak berubah. Terutama Parker, anak laki-laki dari pemilik tempat penggilingan tadi. Saat sedang bosan, bocah itu sering mengajak komplotannya untuk mengganggunya. Mereka mencari kesenangan dari menggertak dan memukulinya.  Sering kali Carol menangis dan berlutut untuk memohon belas kasihan, tetapi ia tetap tidak diampuni. Carol berusaha meminta bantuan kepada penduduk kota kecil itu, namun mereka tidak peduli dan justru mengasingkannya. Lebih lagi, rumahnya diambil dan semua uangnya pun dirampas. Dia sudah melapor kepada sheriff, tetapi dia bahkan tidak digubris.  Tidak ada uang, tidak ada makanan yang bisa dibeli, dan tidak ada yang bisa memberikan bantuan. Carol hanya bisa memetik buah-buahan liar untuk menghilangkan rasa laparnya. Meskipun sudah banyak yang ia petik, rasa laparnya tetap tidak hilang. Pernah suatu kali ia pingsan karena tidak sengaja memakan buah yang beracun. Lalu kemudian, jiwa Carol yang sekarang masuk. Carol yang baru ini juga mewarisi semua ingatan dari Carol yang sebelumnya, dan bisa melihat semuanya dengan jelas.  Penyebab dari semua masalah ini adalah rumah besar di pusat kota. Seorang laki-laki umur belasan yang kesepian dan tanpa perlindungan orang dewasa cukup beruntung untuk mewarisi rumah yang besar itu. Apa perbedaan di antara ini dan seorang anak berusia tiga tahun yang memegang emas di dalam kota? Perilaku buruk Parker jelas karena diajarkan oleh ayahnya yang dianggap punya kedudukan cukup tinggi di kota itu. Tetapi, mereka tidak akan pernah mengira bahwa sosok Carol yang sekarang bukanlah Carol yang dulu. Dia bukan seseorang berhati besar yang hanya diam saja dan tidak berani melawan jika dipukuli. Dia tidak punya banyak petuah yang dianut dalam hidupnya, tapi ada salah satu yang dia pegang kuat-kuat, yaitu ‘gigi ganti gigi, mata ganti mata.’ Di bumi abad ke-21 tempat dia hidup sebelumnya, Carol jelas-jelas adalah seorang pria yang tidak kenal ampun, dan dia juga memiliki nama panggilan: Breaking Bad! Meskipun banyak hal di dunia ini yang berbeda dengan bumi, sifat obat tidak akan berubah. Dia percaya bahwa melalui pengetahuan tentang bumi dan mempelajari tentang hal-hal baru, dia akan bisa menjadi seorang apoteker! Dalam tiga hari terakhir, dia telah mengumpulkan bahan-bahan yang dia butuhkan dari hutan. Formula ramuannya adalah ramuan kelumpuhan syaraf, yang ditulis dalam tulisan tangan jelek oleh ayahnya.  Carol pergi ke ruang praktek ayahnya. Berbagai botol tembikar, cawan lebur, dan toples terpajang di sana. Ada kompor besar di tengahnya, yang samar-samar mengeluarkan bau yang tidak sedap. Carol hanya memiliki satu penilaian dari hal-hal yang ia lihat di hadapannya; kasar! Separah abad pertengahan.  Selain itu, melalui ingatan pemilik tubuh yang asli, tidak sulit untuknya melihat bahwa sang ayah hanyalah seorang apoteker yang mengandalkan sedikit akalnya untuk mendiagnosis dan menyembuhkan orang. Keterampilan medisnya sangat payah. Carol bahkan bertanya-tanya apakah dia akan menyelamatkan atau malah membunuh orang. Namun demikian, sebagai seorang apoteker, Ayah Carol yang jahat berhasil mendapatkan perhatian di kota pedesaan kecil ini dan cukup disegani. Namun begitu dia meninggal, beberapa orang tidak sabar ingin cepat-cepat melupakannya.  Carol tidak berencana untuk bertindak setengah-setengah. Dia menyalakan api dan menaruh tungku di atasnya. Ramuan yang ia pilih dengan cermat ditempatkan di dalam kuali secara teratur sesuai dengan konfigurasi yang berbeda. Perlahan-lahan, ramuan yang ada di dalam kuali mulai mengental kental. Setelah mendidih, ramuan itu mengeluarkan bau yang menyengat.  Carol menutup mulut dan hidungnya dengan handuk basah, ia menunggu dengan sabar sampai prosesnya selesai. Api akhirnya padam. Bubuk biru muda tersisa di bagian bawah kuali. Carol mengerutkan kening, tidak terlalu puas. Bubuk yang dia hasilkan masih tidak cukup murni. Jika memungkinkan, dia ingin mengubah bubuk itu menjadi obat semprot. Tapi, mengingat kondisi yang terbatas, dia hanya bisa menggunakan apa yang ada.  Dia sangat berhati-hati memindahkan bubuk itu ke dalam botol kecil. Namun, sebelum dia sempat menyimpannya, terdengar suara dari luar pintu. Seseorang menggedor-gedor pintu dengan kasar. Carol mendengarkan sambil melirik ke samping, mencibir dari sudut mulutnya.  Akhirnya ada yang datang juga? Carol menyembunyikan botol ramuan itu di dekat tubuhnya, kemudian berjalan keluar dengan perlahan, tepat waktunya untuk melihat sekelompok orang yang mengetuk pintu. Seorang pria besar dengan tubuh gemuk dan besar, wajahnya bulat padat, dan hidungnya merah seperti bawang merah. Pria itu menerobos masuk dari antara gerombolan orang itu dengan langkah agresif. “Carol, kerja yang bagus.” Begitu melihat Carol, pria besar menggeram dengan suaranya yang memekakkan telinga. Jari-jarinya yang setebal lobak bergerak maju ingin menampar. Namun Carol sudah bersiap-siap sedari tadi dan berhasil mengelak. Pria besar itu terkejut sejenak, bahkan menjadi dia lebih kesal dan marah, “Carol, aku tahu itu kau, kau pasti telah membunuh Parker.” “Tuan Bob, apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti,” jawab Carol dengan ekspresi lugu. “Minggir, lepaskan aku! Sakit ... gatal ... ah, sangat tidak nyaman ... Kau minggir, lepaskan aku, aku ingin menggaruk.” Gerombolan orang itu menyingkir, memberi jalan kepada seorang anak laki-laki bertubuh besar itu.  Kondisi Parker sangat buruk. Kedua tangannya terikat, wajah dan lehernya penuh dengan bintik-bintik merah, juga terlihat goresan berdarah yang dalam. Wajahnya tampak benar-benar tidak ada yang utuh lagi.  Sentuhan kepuasan melintas di mata Carol. Itu adalah hasil perbuatannya.  Kemarin pagi, ia menemukan jamur beracun di hutan. Jamur itu ia keringkan dan digiling menjadi bubuk, kemudian ditambahkan urin laba-laba agar menjadi racun. Ketika bocah gemuk itu memukulnya, ia diam-diam menaburkan bubuk racun itu kepadanya. Setelah waktu yang cukup lama, bubuk akan bercampur dengan keringat dan terserap ke kulitnya. Racun yang terserap ke kulit membuat dia gatal dan ingin terus menggaruk, berusaha untuk menghilangkan rasa gatalnya.  “Parker! Parker-ku yang malang!” Bob meneriakkan rasa sakit yang menyayat hatinya. Ia ingin memeluk anaknya, tetapi ada rasa khawatir dalam hatinya, sehingga hanya bisa menangisi dari kejauhan.  “Bagaimana bisa seorang anak yang baik terjangkit penyakit aneh?” “Semoga Tuhan memberkatinya.” “Apa itu penyakit menular?” “Berhenti bicara, menjauhlah!” Beberapa orang berbisik, mereka ketakutan.  Meskipun samar, Bob tetap bisa mendengarnya. “Parker tidak sakit! Ada seseorang yang menyebabkannya menjadi seperti ini. Carol-lah pembunuhnya!” teriaknya terengah-engah.  “Benar! Memang benar seperti itu.” “Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.” Sekelompok orang setuju berseru dengan perkataan Bob, tetapi ada juga yang tidak setuju dalam hati. Kebanyakan orang merasa bahwa Bob hanya mengarang cerita dan mengambil kesempatan untuk menjebak Carol.  Bob tidak ingin menjelaskan lagi. “Tangkap dia! Jika dia bisa menyelamatkan Parker, aku akan mengampuni dan membiarkan dia hidup. Tapi jika tidak, aku akan mengirimnya sendiri ke tiang gantung,” ujar Bob dengan raut muka yang garang.  Beberapa pria besar tiba-tiba hendak bergerak setelah mendengarnya.  Carol tampak memasukkan telapak tangannya ke dalam saku dan memegang botol bubuk ramuan racun dengan erat. Kemarahan tiba-tiba mengguncang.  Pada saat itu, terdengar suara keras tapal kuda, seperti derai hujan yang jatuh ke atas daun pisang. Suara itu terdengar di telinga semua orang, dan sebelum mereka bereaksi, bayangan gelap menembus udara. Kuda itu meringkik, seketika angin kencang berhembus. Seorang ksatria heroik berbaju besi memegang tali kendali kudanya. Ia melihat sekeliling dengan tatapan meremehkan, “Di mana apoteker di kota ini?” ucapnya dengan suara yang bersemangat dan gagah. Semua orang hanya diam dan saling memandang. Setelah memikirkannya sejenak, Bob mengumpulkan keberanian dan menjawab dalam ketakutan, “Tuan Ksatria, apoteker di kota kami telah meninggal setengah bulan yang lalu.” “Apa?” Nada ksatria itu kecewa dan marah. Kudanya seperti merasakan suasana hati pemiliknya dan mengangkat kaki depannya. Ksatria itu menyandarkan tali kendalinya, melemparkan pandangannya, dan kemudian menebaskan pedangnya. Bilah pedang itu menebas di udara, menimbulkan gelombang cahaya yang tampak kabur seperti sinar bulan yang memudar. Bunyi seperti siulan itu sangat tajam dan menusuk, mendarat di tiang pintu yang tebal. Dengan suara berdebum, pintu itu rusak dan atap di atasnya pun runtuh. Semua orang ketakutan dan berhamburan pergi satu per satu. Sebongkah tanah liat yang keras menghantam kepala Carol. Ia tercengang, hatinya gemetar, dan dia berteriak tanpa ragu, “Saya seorang apoteker!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD