Prolog

844 Words
Alex menelan ludah, memandang gelisah layar di atas pintu lift yang menunjukkan lantai berapa saja yang sudah terlewati. Ketika lift akhirnya berhenti, dan pintu terbuka. Pria itu tidak bisa menahan diri untuk tidak berlari kencang. Meninggalkan Bima yang hanya bisa meminta tuannya itu untuk memperhatikan langkah kalau tidak mau tersandung dan terjerembab. Jantung pria itu berpacu kencang, merasa dejavu akan kejadian yang ia alami saat ini. Teringat bagaimana ia pernah berlari pontang-panting dari kantor, meninggalkan pekerjaan dan pertemuan yang ia datangi. Hanya untuk lari terbirit-b***t menaiki anak tangga hingga ke lantai 9 sebab tidak bisa menunggu terlalu lama hanya untuk sebuah lift. Terlebih, ketika kamar yang ia tuju sama seperti beberapa tahun lalu. “Kak, jangan masuk. Papa baru tidur lagi.” Melihat kedatangan si sulung dengan wajah pucat pasi. Arkana yang menunggu di depan ruangan, bergegas berdiri. Merentangkan tangan di depan pintu, melarang Alex untuk masuk ke dalam kamar rawat ayah mereka. Pria itu menghela napas, melirik sesaat ke arah sang ayah dari jendela di pintu lantas membenarkan posisi kacamatanya. “Untungnya apa yang Papa rasain tadi bukan serangan jantung ke-2. Cuman dokter memang ngomong kalau otot-otot jantung Papa menegang, dan itu bikin beliau sesak dan pingsan.” Arkana menghela napas, tidak bisa menghapus pemandangan horor di mana ia mendapati ayahnya itu mendadak mengerang kesakitan di tengah-tengah rapat internal perusahaan yang ia dampingi. “Intinya Papa kecapekan, dan harus istirahat. Bukan sehari-dua hari, tapi istirahat yang lama Kak. Sepertinya kita tidak bisa membiarkan Papa ikut serta mengurus segala masalah ini.” Alex menghela napas, sudah sejak lama tau hal itu. Namun, siapa pun tau seberapa keras kepala pria itu. Melihat bagaimana anak, keponakan hingga saudara-saudaranya dihantam oleh berbagai permasalahan di tiap perusahaan yang mereka ambil alih tampaknya membuat pria itu tidak mengizinkan dirinya hanya duduk diam dan memberi perintah. Itulah kenapa selama satu tahun ini pekerjaan Heri Padmana yang sudah dikurangi sejak beberapa tahun lalu, justru semakin bertambah banyak. Di saat seperti inilah Alex merasa kecewa akan dirinya sendiri. Kembali mempertanyakan apakah keputusannya mengonfrontasi keluarga-keluarga kalangan atas yang berada di pihak berlawanan keluarganya untuk melakukan serangan habis-habisan. Sebuah rencana bagus atau buruk. “Siapa aja yang udah tau soal ini?” “Rapat tadi ada Om Tri sama Tante Diana. Aku yakin kabar ini pasti udah-“ Suara ponsel berdering mengalihkan atensi keduanya. Alex bergegas meraih ponsel di dalam saku celananya. Panjang umur, belum selesai adiknya itu menyelesaikan tebakannya. Tebakan yang sudah Alex duga apa isinya, sungguh terjadi. Saat ini ia ditelpon oleh sang Nenek. “Halo, Oma. Alex lagi-” “Temui Oma dan para tetua lain di rumah Oma sekarang. Ajak Fedri bersamamu.” *** Zurich, Swiss. “Papa masuk rumah sakit?” Andri menghela napas, seraya memijat keningnya. Koran yang dipenuhi bahasa Jerman itu, ia lipat dan letakkan sembarang di atas meja di dekatnya. Bersisian dengan teko serta gelas-gelas berisikan teh yang entah sudah kali keberapa ia tuang. “Biar saya sampaikan ini ke Adelia, jangan katakan apa pun soal ini untuk sekarang.” Pria yang membawakan kabar itu mengangguk, bergegas kembali masuk ke dalam mansion megah milik keluarga Padma yang ada di tengah-tengah kota Zurich. Tatapan Andri lantas teralih ke arah Adelia yang sedang berjalan mengelilingi pekarangan yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran di musim semi. Diikuti oleh beberapa pekerja rumah mereka yang bersiaga, kalau-kalau adiknya itu limbung kapan saja. Cukup lama pria itu berpikir, lantas teringat percakapannya dengan sang adik semalam. Tidak menyangka bahwa kondisi di dalam keluarganya mulai memburuk. Bagaimanapun tumbangnya pemimpin keluarga bukanlah hal baik di tengah-tengah kondisi saat ini. Andri menghela napas, lantas memberi kode pada asisten pribadinya untuk mendekat. Lantas memberi perintah dengan nada teramat pasti. “Segera persiapkan perjalanan kembali ke Jakarta.” *** Budapest, Hongaria. Suara hantaman terdengar, kali ini yang terbanting ke atas matras adalah orang yang berbeda. Bukanlah perempuan yang selama setahun terakhir menjadi pihak yang terkalahkan. Kejadian langka itu, membuat suasana entah kenapa mendadak hening. Si pelaku bantingan itu mengerjapkan mata, menatap bingung asisten pribadinya yang terbaring di atas matras dengan wajah sedikit mengernyit. Memegangi punggung dan bahunya yang terasa sakit akibat bantingan barusan. Tak butuh waktu lama sampai lamunan sang puan pecah, dan itu karena suara tepuk tangan nyaring yang mendekat. Di sisi lain ruangan, seorang pria yang baru saja kembali dari perjalanan jauhnya tertawa kecil dan tampak sekali bangga akan apa yang ia saksikan barusan. “Wah, akhirnya kamu bisa kalahin Arlen dengan kekuatan penuhnya dia ya. Bagus, bagus.” “Kak, kamu udah dari kapan di sana?” tanya Fira menghela napas. Meraih handuk yang teronggok di ujung matras, dan mulai menyeka peluh yang menetes dari wajahnya. Menahan keinginannya untuk memeluk sang kakak, menuntaskan rasa rindunya pada pria itu. Mengingat selama satu tahun penuh mereka tidak pernah bertemu. “Tepat di saat kamu banting Arlen ke matras tadi,” balas Dikta tenang. Menarik kursi kosong yang ada di dekat sang ayah yang memang sedari tadi memperhatikan latihan bela diri Fira dari kejauhan. Ada jeda sesaat, sebelum pria itu menatap adiknya dalam. “Kamu siap?” “Untuk?” “Sudah saatnya kita kembali dan bergabung dalam permainan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD