Chapter 3

3343 Words
Sua mengaduk sup kimchinya tanpa minat. Ia mengawasi Yoon yang duduk di hadapannya. Seharian tak memiliki kesempatan untuk menceritakan perihal teman-teman Han semalam. Karena jika ia tidak hati-hati, bisa-bisa Yoon akan menarik perhatian seluruh kampus dengan teriakan-teriakannya. Sua jelas tak ingin hal itu terjadi. Dan satu hal lain yang cukup mengganggunya sejak semalam. Sejak makan malam spesial dengan Mom dan Dad. Rupanya mereka mengadakan makan malam spesial itu untuk memberi tahu Sua bahwa salah satu bar milik Dad di Washington mengalami masalah, dan mereka harus secepatnya pergi. Sua praktis tak bisa mengantar mereka ke bandara. Ia merasa sedih. Tetapi Dad meyakinkan dirinya akan kembali secepat yang ia bisa. Sua menghela napas penuh beban. Berhenti mengaduk sup kimchi dan mengempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. "Ada apa? Kenapa kau menghela napas?" Yoon mengangkat wajah memandang Sua, mengalihkan perhatiannya dari sup yang tengah ia makan. Sua meringis. "Bosan dengan menunya," ia berdalih. Suasana kafetaria siang itu cukup ramai. Sua tak sedang dalam keadaan hati yang ingin menarik perhatian sekeliling. Sudah pasti ia akan memberi tahu Yoon, hanya saja bukan sekarang. Ia tengah berusaha keras berpikir jernih. Setiap dua hari sekali ada orang suruhan Mom yang datang untuk membersihkan rumah. Itu berarti ia dan Han tak akan benar-benar hanya berdua saja. Sua mengejang. Alasan itu masih belum cukup. Ia sangat ingin memaki dirinya sendiri. Kenapa tak sesulit ini ketika pertama kali mendengar ia dan Han akan tinggal serumah, padahal saat itu Sua juga tahu pasti Mom dan Dad memang tak bisa menetap. Dad memiliki banyak cabang bar yang harus diurus. Dua di Washington, lalu di Paris dan New York. Itu sebagian kecil yang Sua ingat. Sua mendesah lagi. Kemudian buru-buru memandang Yoon untuk melihat reaksinya. Syukurlah Yoon tak lagi heran. Ia melanjutkan makannya dengan tenang. Oh! Sua membelalak. Bagaimana bisa ia tak kepikiran sama sekali? Ia mendengus dan tertawa. Kali ini Yoon mengangkat wajah dengan kening berkerut. "Kau terserang gila mendadak?" Katanya dengan mulut penuh. Sua tak mengacuhkan ucapan Yoon. "Oh, Yoon, betapa bodohnya aku," ia mengibaskan sebelah tangan. "Aku tahu," sahut Yoon tulus. "Tentu kau tak akan keberatan untuk sering-sering menginap di rumahku," sedetik kemudian Sua menyadari mungkin volume suaranya terlampau keras. Sebelah alis Yoon terangkat. "Kenapa begitu?" Sua menciut, di detik yang sama ia menyadari harusnya ia tak mengatakannya sekarang. Kalau sudah begini mau tak mau ia harus menceritakan perihal kepergian Mom dan Dad, dan menambahkan kemungkinan seribu persen yang didapat Yoon untuk bertemu Ben dengan menginap di rumahnya. "Dengar," Sua mencodongkan tubuh pada Yoon, berharap Yoon mau merespon semua yang akan ia katakan dengan sama hati-hatinya. Mendadak Yoon menegakkan posisi duduknya. Awalnya Sua kira Yoon serius mau mendengarkan, tetapi kemudian menyadari bahwa tatapan Yoon melewati Sua. Jauh ke arah pintu masuk kafetaria. "Astaga, itu mereka," Yoon tercekat. Mata sipitnya membelalak. Dengan agak kesulitan Sua menoleh, menelusuri arah pandang Yoon dan melihat Han bersama dua laki-laki lain berjalan di sisinya. Han memiliki tubuh paling besar dan tinggi di antara mereka. Seorang laki-laki di sisi kiri Han, Sua langsung menebak dialah si nomor satu. Memang persis seperti yang digambarkan Yoon. Ia seperti tokoh anime yang keluar dari komik. Mata besar dengan garis yang tajam dan garis hidung lurus. Lalu di sisi lainnya, laki-laki berambut kecoklatan. Tak terlalu jelas melihat warna matanya dari jarak sejauh ini. Hanya itu. Sua cepat-cepat menarik tubuhnya kembali. Ia bahkan tidak tahu baju warna apa yang dikenakan Han. Ia tak mau dan tak sempat memerhatikan lebih banyak hal dari mereka. Ia tak ingin Han menoleh dan memergoki dirinya sedang memerhatikan. Ketika itu Sua menyadari atmosfer di sekitarnya berubah. Layaknya gravitasi. Kehadiran mereka menarik seluruh perhatian semua yang ada di sana. "Setahuku mereka tak pernah makan di kafetaria," Yoon bergumam takjub. Sua berusaha keras untuk tidak menoleh lagi. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya teratur. Lalu sebisa mungkin fokus hanya pada Yoon dan mengabaikan ketertarikannya pada apa yang barusan Yoon katakan. "Yoon," suaranya terdengar putus asa. Yoon menoleh cepat dan mengedikkan bahu. "Tentu, aku setuju." Sua melongo. Butuh beberapa saat untuk memahami maksud ucapan Yoon. Tetapi kemudian ia hanya mampu sedikit bersyukur karena telah menghindari keributan yang pasti akan disebabkan oleh Yoon. "Kau tahu," Yoon berkata dengan penuh semangat. "Aku berharap Ben sering datang ke rumahmu." Sua meringis. Memilih untuk tak mengatakan apa-apa dan membiarkan Yoon memerhatikan Ben sepenuh jiwa. Sua menunduk, mengetuk-ngetuk meja dengan jemari dan tak bisa mengelak kemungkinan ia akan bosan menunggu. Lalu dirasakannya tubuh Yoon menegang. Sua mengernyit tetapi tak bertanya apa-apa. "Yuta melihatmu," Yoon mengeleng sedetik kemudian. "Dia memerhatikanmu." Sua memerhatikan Yoon lekat-lekat. Ia membeku seperti baru saja mengalami sebuah hal traumatis. "Yuta?" Yoon memutar bola mata, terlihat bersusah payah untuk mengalihkan perhatian pada Sua. "Si nomor satu," ia mendesis. Sua bergeming. Syukurlah ia ingat untuk tidak menoleh. "Baiklah, mulai sekarang mari tak menyebut mereka dengan si nomor satu, dua dan tiga. Itu tak terdengar manusiawi untukku." Yoon mendecak. "Baiklah," ia mengibaskan sebelah tangan tak sabar. "Apakah Yuta mengenalmu atau bagaimana? Ia terus memerhatikanmu sejak ia duduk di sana." Ah, sial. Kata itu membuat Sua nyaris menolah. Di sana di mana? Tentu saja ia tidak tahu karena tidak melihatnya sendiri. Dasar Yoon bodoh. "Tidak," sahut Sua jengkel. Yoon menyipitkan mata. "Aku tak dekat dengan Han, ingat? Bahkan kami lebih seperti orang asing," kalimat itu terdengar menyakitkan bagi Sua sendiri. Yoon berpikir sejenak. "Yah," ia mengedikkan bahu. "Cepat atau lambat kau pasti akan dekat juga dengan Han." "Baiklah, kau sudah selesai?" Yoon memandang waspada. "Kenapa?" "Aku bosan menu di sini, aku akan mentraktirmu di kafe biasa? Setuju? Tentu saja," Sua bangkit dan membereskan ranselnya. Sesaat merasa bodoh menjawab pertanyaannya sendiri tetapi saat ini ia sedang tak ingin berdebat. Yoon mengeluh, meski akhirnya mengikuti langkah Sua juga. Sekilas ketika berbalik Sua melihat di mana Han duduk. Begitu singkat ia melihat laki-laki itu di sana. Hanya Han. Ia tak peduli pada fakta Yuta memerhatikan atau apa. Ia melangkah ringan dan tak membiarkan apa pun membuatnya menoleh ke arah Han berada. Sekalipun jantungnya berpacu cepat ketika melewati meja mereka. Sua mengubur semua rasa penasarannya dalam-dalam. Berharap untuk tak menggalinya lagi dalam jangka waktu, mungkin selamanya. Barulah saat ia sudah di luar, Sua mampu merasakan oksigen mengalir ke dalam paru-parunya. Ia berhenti dan memeriksa Yoon yang kini berdiri di sisinya. "Apa?" Maksud Sua adalah kenapa Yoon diam saja. Yoon nyengir. "Berani taruhan mentraktir taekboki seminggu, Yuta menyukaimu." Sua mendengus. Tak percaya dan tak peduli. "Taruhan setiap minggu dan kupastikan kau jatuh miskin." Yoon tersenyum percaya diri. "Katakan itu pada dirimu sendiri," ia melenggang berlagak sombong. "Ayo, cepat, kau bilang akan mentraktirku. Aku sudah merasa cheese cake sedang menantiku." Sua memutar bola mata. Kali ini ia yang terpaksa mengikuti langkah Yoon. "Ngomong-ngomong, alasan kenapa aku ingin kau sering menginap," Sua mengimbangi langkah Yoon sehingga keduanya kini bersisian. "Karena Mom dan Dad pergi ke Washington." Yoon tak seterkejut yang Sua kira. Lumayan melegakan. "Yah, sepertinya kau sudah menduga hal itu akan terjadi. Ibumu memang suka bepergian." Sua nyengir, nyaris seperti seseorang yang kesakitan. Tentu saja Yoon tak akan terkejut mendengar kabar itu. Ia tak akan berpikir macam-macam mengingat Han adalah kakak tirinya. Ia mendesah lega. Mengangkat wajah memandang lurus, memutuskan untuk tak terus memikirkan hal-hal konyol yang membuatnya tak nyaman. "Semalam Ben datang ke rumah." Sontak Yoon menahan napas, seperti terkena serangan jantung. "Sungguh? Kau bertemu dengannya? Kenapa kau tak mengatakan apa pun padaku." "Jelas," Sua mendesah berlagak sebal. "Aku tak mau menarik perhatian orang-orang dengan reaksimu ini." Yoon tersenyum malu, namun hanya sesaat. Ia kembali antusias. "Lalu bagaimana? Ceritakan detailnya padaku." "Pertama-tama," Sua sengaja membuat jeda yang lama pada setiap kata yang ia ucapkan, membuat wajah Yoon terlihat seperti akan meledak saking penasaran sekaligus menahan kesal. "Bernapaslah dulu." Yoon patuh dan bernapas dengan kekuatan yang tak diperlukan. Tetap tersenyum meski matanya berkilat-kilat ingin menerkam Sua. "Aku sedang membaca buku saat itu, kau tahu karya Akiyoshi Rikako berjudul Girls in The Dark? Ceritanya tentang-" Yoon mengibaskan tangan tidak sabar. "Aku tidak tahu tentang novel, ceritakan saja tentang Ben padaku, itu cerita yang paling aku sukai di dunia." Sua tersenyum puas, senang sekali melihat reaksi Yoon. "Aku melihatnya di kolam renang." Mendadak wajah Yoon memerah serupa tomat. "Mustahil," ia bergumam, matanya membulat tak percaya. "Kau melihatnya-" "Hei, tidak!" Sua mengerang. "Astaga, kau ini m***m sekali. Mereka tidak berenang," Sua memutar bola mata. Itu benar, hanya Yuta yang melompat seperti orang gila. "Astaga, aku rasa aku akan mimisan," Yoon memekik tertahan, tak mengabaikan ucapan Sua. Sua mendesah putus asa. "Yang benar saja, mereka tidak telanjang. Paling parah hanya tidak memakai kaos, kan?" Bukan pertanyaan bagus. Hal itu membuat Yoon makin i***t. "Demi Tuhan, Yoon," Sua mempercepat langkah meninggalkan Yoon. Yoon tertawa dan berjalan cepat mengejar Sua. "Jika ada yang tanya siapa kau, aku akan menjawab aku tak mengenal orang i***t ini." Yoon tertawa makin keras. "Itu bagus, masalahnya tak akan ada orang yang bertanya pada orang idiot." Sua berusaha untuk tak tertawa dan mempertahankan mimik serius di wajahnya. Meski tak sepenuhnya berhasil. Yoon akhirnya berhenti tertawa dan berjalan santai di sisi Sua. "Jadi kapan Ben akan main ke rumahmu?" Sua mengangkat bahu. "Kalau Ben datang pasti Yuta juga," sesaat ia seperti menerawang. Apa pun yang dipikirkan Yoon saat ini, Sua berani taruhan pasti hal-hal yang tak masuk akal. "Apa?" Ia tak tahan untuk tidak bertanya ketika Yoon mulai senyum-senyum sendiri. "Hanya membayangkan double date denganmu," ia lalu mempercepat langkah memasuki kafe favorit mereka. "Ah, yang benar saja," Sua tak peduli, tak pernah ambil pusing dengan pembahasan semacam kencan. *** Sebuah mobil hitam tiba-tiba menepi ketika Sua sedang berjalan sendirian menuju halte. Ia langsung mengenali mobil itu adalah milik Dad! Sua mengambil langkah maju dan melihat sosok Han di balik kemudi. Dengan jendela yang terbuka mata mereka langsung bertemu. Sua tercekat dengan napas tertahan. Sua tak bergerak bahkan tak mengeluarkan suara sedikit pun sampai akhirnya Han turun. "Halo, Sua," sapanya dengan ekspresi yang sulit untuk Sua baca. "Oh, hai," sahut Sua linglung. "Dad memintaku untuk menjagamu, jadi.. Jika kau tak keberatan pulanglah bersamaku." Sua bergeming. Han benar-benar memberinya pilihan. Setengah dirinya berharap Sua mau ikut dengan Han, dan sebagian dirinya yang lain mengharapkan sebaliknya. Lalu raut wajah Han berubah lagi, raut wajah yang tak terbaca. "Mm, baiklah," Sua tak yakin dengan jawabannya sendiri. Tapi jika itu yang Dad inginkan maka akan lebih baik untuk tidak menolak. Han berjalan memutar membukakan pintu untuk Sua. Sua diam saja dan menurut. Ketika pada akhirnya mobil melaju dan mereka hanya berdua, Sua merasa sesuatu yang aneh memukul perutnya, membuat ia merasa mual. Setelah keheningan panjang Sua memberanikan diri untuk melirik Han. Kini ia terlihat lebih rileks. Dan detik berikutnya ia menoleh. Sua tercekat lagi. Tetapi Han tersenyum. "Apa kau terganggu jika teman-temanku datang ke rumah?" Pertanyaan yang tak terduga. Sua memaksakan seulas senyum. "Kau melihatku, ya," itu jelas bukan pertanyaan. "Kami taruhan dan Yuta kalah, sebagai hukuman ia harus melompat ke kolam renang atau kami yang akan menceburkan dirinya ke sana." Han memandang lurus ke jalan, masih tersenyum lembut. Sua tahu pasti siapa yang Han maksud kami. Hal itu membuatnya otomatis teringat pada Yoon. "Aku tak keberatan. Aku tak merasa terganggu," Sua cepat menambahkan. "Mungkin temanku akan sering datang untuk menginap, tak masalah buat.. Buatmu, kan?" Setelah beberapa hari lamanya Sua baru menyadari satu hal. Sebagai adik, bukankah Sua harusnya memanggil Han dengan "Oppa". Sua bergidik. Lidahnya terasa ngilu membayangkannya. "Kau bisa memanggilku Han saja," kata Han ringan, kali ini terdengar jauh lebih bersahabat. Sua mengernyit, memandang bagian samping wajah Han untuk beberapa saat. "Terima kasih," ia tak tahu apakah berterima kasih merupakan reaksi yang tepat untuk itu. Tetapi Sua begitu senang Han memahaminya tanpa perlu menjelaskan. "Temanmu yang akan menginap, apakah orang yang sama dengan yang siang tadi makan bersamamu?" Sua nyaris tersedak. Ia bahkan tak yakin Han melihat dirinya. "Eh, kau melihatku, ya?" "Tentu," sahut Han langsung. "Kau cuek sekali." Sua terperangah, tetapi Han cepat-cepat mengoreksi. "Kepada semua orang, Yuta dan Ben penasaran padamu. Mereka frustasi kenapa kau tak datang menyapaku," Han memandang Sua lagi, sorot matanya menyiratkan permintaan maaf. "Aku, tak terlalu memerhatikan," suaranya terdengar menyerupai bisikkan. "Katakan padaku jika kau tak menyukai sikap mereka." Ketika Sua mendongak ia menangkap ketulusan di balik mata cokelat gelap itu. Sesaat ia nyaris yakin tak bisa berpaling lagi. Tenggelam pada matanya. Sial, lagi-lagi Sua mengingat Yoon. Mungkinkah ini yang Yoon maksud? Konyol, tak mungkin terjadi pada Sua. Terlebih lagi terhadap Han. "Kurasa lain kali kau harus menyapaku lebih dulu," kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa sempat Sua pikirkan. Sua seratus persen yakin akan menyesali ucapannya jika saja Han tak bereaksi tanpa penolakan. Ia terlihat setuju dengan usul itu, bahkan senang. "Ide bagus, kita bisa makan siang bersama juga di kafetaria," lalu mendadak Han terdiam. Seolah ada sesuatu yang menusuk tenggorokannya. Namun ia terlalu cepat menguasai diri. Wajahnya yang sesaat tegang berubah ramah kembali. Ia tersenyum meski kali ini terlihat menyakitkan. Serupa kau saat menahan sakit. "Ngomong-ngomong kau belum menjawab pertanyaanku," Han mengingatkan. Sua berpikir sejenak. "Ya, temanku yang itu. Namanya Yoon." "Kapan temanmu akan datang?" Kata Sua dan Han bersamaan. Keduanya bertatapan lalu tertawa. "Siapa yang akan menjawab lebih dulu?" Han memberi penawaran. "Mmm," Sua menimbang-nimbang. "Lady's first." Sua memutar bola mata berlagak kesal. "Yoon akan datang sesukanya." Han mengangguk-angguk. "Hal yang sama berlaku untuk Yuta," Han meringis seperti kesakitan lagi. "Ia sangat bersemangat." Alis Sua bertaut. Menghubungkan ucapan Han dan Yoon siang tadi. Tapi ia lebih suka memutuskan untuk tak ambil pusing dengan itu. "Lalu bagaimana dengan Ben?" Sua sengaja tak ingin membahas Yuta lagi. Sejenak Han terlihat waswas. "Dia baik." Sua mengernyit tak mengerti. Mulut Han membentuk huruf o, sadar bahwa jawabannya tak berhubungan dengan pertanyaan Sua. "Biasanya dia akan memberi tahuku lebih dulu." Sua mengangguk-angguk. "Hei, aku tak pernah melihatmu menggunakan dapur," kata Han, jelas baru teringat pada hal itu. Kali ini Sua meringis, tapi bukan karena sakit. "Aku tak bisa memasak." Mata Han menyipit. "Aku koki yang handal," seru Han bangga. Sua tertawa melihat tingkah Han, ia tak bisa membohongi diri sendiri betapa Han terlihat begitu imut. "Aku butuh bukti untuk memercayainya." Suara tawa Han terdengar menenangkan. Mulai saat itu tawanya menjadi salah satu hal yang paling Sua sukai di dunia. "Katakan saja padaku, Nona, aku akan memasak apa pun untukmu," suara Han terdengar menggoda. Sua tertawa geli. "Well, akan sulit mendapat pengakuan dariku." "Aku suka tantangan," Han tak mau kalah. Keduanya tertawa. Dan ketika Sua sadar, mereka sudah dekat dengan rumah. Tepat saat mobil memasuki garasi, ponsel Sua berdering. Ia segera merogoh isi ranselnya sementara Han menunggu, tak turun mendahului Sua. "Mom," kata Sua. Menjawab pertanyaan tak terucap dari wajah Han. "Halo, Mom," Sua berpaling memandang Han. Han memutar tubuh menghadap Sua. Memerhatikannya dengan seksama. Anehnya Sua tak merasa risih, entah mengira Han sedang berusaha mendengarkan obrolannya dengan Mom atau karena memang ia nyaman bersama Han. Yang jelas, Sua menyukai cara Han menatapnya seperti itu. "Iya, kami pulang bersama..." Sua mengerling jahil pada Han. "Han akan memasak makan malam." Sudut-sudut bibir Han terangkat. Sedetik kemudian ia menyilangkan kedua tangan di d**a, mengangkat dagu dan memasang raut arogan. "Mom..." Sua merengek. Berharap wajahnya tak memerah karena malu. Kening Han berkerut heran, mulutnya bergerak menanyakan "apa" tanpa suara. Sua menggelengkan kepala. Hubungan terputus. "Mom bilang akan lebih baik jika aku menanggilmu Oppa." Han nyaris tertawa. "Tapi kau terlihat tak nyaman dengan itu." Han benar. Lebih menyenangkan memanggil Han dengan namanya saja. Sebelum Sua menyadari apa yang terjadi. Han sudah turun dan berjalan memutar. Membukakan pintu untuk Sua. "Rasanya seperti memiliki supir pribadi." Han mendengus berlagak terluka. *** Tak banyak bahan makanan yang bisa Han temukan di dapur. Mengingat ia juga jarang menggunakan dapur dan satu-satunya orang rumah yang pernah belanja sudah berada di Washington. "Nanti kita harus belanja," kata Han sambil menyajikan mini kimbap di hadapan Sua. "Aku tak yakin," sahut Sua jujur. Ia belum pernah belanja untuk memasak. Mom selalu melakukannya sendiri. "Aku sungguh payah mengenai urusan dapur." "Tenang saja, ada aku," Han mendudukan dirinya di hadapan Sua. Lebar meja yang terbilang luas membuat jarak keduanya terpisah cukup jauh. Sua mengangkat wajah menatap Han sekilas. Han tak bercanda sekalipun mengatakannya sambil tersenyum. Kalimat semacam itu sesuatu yang biasanya membuat Sua mudah merasa tak nyaman. Terdengar mutlak seperti omong kosong. Tetapi kali ini terdengar lain di telinga Sua sendiri. Membuatnya lagi-lagi merasa aneh. Bukan aneh yang mengganggu, justru sebaliknya. Sua mengambil sepotong kimbap dan memakannya perlahan. Tak buruk. Han berhasil membuktikan ucapannya. Perhatian Han membuat Sua berhenti mengunyah. Dengan mulut penuh ia mendongak, menatap wajah Han dengan tawa geli tertahan. "Aku lucu, ya?" Tanya Sua, terdengar seperti orang bodoh di telinganya sendiri. Han menggeleng. "Kukira kau akan berkomentar sebelum menghabiskan semuanya." Oh, benar. Sua teringat tujuan utama Han memasak untuknya. Sua buru-buru menelan sisa makanan di mulut dan berdeham. Membenarkan posisi duduk, melipat kedua tangan dan mendongak untuk memandang langsung mata gelap Han. "Well," ia mengedikkan sebelah bahu. "Tak buruk," menyipitkan mata karena melihat ekpresi mencurigakan Han. "Apa?" "Aku hanya membuatkan kimbap untukmu. Aku rasa itu bodoh karena semua orang yang tak bisa memasak pun pasti bisa melakukannya. Kupikir kau akan memprotes karena tak memasakkan menu lain untukmu agar bisa membuktikan potensiku." Sua meringis. Ia tak tahu menahu perihal memasak. "Well, baiklah. Kalau begitu masak sesuatu yang lain untukku lain kali," ia tersenyum lebar dan memakan sepotong kimbap lagi. Raut wajah Han heran bercampur senang. Sejujurnya, tanpa pembuktian sekali pun Sua tahu Han memang handal. Ia tak tahu, lagi-lagi ia hanya memercayainya saja. "Jadi, sejak kapan kau pandai memasak?" Sua bertanya disela-sela kegiatannya mengunyah dengan tekun. Han meletakkan sumpit di meja dan berhenti makan. "Sejak kecil aku terbiasa tinggal sendirian." Sua merasa kalimat pembuka cerita Han menarik seluruh perhatian yang ia miliki. Ia ikut berhenti makan dan menyisakkan tiga potong kimbap di piring. Mengamati pahatan sempurna wajah Han, tak ingin ketinggalan satu emosi pun yang nantinya akan ia tunjukkan. "Dad mencoba mengatur agar aku tinggal dengan beberapa saudaraku," sorot mata Han meredup. "Tetapi mereka semua, bahkan yang seusia denganku sekali pun, memandangku seolah aku ini virus berbahaya. Tak pernah ada yang menganggapku sama dengan mereka," mendadak ia tersenyum seolah ingin meredakan kekhawatiran yang Sua rasakan. "Jadi aku memutuskan untuk tinggal sendiri." "Sama sekali tak buruk," Han menegaskan. "Ben dan Yuta membuat segalanya sepuluh kali lebih mudah dan," ia cepat menambahkan. "Lebih sulit dalam beberapa hal." Apa pun itu jelas bukan kesulitan yang buruk. Karena bahkan Han terlihat lebih senang saat mengatakannya. "Intinya," Han menegakkan punggung, kini ia berada di penghujung cerita. "Keadaan yang membuatku belajar." Sua menopang dagu dengan kedua tangan. Cerita Han terlalu singkat, ia ingin mendengar lebih. "Lalu bagaimana denganmu?" Sua terkesiap. Tak menyangka keadaan akan berbalik tentang dirinya. "Tak ada yang spesial dengan ceritaku," ia tersenyum, berharap tak memperlihatkan luka di wajahnya. Namun Han lebih cepat dari yang ia duga. Perubahan raut wajah Han yang seolah iba membuat Sua tersiksa. "Dengar," kata Sua akhirnya. "Jangan iba padaku, jangan mengasihani aku," ia berusaha keras agar suaranya tetap terdengar tenang. Han menggeleng pelan. "Kurasa aku hanya merasakan apa yang kau rasakan." Sua terhenyak. "Beberapa hal yang kita terima terkadang justru menyakitkan, dan lebih menyakitkan lagi karena hal itu bukan sesuatu yang bisa kita ubah," Han merenung memandang meja. Kedua tangannya yang terlipat di meja saling bertaut. "Yah, bukan sesuatu yang bagus," Sua memaksakan tawa. "Mereka semua membenciku, membenci Mom, hanya nenek yang menganggapku tulus sebagai cucunya." Lagi-lagi raut wajah yang sama, yang Sua kira semacam rasa iba. "Kakekmu?" Han bertanya hati-hati. Kali ini Sua tersenyum tulus. "Kakek meninggal saat usiaku tiga tahun, tapi aku tahu kakek adalah laki-laki yang paling mencintaiku di dunia." Sua termenung sesaat. Memandang permukaan meja yang kosong, sama seperti bagian besar dalam hidupnya. "Aku benci ayahku," aku Sua. Ia juga tak tahu mengapa ia rasa perlu mengatakannya. Hanya.. Membicarakan hal yang paling Sua benci di dunia tak terasa mengganggu bila dengan Han. Ia tersenyum getir. Di detik terakhir Sua berubah pikiran dan mengucapkan kalimat yang seharusnya menjadi kalimat penutup dalam ceritanya. "Lebih mudah bagiku menganggap orang yang kubenci sudah mati."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD