3. Peduli

1966 Words
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Pernahkah kamu selamat cemburu? Ketika orang yang kamu kenal dengan yang lain sedang denganmu dia cuek? Berhakkah kamu cemburu kompilasi dia dekat dengan yang lain sedang kamu bukan siapa-siapanya? ~ Sembunyi Rasa ~ @JisiQ Aku sedang meminta adik paling kecilku utama. Umurnya sudah menginjak dua tahun. Pintu rumah sengaja dibuka agar terang. Kalau ibu tidak ada, akulah yang harus mengasuh si bungsu. Jika dia buang udara, aku juga harus membersihkan dan mengganti pakaiannya. Tidak papa lah, hitung-hitung latihan. "Assalamu'alaikum ...." Aku yang sedang menyuapi Isya --- nama panggilan adikku --- dipindahkan pandanganku ke lawang pintu. Ternyata ada bu Meli --- ibu dari Arkan. Dia memang sering bertamu ke rumahku, sebab sudah lama sekali kami bertetangga. Aku dekat dengan Arkan, sedang ibuku dekat dengan Arkan Arkan. Tapi sekarang, hanya ibu kamilah yang masih menjalin silaturahim dengan baik. Sementara anak-anak sudah jarang berkomunilasi. Percaya atau tidak, dulu bu Meli sering sekali menjodoh-jodohkan aku dengan Arkan. Hal yang tidak pernah saya lupakan adalah kompilasi aku, Arkan, dan teman-teman satu komplek permainan gobak sodor lainnya. Aku sering terkurung dengan Arkan. Kami berada dalam satu kotak yang sama. Kami selalu menjadi bahan godaan teman-teman, kata 'cie-cie' selalu terlontar dari mulut mereka. Tapi aku senang, kami tidak pernah marah dan tetap menikmati. Itu karena kami masih bolon. Ingat akhir-akhir ini aku selalu teringat dengan masa kecilku. Itu terjadi setelah aku dibonceng Arkan dan lelaki yang diminta. "Waalaikumussalam ...." "Ibu kamu ke mana, Rum?" Aku lantas melangkah keluar, melewati adikku yang bermain dengan mainannya. Dia senang memainkan apa pun yang ada di sini, termasuk mengacak toples yang tersimpan di meja. "Lagi ke luar Bu, ada keperluan," jawabku menyetujui senyuman. "Ada apa ya, Bu?" "Ooh gitu, ya. Ini ngajak rurujakan di rumah." "Sebentar lagi pulang kayaknya. Masuk dulu atuh, Bu." "Udah, nggak usah. Eh iya, Rum, kamu prakerin di mana? Kalau si ade Arkan mah di dispora." Bu Meli malah berbelok topik. Arkan memang suka diundang 'ade' oleh komitmen. Arkan itu anak bungsu, dan dia memiliki umur yang terpaut jauh dari kakak-kakaknya. Bahkan Arkan sudah memiliki keponakan dari kakak disetujui. Makannya dia mendapat panggilan seperti itu. Karena statusnya bungsunya, yang diperlukan manja. Tapi sekarang aku tidak tahu, apakah Arkan masih sering pergi. "Rumi juga di sana, Bu." "Lho? Kok bisa sama? Janjian, ya?" Ada nada bicara yang kutangkap dari suara Bu Meli. "Ciee cieeee ...." "Ih enggak, Bu. Itu jawab dari guru," jawabku sesuai fakta. "Oooh ...." Dia tertawa. Tapi Meli itu tipe orang yang ramah dan dia juga sudah menganggapku sebagai orang yang baik. Mungkin karena saat kecil aku sudah mau jadi teman baik Arkan. Kalau sudah begitu, aku selalu ingin jadi memantunya. Eh, pikirkan apa aku ini? Walau Bu Meli jauh lebih tua dari ibuku, tapi malah awet muda. Dulu aku selalu berpikir, ngidam apa Bu Meli ini sampai bisa melahirkan anak seperti Arkan. Dari kecil saya sudah setuju karena Arkan itu tampan, senyumnya manis, dan yang paling saya suka dari analisa adalah bagian hidung. Hidungnya mancung dan berbentuk unik. Dulu Arkan suka memakai kacamata, dan itu membuat kadar ketampanannya semakin meningkat. Tapi dia tak pernah sadar akan ketampanannya. Arkano cuek soal penampilan. "Rum, Ibu mah aneh sama si ade. Masa jurusan TKJ kok malah nyasar ke Dispora? Alasannya ikut-ikutan sama temen-temennya. Arkan itu sekolahnya kayak yang asal-asalan. Heran Ibu." "Asal-asalan?" "Iya .... Kayak nggak niat. Sekarang udah kelas tiga persetujuan, malah punya rencana naik gunung lagi." Aku terkekeh. "Ibu juga udah jarang liat dia belajar. Nggak tau, deh. Padahal dulu waktu SD dia rajin." "Mungkin Arkan udah nemu jati sendiri, Bu. Atau juga dia udah nggak minat sama bidang akademi?" "Mungkin, Rum ..." Bu Meli geleng-geleng kepala. Aku mengangguk sambil sesekali melihat ke Arah Isya, astagfirullah, dia bisa membuka tutup toples dan mengacak kue yang ada di dalamnya. Pantas saja dia tidak bersuara. Isya juga berceloteh riang. "Ya udah, Rum. Bilangin ke Ibu kamu nanti ke rumah gitu, ya. Soalnya mau ngerujak bareng ibu-ibu lain. Kamu juga bisa ikut aja kalau mau. Eh, tuh adik kamu haduhh." Bu Meli melirik gemas Isya. "Iya, Bu. Nanti Rumi sampaiin. Di syaa Allah ...." Setelah itu, bu Meli pun keluar dari halaman rumahku setelah sebelumnya mengucap salam. Aku berhasil masuk, dan memarahi adikku sambil memasukkan kembali kue-kue yang rusak di lantai. "Aduh, Isya. Udah. Jangan diacak lagi. Nanti kuenya kotor." "Bu ... Bu ... Ibuuuu ...." "Iyaa nanti ibu pulang ...." Namun tiba-tiba saja adikku malah merengek. Aku menghela napas. Hari ini adalah hari pertamaku prakerin. Aku pindah pindah area sekolah. Bisa kulihat beberapa siswa sudah memakai setelan baru. Yaitu baju putih beralmamater warna biru tua, juga bawahan hitam. Mereka kelihatan keren sekali, mirip mahasiswa dan terlihat segar. Untuk perempuan, ada yang memakai kerudung ada pula yang tidak. Memilih lebih banyak siswi memilih memakai celana bahan atau rok span. Berbeda denganku, yang memakai rok tanpa menampakkan lekuk tubuh. Tapi aku tidak boleh minder. Lebih baik pede saja. Semenjak hijrah aku tidak berani memakai celana. Namun, saya tidak berani. Aku langsung menghampiri teman-temanku yang sudah berkumpul di depan kelas. Enak sekali mereka, bisa satu tempat kerja. Sedangkan aku? Harus berpisah. Semuanya melirik ke Arahku dan menatapku takjub. "Cieeee ...." "Eh, kenapa?" "Mirip orang kuliahan." "Kalian juga," balasku. "Eh, ngapain kamu ke sini, Rum? Tuh kamu gabung sama yang satu tempat latihan sama kamu," ucap Fika yang membuatku kesal. Dia seakan mengusirku sambil melempar tatapan ke seberang. Mana bisa aku langsung gabung, apalagi di sana Arkan. Bisa-bisa mati kutu di sana. "Sebentar aja, orang belum memulai, kok." "Hahaha, becanda, Rumi." "Eh, lebih baik kita foto-foto, yuk," ucap Dyah seraya mengambil ponsel di saku almamaternya. Kami pun berfoto di hari pertama kami prakerin. Bukan hanya kubu kami, yang lain pun ikut mengabadikan momen ini. Ya Allah, melepaskan lagi aku akan melepaskan seragam abu-abuku putih. Semoga Allah memberi kelancaran untukku dan yang lainnya dalam perjalanan di kelas tiga. Tak lama kemudian, datang Dian, dia teman sekelasku yang memulai prakerin di tempat yang sama denganku. "Rum, kamu juga di Dispora, ya?" "Iya ...." "Ya udah yuk, gabung sama yang berbaring." Untunglah ada Dian. Jadi aku tidak akan malu. Aku segera mengangguk, mengiyakan ajakannya. "Aku duluan, ya! Selamat berjuang!" ucapku pada Nisa, Dyah, dan Fika. Mereka merespons dengan mengangkat tangan petanda siap berjuang. "Eh, Arkan! Kalau lo dulu kelasnya di kelas gue, udah pasti pasti sekarang lo udah jadi pacar gue!" ucap Rika Saat aku dan Dian tiba di sana. Nyatanya mereka sedang bercakap-cakap. Arkan malah tertawa. Oh begitu ya tertawanya sekarang? Ternyata dia tidak sedingin yang aku kira. Mungkin akunya saja yang jadi tau saking jarangnya bertemu. "Eh pede, lo! Mana mungkin si Arkan mau sama lo! Selera dia mah berkelas, bukan kayak lo yang pendek gini!" ucap lelaki di sebelah Rika. Aku tidak tahu siapa, tapi dia pasti teman dari kelas akutansi. Rika menabok bahu teman lelakinya itu. "Heh, Dika peang! Kalau ngomong jangan sembarangan. Gue mah pendek-pendek juga laku! Hampir semua cowok yang ada di kelas Akutansi itu demen sama gue. Hampir semuanya itu gue dulu." "Enggak, tuh. Buktinya gue kagak!" "Berarti elonya nggak normal," ledek Rika. "Bukan gue yang normal, tapi merekanya yang nggak normal. Bisa-bisanya pacaran sama bogel." "Lo tau nggak, manfaatnya pendek itu apa? Awet muda!" Rika setuju dirinya. "Eh tapi ada pengecualiannya. Elo mah nggak bakal awet muda. Gimana bisa awet muda orang dandanan aja kayak tante." Untuk kedua kalinya Rika memulai bahu, kali ini lebih sulit, lelaki yang lebih dulu kudengar memiliki nama Dika itu meringisbekerja dengan umpatan. Aku serasa memperhatikan seseorang. Aku tidak tahu dia siapa. Yang jelas, dia yang berdiri di sebelahku. Ah, tapi aku tidak mau geer. Yang berdiri di sebelahku kan Arkan. Aku juga mencium wangi parfum yang sama saat dibonceng Arkan. "Hei! Rumi!" sapa Rika. "Hei," sapaku balik. "Lo di Dispora juga? Wih transisi. Kita dulu berkumpul waktu MOS. Lo masih inget gue, kan? Ternyata sekarang kita bareng lagi." "Masih, kok." "Makin cantik aja lo." Aku hanya tersenyum kikuk. Kok dia malah muji, sih? "Bisa aja." "Kenalan dulu, dong." Dika menjulurkan persetujuan. "Kenalin, gue Dika. Gue jomblo." "Eh, ngapain lo status pamerin lo?" tanya Arkan. "Modus!" "Ya kali aja dia juga jomblo. Kan bisa tuh .... Emangnya lo, Ar ?! Cemen! Pacar aja kagak punya. Makannya sama cewek tuh jangan terlalu kaku. Nggak laku kan lo!" "Wajib Dik punya pacar?" Yang kulakukan hanya menyatukan kedua telapak tanganku, "Rumi." Rika tertawa terbahak-bahak melihat Dika yang kelihatan malu lantaran aku tak membalas salamnya, padahal lelaki itu sudah menjulurkan tangan cukup lama. "Jangan berharap bisa salaman sama dia! Salaman aja nggak mau menunggu jadi pacar." "Maaf ...." ucapku tak enak. "Iya, papa kok nggak, kalem aja. Gue mah santai orangnya. Lo udah ngasih tau nama juga udah cukup. Nama yang cocok sama saja. Ayu. Nggak kayak di sebelah gue." "Emang gimana sama yang di sebelah lo ?!" tanya Rika yang mungkin tersindir. "Sangar lo mah!" "Arkan, kali-kali lo kalau mau muncak ajak gue, ya?" Giliran Dian yang bersuara. "Emangnya lo pernah ke gunung apa aja?" "Aku akan pernah ke Guntur yang ada di Garut itu. Kan liburan ke sana. Asli, bagus banget pemandangannya. Dapatkan ke sana sama sodara-sodara gue yang ada di sana." Arkan mengangguk-anggukkan kepala, mendengarkan saksama cerita Dian. "Gue juga ada rencana ke sana sih sama anak-anak." Hmmm, Dian cocok dengan Arkan, pasalnya dia juga senang hiking. Aku? Main ke curug saja sudah tepar. Eh, kenapa aku malah mencocok-cocokkan mereka, ya? "Halah, Di! Lo caper, deh!" sahut Rika. "Siapa yang caper?" tanya Dian. "Gue cuma nanya, Rik. Eeeh suudzon ae lo mah!" Waktu sudah menjukkan pukul tujuh. Kami pun mulai berangkat. Kebetulan saat kami akan melangkah, satu anggota lagi datang. Dia teman dekat Arkan. Ketiga cowok itu berjalan mendahului aku, Dian, dan Rika. Kulihat Rika yang berkaca di hapenya. Hmm, dia masih saja suka itu. "Tumben nggak bawa motor, Ar," katanya bawa --- Fikri. "Biar solideritas. Masa yang lain pakek angkot gue pakek motor sendirian?" "Cakep!" Setelah sampai di pinggir jalan, kami menunggu angkutan umum yang kosong, karena kami berenam. Kalau saja tidak ada halangan, kami pasti diantar guru pembimbing ke tempat prakerin. Setelah angkot berhenti, kami naik satu per satu. Tapi tunggu ... ada yang tertinggal. "Bentar, Mang!" teriak Fikri kompilasi angkot akan melaju. Kulihat Arkan sedang membantu anak SD menghubungkan jalan dengan hati-hati. Sorot mataku berubah, tangan Arkan mengusap pucuk kepala bocah SD yang diikat dua itu. Arkan, dengan setelan almamaternya, baru kusadari, dia semakin membuatku ingin terus mendapatkan. "Si Arkan sempet-sempetnya bantuin," komentar Dika. "Yeeeh !!! Itu artinya di peduli! Emangnya elo ?!" sungut Rika pada Dika. "Santai broo ... Santai ...." Arkan pun naik menuju angkot, lalu naik. Sialnya, dia duduk di sebelahku. "Maaf..." "Nggak usah maaf, bagus kok, nolongin anak kecil," ucapku pelan, kulempar pandangan ke jendela. "Ar, lo udah cocok jadi bapak! Tinggal cari istri, gih! Sedih gue liat lo!" kata Dika, padahal Arkan belum pernah membalas ucapanku. "Enak aja lo kalau ngomong! Ngapain sedih?" "Ganteng-ganteng jomblo .... Eaaakkk ...." "Parah si Dika," ucap Fikri tak habis pikir karena Dika berani mengejek Ikut sendiri. "Si Dika gelo maneh !" sambung Rika. Dasar dia, omongannya memang selalu kasar. "Ihh, Ar! Suer! Beneran dah, lo udah cocok jadi bapak!" "Terserah lo, Dik! Terserah, terserah ...." Aku tahan melihat teman Arkan itu. Bisa-bisanya Arkan berteman dengan lelaki seperti dia. Meskipun dingin, jiwa kepedulian Arkan itu kuat. Itu yang aku suka darinya. Angkot berhenti alasan ada beberapa penumpang baru. Ada anak sekolah, dan ibu yang menggendong putrinya. Tempat duduk kian dipadati penumpang. Otomatis, posisi duduk. Hingga pada akhirnya, menantang nempel di tubuhku, Sebagian besar pada bagian lengan. Aku mematung. Seperti tersengat listrik. "Maaf ya?" katanya. "Maaf?" Apa maksud kata maaf darinya? Setelah beberapa menit berlalu. Dan Arkan memilih menjauh tanpa menjawab pertanyaanku. Kutatap punggungnya penuh tanya. Maaf kalau nggak seru, ya. Aku kesulitan membangun karakter tokoh dan bikin ceritanya hidup. Jujur aku kesulitan menulis cerita ini. Aku lagi belajar. Maaf yaa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD