2. Usaha yang Percuma

1707 Words
 Naya sedikit malas saat seorang dosen menjelaskan sesuatu di depan. Dosen itu tua, cara bicaranya sangat lambat dan membuat Naya mengantuk. Berada di fakultas kedokteran, rasanya sangat sulit menemukan dosen muda kinyis-kinyis. Maklum, jadi dosen kedokteran waktunya tidak sebentar. Jangankan dosen, menjadi dokter sesungguhnya saja membutuhkan waktu lama. Coba bayangkan. Saat teman-teman Naya lulus sarjana, mereka bisa langsung bekerja, melamar di perusahaan bermodalkan ijazah. Sementara dia? Setelah sarjana harus menjalani koas yang katanya momok karena berhadapan langsung dengan pasien-pasien. Setelah koas masih ada internship. Belum lagi jika ingin ambil spesialis. Masuk kedokteran itu tidak semudah yang dibayangkan. Bisa saja ketika teman-teman yang lain telah sukses memiliki jabatan tinggi, mahasiswa kedokteran masih berkutat dengan konsulen yang sering bikin darah tinggi. Kata orang,sih, masuk kedokteran berarti belajar seumur hidup. Dari awal, Naya sudah tahu konsekuensi memilih jurusan ini. Naya sempat ingin memilih sastra Korea atau psikologi sebelum akhirnya memilih kedokteran. Jurusan kedokteran ini dipilih setelah menggelar diskusi panjang dengan kedua orang tuanya. Kata mereka sayang jika otak cerdas Naya tidak dimanfaatkan dengan baik. Naya memang bukan murid dengan nilai luar biasa di sekolah, namun dia memiliki IQ tinggi yang membuat nilai skolastiknya unggul. Tapi Naya tidak pernah merasa menyesal atau salah jurusan. Sedari kecil, dokter adalah profesi yang selalu disuarakan Naya jika ada yang menanyakan cita-citanya. Rasanya keren sekali memakai jas putih lalu dipanggil dengan panggilan Dokter Naya. Cita-cita masa kecilnya itulah yang menjadi salah satu alasan dia berhasil dibujuk untuk memilih kedokteran. Memandang profesor di depan kelas, Naya seperti memikirkan ulang cita-citanya. Perjalanannya masih sangat panjang sepanjang jalan pantura. Semoga saja dia mampu sampai akhir karena orang tuanya mengeluarkan uang tak sedikit demi dia menjadi dokter. "Nay." Panggilan Lisya membuat Naya menoleh. Naya hanya menaikkan alis. Biar kuberitahu, Naya itu tidak bisa berbisik. Dia merasa berbicara dengan sangat pelan pun, meja di ujung sana pasti bisa mendengarnya. "Selesai kelas makan soto, ya?" Kantin untuk makan di kampusnya memang ada banyak. Kantin yang biasa mereka datangi, yang paling dekat dengan kelas mereka tidak menjual soto. Jika ingin membeli soto, artinya mereka harus ke kantin dekat pohon jambu, agak jauh dari fakultas mereka. Naya mengangguk setuju. Ini memang kelas terakhir hari ini, jadi sepertinya berjalan sedikit lebih jauh untuk makan soto yang menyegarkan tak begitu buruk. Rasa syukur Naya panjatkan begitu melihat warung soto Mbak Er sepi. Biasanya warung ini ramai. Selain karena soto babatnya yang luar biasa enak, Mbak Er yang masih muda dan cantik membuat mahasiswa senang memenuhi warung sotonya. "Mbak mau pesan." Naya sedikit meninggikan suaranya karena Mbak Er sedang sibuk bermain ponsel. Wanita muda itu segera menaruh ponsel dan menghampiri mereka, Lisya dan Naya. Farah sendiri telah memiliki agenda bersama Rio. "Mau pesan apa, Mbak?" "Soto babat dua, es jeruk satu, kamu minum apa, Sya?" "Es teh." "Soto babat dua, es jeruk satu, es teh satu," ulang Naya. Mbak Er mengangguk, lalu permisi untuk membuatkan pesanan mereka. "Jadi gimana kamu sama Kak Dean?" "Nggak gimana-gimana. Untungnya tadi malem pas aku pulang lampu kamarnya udah mati. Nggak sia-sia aku ndekem di Indomaret biar pulang agak malem." "Lagian kamu disuruh ke kostanku nggak mau." "Ya kali, Sya. Kostan kamu sama punyaku tuh berlawanan, rugi bensin dong kalau ke kostanmu." "Ya daripada di Indomaret. Kelihatan jonesnya." "Biarin." Naya menatap Lisya kesal. "Eh, Junaaa!!" Naya berteriak melihat sosok sahabatnya yang berjalan di dekat kantin. Juna yang melihat Naya langsung berlari mendekat. "Udah pesan?" tanya Juna begitu pantatnya mendarat di kursi. Pertanyaan Juna itu tidak dijawab karena Mbak Er keburu datang. "Mbak saya soto babat sama es teh," pinta Juna. Mbak Er mengangguk, lalu segera berlalu untuk membuatkan pesanan Juna. "Mama kamu gimana, Jun? Udah baikan?" "Mama kamu sakit?" tanya Lisya yang dijawab Juna dengan anggukan. "Dia punya riwayat jantung, Lis. Sama dokternya udah dikasih larangan beberapa makanan, tapi tetep aja dia bandel." "Namanya juga manusia, Jun. Pasti kan pengin nyobain makanan yang dilarang itu." "Ya tapi dia yang bandel anak-anaknya yang khawatir setengah mati." "Besok kalau aku udah jadi dokter ya, semoga aku nggak ketemu pasien bandel kayak gitu. Kita udah capek-capek ngobatin, eh pasiennya sendiri nggak mau jaga kesehatan," ujar Naya. "Katanya omongan tuh doa tau. Jangan-jangan nanti pasien-pasien kamu kayak mamaku semua," celetuk Juna. "Jangan gitu dong! Emang kamu mau nanti punya pasien giginya penuh belatung kayak di youtube itu." Lisya terbatuk mendengar ucapan Naya. Nasi dalam kuah sotonya tiba-tiba bertransformasi menjadi belatung. "Bisa nggak sih ngomongin sesuatu yang nggak menjijikkan? Aku lagi makan, nih!" omel Lisya. Bukannya merasa bersalah, Naya dan Juna malah terkikik geli. Juna dan Naya ini memang baru bertemu waktu kuliah ini, namun mereka kekompakan mereka seperti teman sedari kecil. "Oh ya Nay, aku mau titip sesuatu," ujar Juna sambil membuka tas gendongnya. Dia mengeluarkan sebuah amplop, sepertinya undangan pernikahan. "Titip buat tante, ya." "Apaan tuh? Kok tante-tante segala?" tanya Lisya. "Biasa Lis, Juna belum bayar yang semalem," canda Naya sambil mengedipkan matanya. Obrolan mereka terhenti oleh Mbak Er yang datang membawakan pesanan Juna. *** TOK TOK TOK! Sudah empat kali Naya mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam rumah. Meski hanya berbeda lantai, namun kost-kostan dan rumah pemilik ini berbeda pintu. Rumah tinggal menghadap ke jalan raya, sementara kost-kostan ke gang desa, jadi saling membelakangi. "Nggak ada orang?" Naya sedikit terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Dia menilik ke bawah, lalu mendapati Dean yang mendongak agar bisa menatapnya. Tak mendapat jawaban, Dean malah berjalan menaiki tangga. "Nyari siapa?" "Ibu kost. Keponakannya tuh teman saya, terus dia nitip sesuatu buat ibu kost." Dean menatap amplop di tangan Naya. Tangan Dean lalu bergerak ke sebelah kiri pintu, membuat Naya sedikit mundur. Naya langsung merasa bodoh saat Dean menekan bel yang ada di sana. "Kalau cuma ngetuk pintu suka pada nggak dengar." "Hehe, tadi nggak lihat ada bel." Tak lama setelah Dean membunyikan bel, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. "Assalamualaikum, Budhe." Dean menyalami wanita itu, langsung diikuti oleh Naya. "Kenapa, Yan?" Naya hampir melepas tawa saat mendengar potongan nama Dean. Nama bagus-bagus cuma dipanggil Yan, tidak beda jauh dengan Yanto tetangganya. "Ini Budhe Nia, ada yang nyari." Dean menoleh ke Naya, memberi isyarat agar gadis itu segera menyelesaikan urusannya. "Eh saya Naya, Budhe, temannya Juna yang ngekost kemarin." Naya ikut-ikutan memanggil budhe. "Eh Naya, iya kemarin kita sempet ketemu pas kamu nengok kost. Maaf ya budhe belum nemuin kamu lagi." "Nggak apa-apa kok, Budhe. Kan saya yang harusnya nemuin Budhe. Saya ke sini mau nganter titipan." Naya menyerahkan amplop yang sedari tadi dia pegang. Budhe Nia dengan cepat membuka amplop itu. Alisnya berkerut membaca nama yang tertera. "Loh, anaknya Pak Barjo nikah? Ck! Ternyata beneran udah tekdung duluan. Ih ya ampun, masih SMA udah nikah. Lagian nikah karena aib kok nggak malu? Malah pesta segala. Kalau orang lain sih biasanya nikah diam-diam, iya, nggak?" "Hehe, iya Budhe. Harusnya kan diam-diam nggak usah pakai pesta gitu," sahut Naya. Dean hanya menggelengkan kepala sambil melirik Naya. "Ya udah, Budhe, saya duluan," pamit Dean lalu mencium tangan Budhe Nia. "Saya juga pamit, deh." "Nggak mau mampir dulu? Budhe bikinin minum." "Nggak usah, Budhe," jawab Dean dan Naya kompak. Setelah pamit, mereka berdua lalu berjalan bersama menuruni tangga. Naya beberapa kali melirik Dean di sampingnya. Dean bukan pria dengan tinggi menjulang bak model, tapi tetap saja Naya jadi pendek di sebelahnya. "Nama kamu siapa?" "Naya, Kak. Fakultas kedokteran, baru semester tiga." Dean melirik Naya aneh. "Saya cuma nanya nama." "Eh iya Kak, maaf." "Dean." Dean mengulurkan tangan, mengajak Naya bersalaman. Naya dengan sedikit ragu menerima uluran tangan itu. Tangan Dean terasa dingin dan erat. "Emm, Kak," panggil Naya saat mereka hanya diam di perjalanan ke kostan. "Hmm?" "Yang kemarin itu maaf, ya. Saya beneran nggak sengaja." "Punya salah apa kamu sama saya?" "Eh itu, yang saya nggak sengaja ngasih flying kiss, itu buat Juna, Kak, saya nggak tau ada Kak Dean di depan muka saya." "Oh." Dean menganggukkan kepalanya. Naya menggigit bibir. Reaksi Dean hanya begitu? Cih! Padahal dia sampai deg-degan karena malu. "Kemarin saya lihat kamu." "Eh? Dimana, Kak?" "Di pojokan Indomaret." Naya langsung mengalihkan pandangan dari mata Dean. Ternyata percuma kemarin dia ndeprok untuk menghindari Dean, taunya lelaki itu mengetahui keberadaannya. "Kamu manggil Mas aja." "Kenapa?" "Di sini kalau manggil Kak malah aneh." Mereka telah sampai di kost, Dean terlebih dulu membuka pintu yang tidak dikunci. Begitu masuk, Naya melihat Sania dan Bagus yang sedang duduk di meja makan. Sania berkutat dengan buku, sementara Bagus dengan laptop. Bagus adalah salah satu penghuni kost, Naya sempat berkenalan kemarin. Lalu selain mereka berempat ada lagi seorang perempuan bernama Maura, anak sastra yang sekaligus pacar Dean. Kata Sania sih, dia sedang menginap di rumah teman untuk mengerjakan projek. Dan ada juga Dian, anak geologi yang sedang menginap di hutan. "Eh, kok bareng?" tanya Sania yang menyadari kedatangan Dean dan Naya. "Tadi dia ketemu budhe." Sania hanya ber-oh. Seperti teringat sesuatu, ia bergegas menarik Dean ke dapur. Kebetulan Naya juga berjalan ke dapur karena haus. "Tadi aku ke pasar beli ayam. Nih, nanti kamu masakin, ya!" Sania mengeluarkan kotak plastik dari kulkas, lalu menyerahkannya ke Dean. Dean menerima dan meletakkan kotak itu ke kitchen island. Naya dapat melihat wajah excited Dean berubah jadi sedikit muram. "Kenapa, Mas?" tanya Naya. Dean menarik bagian sayap ayam, lalu mengangkat ayamnya. "Kamu beli ayamnya nggak segar." Sania mengerutkan dahi, lalu menggeleng. "Nggak mungkin. Tadi kata yang jual ini segar, kok. Baru lima menit dipotong." Dean memberi ekspresi mencibir. "Iya udah aku ngaku salah. Mending kamu buruan masak ayamnya daripada makin nggak segar." Naya yang tertawa kecil melihat perdebatan mereka berdua terkejut bukan main saat Dean menatapnya. "Bisa makan pedas?" "Eh, bisa, Mas." "Ya udah kalau gitu rica-rica." Dean membawa ayam itu ke dekat westafel. "Ya udah yuk, Nay! Kita ke dalem aja. Nanti tinggal terima beres rica-rica mateng," ujar Sania senang. "Nggak dibantuin nggak apa-apa, Mbak?" "Dih males! Kalau dibantuin pasti marah-marah. Dibilang ganggu, menuh-menuhin tempat, males ah!" Sanie sudah menggandeng Naya masuk ke area ruang makan. Bagus dan laptopnya sudah tidak ada di tempatnya. "Nay, aku mau lanjut baca jurnal dulu." "Eh iya terusin aja, Mbak. Aku juga mau ke kamar dulu." Naya meletakkan tas yang masih ia bawa ke kasur. Ia merebahkan diri ke kasur dan pikirannya terbang kemana-mana. Jika dipikir-pikir Dean hebat juga. Jangankan ayam segar dan ayam tidak segar. Membedakan ayam negeri dan ayam kampung saja Naya tidak bisa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD