What's Wrong?

1503 Words
David meringis merasakan luka ditangannya yang tertiup angin. Ia berjalan semakin cepat menuju rumahnya. Karena, sejak dirinya terjatuh tadi, rasanya seperti ada orang yang mengikuti. "Ma..." David mengetuk pintu rumahnya tergesa-gesa. Tak lupa juga dirinya menengok kanan kiri. Takut tiba-tiba seseorang menyergapnya. "Dave!" Sang ibu yang baru membukakan pintu itu cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Putranya tampak berantakan dengan beberapa luka di tangannya. Apa David berkelahi? Begitu yang dipikirkan sang ibu. "Masuk dulu." Wanita paruh baya itu menuntun putranya setelah memastikan pintu terkunci dengan benar. "Kamu berkelahi?" tanyanya sambil menyiapkan air beserta antiseptik untuk mengobati lengan David. "Aw. Pelan-pelan, Ma." David meringis merasakan sentuhan kapas di lukanya. "Mama pelan, kok. Kamu belum jawab pertanyaan Mama." "Sejak kapan Dave suka berkelahi, Ma?" decaknya. Mengapa bisa sampai hati ibunya berpikir kalau ia berkelahi? Padahal, belum pernah sekalipun ia seperti itu sebelumnya. "Ya, siapa tahu kan kamu berkelahi dengan temanmu karena perempuan." David semakin tak percaya dengan apa yang ibunya katakan. "Mama. Jangan menuduh yang tidak-tidak! Mana mungkin Dave seperti itu?" "Ah, atau ini karena dance tidak jelasmu itu? Mama kan sudah bilang kalau tidak usah---" "Mama, tadi katanya Dave suruh bercerita. Ini malah sibuk berasumsi sendiri!" potong David kesal. "Oke. Mama dengarkan." "Jadi, sepulang sekolah Dave diajak rapat oleh panitia perpisahan, makanya pulangnya kemalaman. Terus, tidak tahu kenapa waktu Dave jalan di halte, seperti ada yang mendorong dengan keras. Ya, Dave tidak siap dan akhirnya seperti ini." "Kamu tidak naik skateboard, kan?" "Tidak, Ma. Dave berjalan biasa karena jalanan cukup licin. Mana mungkin pakai skate?" "Apa ada orang mencurigakan di sana?" Sang ibu mulai tertarik dengan arah pembicaraan putranya. "Sempat. Dave lihat ada seorang lelaki atau entahlah, Dave kurang yakin karena orang itu menggunakan penutup kepala dan berdiri di pojok halte yang gelap." "Astaga, Dave. Apa mungkin itu orang yang sedang ramai dibicarakan?" David mengernyit mendengar apa yang ibunya katakan. "Apa yang sedang ramai, Ma?" "Astaga! Kamu ini katanya tidak pernah lepas dari sosial media? Kenapa tidak up to date masalah ini?" decak sang ibu sambil menyodorkan ponselnya ke arah David. Ia begitu terkejut setelah membaca artikel yang menuliskan tentang beberapa remaja yang hilang secara misterius belakangan ini. "Ah, tapi ini bukan daerah kita, Ma. Di sini nyaris tak ada kasus semacam itu." David menanggalkan seragamnya yang kotor dan menaruhnya di keranjang cucian setelah semua lukanya dibersihkan. "Dave, tidak menutup kemungkinan, kan? Ini berita di negara kita. Bagaimana kalau---" "Ma, stop overthinking. Di sini baik-baik saja. Mungkin, tadi Dave salah melangkah makanya bisa terjatuh begini." Sang ibu membuang napasnya kasar. Kekhawatiran itu bukan sesuatu yang remeh. Setelah mendengar cerita David, ia begitu cemas. "Dave, jangan pulang larut, ya. Kamu pulang bersama yang lain. Jangan sendirian." David tahu, arah pembicaraan sang ibu tak akan jauh dari hobinya. Memang, sejak awal harusnya ia sadar kalau ini hanya akal-akalan ibunya agar ia tak bisa membuat video di luar rumah lagi. "Ma, Dave bukan anak kecil yang akan paranoid dengan masalah seperti itu. Lagipula, Mama tidak harus sampai segininya untuk melarang Dave." "Bukan begitu, tapi Mama benar-benar khawatir, Dave." "Mama khawatir? Atau memang sengaja menciptakan mimpi buruk agar Dave percaya? Dave sudah tidak harus Mama beri dongeng lagi agar takut melakukan sesuatu." David beranjak menuju kamarnya setelah mengatakan hal tersebut. Ia memilih untuk segera membersihkan tubuhnya yang berkeringat juga bercampur dengan air hujan. "Astaga. Sepertinya memang tak ada jalan lain untuk meyakinkan mama." gumamnya sambil merasakan guyuran air hangat dari shower. David merasa tubuhnya lebih segar. Juga lukanya yang sudah tidak terlalu perih setelah diobati oleh sang ibu. Kini saatnya ia membaca kembali komentar-komentar dari penggemarnya. Itu akan membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Ya, sambil menunggu sang ibu memanggil untuk makan malam. 'Dave is Dave. Tidak pernah mengecewakan.' 'Dave... Kenapa kamu tidak ikut audisi menjadi artis?' 'Aku berharap karirmu lebih baik dari ini.' David tersenyum senang membaca beberapa komentar baik. Meskipun, memang ada beberapa komentar tidak mengenakan yang diterimanya. Ia hanya menganggap semua itu hal yang wajar. Karena, di dunia itu tidak semua harus sama. Tidak semua orang akan menyukai. Semua seimbang antara suka dan tidak suka. Selama komentar tersebut tidak menjurus pada hal-hal yang parah, ia memilih mengabaikan. Toh, masih banyak orang yang mendukungnya. Makan malam kali ini tak ada bahasan tentang kegiatannya. Sang ibu lebuh fokus melihat luka-lukanya dan menyuruhnya untuk tidak begadang malam ini. "Terima kasih, Ma. Dave ke kamar, ya." Sang ibu mengangguk setelah mengusap surainya dengan lembut. David tentu saja tak langsung tertidur. Ia kembali pada layar komputernya yang menampilkan banyak komentar. Sesekali ia membalasnya. Ia berpikir, apakah bagus membuat siaran di waktu ini? Sepertinya, akan banyak penonton. Ia membuka aplikasi yang biasa digunakannya untuk membuat siaran. Tak berapa lama, ribuan orang menonton siarannya. Menyapa dan memberinya semangat. Ah, ini memang hidupnya. Ia begitu bahagia saat mendapat dukungan dari banyak orang. "Terima kasih, semua. Selamat beristirahat dan jangan lupa untuk selalu menonton karyaku. Selamat malam." David menutup siarannya. Ini benar-benar menyenangkan. Tetapi, rasanya ada yang kurang saat ibunya sendiri malah terang-terangan menolak apa yang dilakukannya. Ia mengecek emailnya. Siapa tahu, ada titik terang yang akan membuat sang ibu percaya kalau dirinya bisa berkembang dengan hobi yang ditekuninya saat ini. Tetapi, hasilnya nihil. Tak ada satupun balasan yang ia dapat dari beberapa email yang dikirimkannya. "Baru sehari." David meyakinkan dirinya kalau esok atau lusa akan ada kabar bahagia. *** Luka-luka di tangannya yang ditutupi plester membuat teman sekelas David tentu terkejut melihatnya. Mereka menanyakan kondisinya. "Hanya jatuh kemarin sepulang sekolah. Ya, kalian tahu sendiri petang kemarin hujan dan jalanan licin. Bukan masalah berat." David menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Teman-temannya mengangguk paham dan mulai meninggalkan meja David satu persatu. "Eh, Dave." "Ya?" "Tahu tidak?" "Belum juga bicara sudah bertanya tahu atau tidak. Ada apa?" "Itu. Sekarang sedang ramai penculikan." David mengangguk. Ia mengetahui cerita tersebut semalam. "Mengerikan. Korbannya bukan anak di bawah sepuluh tahun. Tapi, malah di atas empat belasan." "Iya tapi itu kan jauh dari sini. Daerah kita pasti aman, kan?" "Ya, semoga saja, Dave. Tapi itu terdengar begitu mengerikan, bukan? Korbannya tidak hanya perempuan." "Kau takut, Vin?" Teman sebangkunya yang bernama Malvin itu mengedikan bahunya. "Entah lah. Aku tidak terlalu yakin juga. Karena, siapa tahu mereka bukan hilang diculik. Tahu sendiri, usia seperti kita kalau ada masalah keluarga atau tidak setuju dengan pendapat orang tua, memilih melarikan diri. Labil. Ya, walaupun aku tidak akan berbuat demikian. Berada di luar rumah begitu sulit." Perkataan Malvin membuat David kembali teringat dengan sang ibu. "Iya juga. Karena, belum ada bukti yang kuat, kan? Atau petunjuk lain?" "Hm. Belum ada. Hanya dugaan karena beberapa kasus ternyata sama. Bingung juga. Kalau memang kabur, kenapa jadi trend? Ah, semakin bingung saja." "Siapa suruh memikirkannya?" kekeh David yang memilih mengeluarkan catatan tugasnya. *** "Melamun saja. Kenapa? Pengikutmu berkurang?" Malvin menepuk bahu David sebelum duduk di sebelah teman sebangkunya itu. "Tidak. Hanya---" "Mamamu belum memberikan izin?" tebak Malvin. "Hm..." gumam David. Malvin memang sedikit tahu tentang masalah yang dialaminya. "Semalam, mama menjual cerita penculikan sebagai alasan. Konyol bukan? Aku bukan anak yang sembarang percaya pada siapapun. Karena insiden terjatuh itu, aku mengatakan kalau sempat melihat orang misterius." "Ha? Orang misterius?" tanya Malvin yang mulai antusias dengan cerita David. "Ya." David menceritakan apa yang dialaminya kepada Malvin. "Astaga, Dave! Apa jangan-jangan, itu memang penculiknya? Dia sudah sampai di kota ini?" "Tidak usah heboh begitu! Siapa tahu, orang itu memang tak ingin kehujanan saja. Makanya, hanya berdiri di sana." "Dave! Astaga! Sumpah! Benar kata mamamu, jangan pulang terlalu petang!" ucap Malvin menggebu-gebu. "Kenapa malah bicara hal yang sama seperti mamaku? Sudahlah! Berhenti memikirkan hal-hal tidak masuk akal seperti itu. Ayo habiskan makananmu. Bel masuk akan segera berbunyi." David melirik jam tangannya. Setelah ibunya, Malvin juga mengatakan hal yang sama. Tetapi, ia tak boleh gentar sedikitpun. Segala kejadian yang belum pasti kebenarannya ini harus berakhir. Tidak akan baik kalau tidak segera diusut sampai tuntas. Karena, bisa membuat pikiran orang-orang menjadi tidak sehat. "Jadi, kamu masih mau pulang naik bus?" tanya Malvin. "Ya memang mau naik apa lagi kalau pulang? Aku ingin bersantai saja." "Meminta dijemput, mungkin?" "Jangan bercanda, Vin! Memangnya aku anak taman kanak-kanak? Sudah! Jangan berpikir macam-macam." Tetapi, lagi-lagi tak hanya pikiran Malvin semata, karena sang ibu tiba-tiba saja mengirimkan pesan kepadanya. Mom : Dave, pulang sekolah nanti, Mama jemput. Kamu tunggu, ya. "Kenapa lagi?" tanya Malvin yang melihat ekspresi David yang sulit diartikan. "Rumor ini sudah sangat cepat menguasai pikiran orang-orang, ya?" "Maksudnya?" "Ya. Mamaku mengirim pesan kalau aku dijemput pulang sekolah nanti." "Bagus. Jadi tidak khawatir lagi bertemu dengan orang asing yang mencurigakan itu." "Padahal, aku memang penasaran dengan orang itu. Siapa tahu, pulang nanti bisa bertemu kembali." "Jangan gegabah, Dave. Situasi sedang tidak begitu baik. Jaga diri baik-baik." "Ah, iya. Kalau begitu, kamu sendiri jangan lupa hati-hati." Terlepas dari siapa dan rumor yang begitu cepat berkembang, mereka saling mengingatkan satu sama lain agar lebih berhati-hati. Meski, dalam lubuk hati David ingin sekali mengetahui apa yang tengah terjadi sebenarnya. Karena pada dasarnya, jiwa penasarannya sebagai remaja memang sedang begitu menggebu-gebu. Semakin ada sesuatu yang tengah ramai diperbincangkan, ia semakin ingin tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ya, manusiawi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD