Chapter | 2.1

2491 Words
Ford Apartement London, United kingdom      Upaya dalam memecahkan jalan untuk memahami arti yang ia rasakan benar-benar tak terbentuk oleh kualitas otak cerdasnya. Kecantikan para wanita asing yang ia sewa tak mengagumkan tangkapan pupil nya, bahkan keanggunan berbalutkan keseksian dua mantan pendamping hidupnya tak membuat Gerald terperdaya. Namun tidak ketika malam itu, pemaksaan dalam membebaskan hak beserta lintas makna dan sensasinya sangat berbeda. Lebih tepatnya, luar biasa.      Warna biru mengalahkan kedalaman palung dan zona kemegahan kota di Uni Eropa tak beranjak dari kenyamanan kamar penthouse dengan meneliti tiap pejaman mata Nessa, ia memainkan bentuk helai yang menggoda. Mencium aromanya bahkan Gerald mengecup mesra bibir istrinya. Ketika pandangan yang indah melebihi bangunan ataupun karya seni tuhan telah melampaui batas waras Gerald, ia mengerjap pelan memperhatikan air mata yang bergulir mengenyampingkan ambisinya, 'kenapa kau selalu menangis Honey? Aku bukan orang lain untukmu' Ibu jarinya mengusap air yang lancang untuk memperdaya perasaan dalam tiap lelap istrinya.      Bulir bening itu kembali menetes seolah menegaskan perihnya luka yang menganga, Gerald mengikat ingatan akan bentuk cair yang bebas merangkai kesedihan Nessa. Namun tidak! Gerald meraih segala kekuatan dalam kuasanya, ia mengusir rasa jiwa yang terbelenggu dan beranjak dari ranjang meninggalkan bekas pemuas nya. Tatapan Gerald mengarah pada bentuk bangunan yang menjulang seakan merobek warna keemasan langit beserta cakrawala maya, mengubah posisi daya ingat yang terkubur dengan kunci keegoisan bahkan kemunafikan di bawah senja kota London.      Gerald melirik bentuk seksi yang tengah terlelap dalam tidur, ia tersenyum kecil sembari meraih ponsel di saku celana, mencari nomor kontak orang kepercayaannya,      "Kau sudah mengurus semuanya?" Gerald enggan menyambut ucapan basa-basi sapaan anak buahnya.      "Sudah tuan! Aku telah mengurus semua alih kuasa kekayaan anda." Nafas berat yang teramat rumit membentuk kisah Gerald.      "Bagus!" Gerald melempar ponselnya kearah sofa, kembali pada keindahan gedung-gedung pencakar langit.      Edaran mata pria berkebangsaan Inggris berdarah Indonesia itu menciut akan pertahanan asa yang mengikuti jejak masanya. Berusaha bangun dan terus berjalan menuju kesadaran hidup sepelan apapun. Sejengkal demi jejaknya menjadi langkah pasti dengan rumah tangga barunya. [...]      I'm not the sun with its warms, a moon with light at end of the dark, or a small candle with a luxurious golden glow. I only resemble an intangible dream with empty hopes in it because I'm an illusory body      Suara denyitan pintu membuat Nessa menyembunyikan tiap kata yang tercorert di atas buku hariannya. Menoleh arah suara pintu terbuka, dan Nessa tak merisaukan wujud yang mendatangi,      "Tuan menunggu anda untuk makan malam Nona." Lelaki monster itu! Ya, tentu penguasa tubuhnya selalu dengan mudah meluruskan pintanya dari Nessa.      "Aku tidak lapar!" Tetiba telepon konvensional berdering, Nessa meraih gagangnya didekat tempat tidur.      "Keluar! Jangan sampai aku menyeret mu hingga menuju lantai bawah." Nessa terkejut dengan suara lantang di pendengaran.      Tanpa jawaban berarti Nessa menjumput kain wool sekedar menghangatkan jiwanya. Ya, karena suhu tubuh Nessa tak lagi dapat membedakan kehangatan atau sebaliknya. Tubuh kecilnya telah mati.      Dengan langkah menuruni anak tangga, Nessa tak berani menentang peraduan mata biru berkelas, ia tertunduk sembari menarik kursi tersembunyi dibawah meja makan,      "Maaf aku terlambat!" Nessa ingin mencabik raut Gerald yang menempatkannya di atas pangkuan.      "Ada hadiah untukmu, Honey!" Gerald menggerakkan jari telunjuk pada pelayan menyiapkan menu malam ini.      Nessa memperhatikan bentuk tipis berlayar canggih serta kotak panjang berwarna hitam dengan aksen pita merah yang mengokohkan keangkuhan dengan ketamakan pria yang tengah membelai rambut hitamnya.      Tanpa mengijinkan Nessa terbangun dari rengkuhan tangannya, Gerald meraih kotak sedang dan meletakkan diatas meja makan. Menjumput bentuk tipis canggih berlogo apel di belakang badan perangkat menggunakan sistem khusus dengan jemarinya,      "Apa ini?" Nessa tak langsung menyentuh bahkan berkeinginan mengetahui makna tablet komputer di depannya.      "Pilih salah satu yang kau inginkan!" Gerald mengeratkan pelukannya, meraba bentuk montok d**a Nessa.      Kedipan pelupuk matanya terhenti akan tatapan yang menjengkelkan, ia terdiam dan hanya terpaku pada dua benda yang tak Nessa ketahui akan membawanya entah kemana. Namun Gerald terus menggila dan mulai membuka dress bagian bawahnya, membelai pahanya yang mulus dan Nessa mengikuti alur pikirannya untuk meraih tablet komputer.      Meski ia telah mendapat banyak hadiah-hadiah menarik dengan kemewahan tiada banding dengan nilai fantastis, bentuk desain gaun yang berkelas serta berkelanjutan dengan alas ternama rancangan desainer dunia. Namun layar canggih yang berada di genggaman tak dapat Nessa mengerti,      "Bukankah aku sudah memilikinya?" Gerald tersenyum simpul membiarkan Nessa menerka nya.      Nessa menekan tombol pembuka ruang aplikasi yang telah Gerald persiapkan, menekan beberapa pergeseran. Entah berapa ribu kata yang tertera, namun Nessa hanya mampu memperjelas matanya kemudian menatap wajah Gerald,      "Ini? Benar-benar tertuju untukku?" Nessa kembali pada uraian kata dengan inti pengesahan salah satu Universitas besar di kota London.      "Ya! Itu memang tertuju untukmu, Honey!" Gerald tak percaya akan senyuman itu, tampilan gigi putih kecil memancarkan keindahan.      Tanpa kesadaran akan semua hidup yang telah Nessa lalui beberapa hari terakhir, hanya dengan layar berukuran besar di genggaman ia bangkit dari pangkuan Gerald. Memperjelas kesenangan dan Nessa memeluk erat tubuh Gerald, menyamankan diri di atas pangkuan untuk saling berhadapan.      Mata yang mampu menyeret menuju arus lautan terdalam serta membuat siapapun tenggelam oleh kesulitan hanya terdiam. Tak membalas pelukan Nessa namun degupnya semakin keras, menembus batas kuasa menakjubkan hari ini. Ya, waktu dimana wajah tampan berambut cokelat terang itu mengerjap tak mengerti artinya, 'apa yang sedang gadis kecil ini lakukan? Dan apa yang tengah terjadi? Perasaan apa ini?' Gerald membelai pelan rambut Nessa, halus hingga sidik jarinya tak merasakan sensasi menyentuh apapun. Namun sekejap kodrat itu merogoh hati Gerald dan ia meletakkan tubuh elok Nessa diatas meja makan, memandang lekat mata serta wajah menyerupai sisi bibir pantai yang hangat,      "Sekarang kau buka kotak hitam itu!" Pancaran sinar mempesona berwarna biru itu menekan perasaan Nessa, dan ia memperhatikan bentuk panjang memiliki tudung.      "Apa lagi ini? Aku bukan toko perhiasan berjalan tuan Gerald!" Tak ada jawaban, Gerald setia dengan pandangan matanya.      'Ini bukan mengenai kecantikannya. Keseksian bahkan apa saja yang melekat pada diri gadis ini, tapi apa?' Hati itu tak menemukan penjabaran dari berbagai macam teori, rumus bahkan asas dasar penyatuan dua sisi otak Gerald.      Merasa sunyi dengan suasana dan Nessa tak menginginkan monster mengerikan di depan mata berusaha melahapnya kembali. Ia meraih kotak memiliki pita merah diatas tudungnya, membuka pelan dan ia tak pernah bisa mempercayainya. Nessa tak memberanikan diri untuk melintasi iris berwarna sedalam samudera.      Gerald meraih dagu Nessa menempatkan ujung hidung saling bersentuhan, membidik sasaran siap menerima keganasan Gerald,      "Bisa jelaskan apa itu?" Tidak hanya ingin menikmati, Gerald menginginkan seluruhnya. Ya, semua yang ada pada diri Nessa.      Nessa menahan diri dari air matanya, lirih melantunkan kesedihan dalam ancaman,      "Aku tidak suka mengulangi pertanyaan ku lagi!" Nessa mengerjap dalam genangan air tersembunyi di pelupuk matanya.      Gerald memberikan belaian pelan pada rambut Nessa, semakin mendekati wajah cantik yang kini menahan tubuh dengan tekanan kedua tangan,      "Ternyata kau bukan gadis naif yang selama ini aku kira. Hanya tubuhmu saja yang masih asli tapi otakmu lebih picik dariku, Honey." Nessa menitikkan air mata dan sulit mempertemukan pandangan didepannya.      "Aku akan membuatmu menangis darah, Vanessa." Gerald menarik tablet komputer dari tangan Nessa, mencari tujuan nomor kontak dan menulis pesan singkat.      Nessa menggeleng lemah namun terlambat untuk mencegah dan ia menjerit keras ketika Gerald membanting benda canggih berfitur di atas lantai. Nessa menggigil hebat ketika Gerald mengeratkan jemari saling mengepal, menegaskan perasaan marah mengusaikan wajah teduhnya,      Gerald mempertahankan kekuatan dalam menguasai kemurkaan, ia menciutkan kelopak mata dan kembali mendatangi letak wajah yang berkeringat serta memejamkan mata, "sejam lagi kedua kakakmu akan menghuni penjara paling menyakitkan di dunia ini." Nessa terisak tak mampu menyaingi tatapan Gerald.      "Aku tidak akan melakukan hukuman apapun saat ini, tapi berhati-hatilah dengan obat kontrasepsi itu," Gerald menarik rambut Nessa pelan, membuat wajah itu menengadah tepat di depan matanya, "jika kau masih menggunakannya, aku pastikan kedua kakakmu binasa dengan semua perbuatannya. Mengerti little wife?" Gerald mengeratkan jemari untuk membuat bibir Nessa ternikmati, menggigit kecil dan menariknya hingga bernada kecapan berarti dengan lidahnya. Fitzrovia, University of London      Nessa menuruti semua langkah Gerald menerjang para mahasiswa yang tengah memperhatikan kedatangannya, tanpa gusar akan tatapan berbinar dalam warna yang berbeda, Nessa memutar arah tubuhnya sekedar melihat seluruh bangunan. Besar, kokoh dengan kualitas sentuhan desain jaman dulu di negeri pangeran William.      Meski Gerald meraih tangan Nessa dengan keras, namun manik mata dasar warna coklat itu enggan melepaskan pandangan. Menengadah menatap gedung kampus ternama nan megah di kerajaan bersatu Britania raya atau dalam bahasa awam Indonesia ialah Inggris,      "Cepat!" Gerald meraih pinggang Nessa, ia tak perduli berbagai terkaan mengenai hal itu. Ya, Gerald malas mengkaji berbagai macam cara berpikir orang mengenainya.      Nessa mencegah ringan rangkulan tangan Gerald, menetap pada penglihatan dalam dalihnya. Telah dipastikan jika monster rupawan itu tak mungkin menuruti perintahnya dan Nessa terkagum akan arsitektur dalam aula gedung menuju ruangan,      "Ke mana Anda akan membawaku?" Gerald berjalan cepat, tanpa menjawab atau meneliti tiap kali Nessa menatapnya.      'Laki-laki monster ini emang sulit dimengerti! Dia jahat dan p*****l, tapi... 'Kok dia mau kasih fasilitas pendidikan buat aku? Di universitas bergengsi seperti ini lagi?' Tak jarang Nessa sering mencuri pandang untuk melihat kibasan bulu lentik hitam dengan alis tebal beserta warna biru yang mengkilat,      "Dengan siapa si tampan Ford itu? Pacar baru atau simpanannya saja?" Hell! Nessa menoleh arah beberapa mahasiswa yang menatapnya sinis, dan Nessa memperhatikan letak gaya pakaiannya. Blazer Channel dengan rok panjang menutupi lutut.      "Apa penampilanku aneh?" Gerald melirik singkat, mengernyit heran akan pertanyaan gadis kecilnya.      "Tidak! Kau kampungan!" Nessa ternganga, melihat Gerald tetap menatap arah lurus dan berjalan cepat.      Nessa tak menanggapi apa yang monster sempurna itu katakan, ia membenarkan letak rambut terkena angin membuat kibasan indah pada surai panjang.      Tiap tutur kata berbeda dengan lubuk hati telah Gerald raih, ia memperhatikan wajah yang tersibak pada tiap helai yang melambai seakan mengundang daya pikat tersendiri. Gerald mengeratkan pelukan, senyum seduktif itu nampak menarik.      Masih dengan sejuta perasaan yang sulit terjangkau nalar, Gerald tak memperhatikan beberapa hal yang menghalangi jejak dan tanpa sengaja ia menangkap tubuh seksi yang menubruknya,      "Oh, maaf saya tidak sengaja." Nessa menyeka wajah tertutup helai yang menghalangi, memperhatikan wajah Gerald memfokuskan perhatian.      Wanita elok dalam rupanya tak menarik pandangan mata pada wajah Gerald, terpaku hingga tak menyadarkan lamunan kepada Nessa.      Dua insan yang bertukar sapa dengan perantara mata itu tengah mengatasnamakan kebimbangan Nessa terutama ketika mata biru Gerald begitu lekat. Meski tak mengerti akan arti tuhan memberikan pemikiran, Nessa hanya mampu memainkan kancing baju hangatnya,      "Hai Gerald apa kabar?" Nessa merasakan jemari Gerald terlepas dari pinggangnya, tersenyum lebar menerima kecupan mesra dikedua sisi muka.      "Baik! Bagaimana kabarmu Ariana?" Gaya mewah dengan setelan jas dark blue serta aksen berlian melingkar di leher itu membuat Nessa tak berkedip. 'Wanita ini cantik banget! Monster itu jadi tambah nyeremin'      "Perkenalkan, ini istriku." Nessa menatap Gerald secara tepat, tak mengerti ketika monster sial itu mengecup pelipisnya.      Wanita yang begitu indah pada alis tebal dan mata yang teduh, tersenyum manis menyambut baik dengan menyodorkan tangan, "hai! Aku Ariana Rosell."      Nessa melepaskan seluruh rengkuhan tangan Gerald, menempatkan jemari lentiknya menyatu dengan Ariana, "Vanessa Nathania." Kulit yang begitu lembut dan halus terasa di genggaman Nessa, ia tak mencabut tatapan pada Ariana.      "Dia yang akan membimbing mu di kampus ini, Honey." Gerald meraih pundak Nessa, mengecup lembut keningnya.      Ariana meluruhkan batin pada gerakan kornea nya, ia melihat sudut ruang kerjanya, "mari ke ruangan ku!" Ariana menunjuk pada pintu besar yang sedikit terbuka di ujung koridor kampus.      "Aku tidak bisa lama-lama, kau masuk saja, Honey! Aku akan menjemputmu saat jam makan siang." Gerald menggeser letak tubuh mungil nampak tak nyaman dengan pelukannya.      Tanpa menoleh tiap mahasiswa berlalu lalang, Ariana memejamkan mata sembari menyisir rambut dengan jemari. Membuka mata, dan masih sama. Ia merelakan kegiatan mesra Gerald mencium bibir Nessa, lekat dengan durasi yang cukup lama.      Nessa melirik wajah cantik Ariana tersenyum memperhatikan kenakalan monster yang begitu asyik dengan bibir dan lidah Nessa. Ia mendorong tubuh Gerald, namun sia-sia, dan Nessa hanya memejamkan mata meredam rasa malu akan perhatian serius Ariana.      Degup untuk memompa darah menuju sel-sel tubuh kian giat. Cepat dan terasa mendebarkan layaknya petir yang akan menggelegar di suatu keadaan tertentu. Bibir mungil ini, bentuk spektakuler di pinggang menyatukan kedua paha dan pangkalnya begitu menagih kan tiap keinginan Gerald,      "Aku bisa pulang sendiri nanti." Nessa menatap wajah Ariana yang tak beranjak dari tatapan. Ia tersenyum menghalau semua rasa risih nya.      "Jangan! Aku akan menyuruh Paul menjemputmu." Gerald menilik arloji menunjukkan bahwa waktunya begitu menipis.      "Aku titip gadisku bersamamu Ariana, awasi dia!" Nessa menggeleng singkat sembari melihat Ariana tersenyum kecil dan mengangguk.      Tak merelakan sedetikpun pada detail yang kini meninggalkannya, Nessa hanya mengedarkan pandangan mengintai pada tiap bangunan yang masih membuatnya takjub,      "Vanessa, bisa kita mulai sekarang? Aku akan membimbing mu menjadi mahasiswa baru disini." Nessa terperanjat sesaat dan mengikuti jejak petunjuk Ariana.      Pintu kokoh dengan kayu besar kuat itu terbuka dan memperlihatkan ruang kerja Ariana berukuran sedang, tak terlalu mewah namun hiasan langit-langit berwarna putih bersih dan dinding tertempel beberapa gambar ilusi optik,      "Keren!" Nessa mengangkat kedua ibu jari, menunjukkan kekaguman.      Ariana menarik kursi bertangan untuk Nessa, tersenyum sembari membuka lembaran dokumen diatas meja,      "Baiklah, kita mulai dengan..." Ariana meluruskan pandangan kearah Nessa, kembali pada identitas Nessa.      "Indonesia? Delapan belas tahun?" Nessa tergugah melihat raut yang nampak heran, ia menempatkan badan untuk kenyamanan duduknya.      "Ya itu negara asal di mana aku dibesarkan, ada masalah dengan usiaku?" Ariana menggeleng singkat, membuka lembaran yang lain.      "Gerald tidak, ah maksudku tuan Ford tidak menetapkan jurusan untukmu Vanessa. Silahkan kau..."      "Humaniora." Lekat, tatapan Ariana terbalas mata Nessa yang memburu berbagai lukisan.      "Wow! Kau akan menjadi mahasiswa dengan nilai-nilai manusiawi didalam hak rupanya?" Nessa terpaku pada ucapan Ariana.      "Ya, aku menyukai ilmu filsafat." Nessa tertunduk, namun segera bangkit enggan menanggapi kesengsaraan.      Asasi! Apakah benar yang telah Nessa tetapkan untuk memperdalam ilmu kemanusiaan dengan mencakup filsafat? Nessa tak mengenal lebih dalam mengenai asasinya, hak-hak yang patut ia perjuangkan. Kodrat wanita yang kukuh dengan pendirian serta menolak penindasan. Ya, asasi hanya wujud mustahil bagi kehidupan tak berarti untuk Nessa,      "Kau akan mulai kuliahmu Minggu depan!" Ariana meringkus beberapa benda tipis di atas meja, tersenyum kecil dan bangkit.      "Aku ada kelas sebentar lagi, kau bisa jalan-jalan disekitar kampus! Jika kau butuh bantuan, jangan sungkan untuk menghubungi pihak kami Vanessa!" Ariana tersenyum dan menciptakan satu jejaknya.      "Apa kau mengenal Gerald?" Ariana mematung mendengar suara tak mengenal basa-basi.      Senyuman ringan disertai memeluk buku tebal di dasar perut membuat Nessa mengernyit, ia menanti sebuah jawaban yang entah hasil dari pertanyaan secara alami dan lantang didalam pikirannya,      "Ya, aku mengenal suamimu. Memangnya ada apa Nessa." Nessa menggeleng cepat, melihat Ariana menarik laci meja.      Mata indah Nessa menetapkan sodoran benda ringan dengan wujud kertas berupa gambar pasangan pengantin, "siapa ini?" Nessa menyambut baik kedatangan foto milik Ariana.      Nessa terbelalak melihat wajah tak asing dengan sorot dalamnya lautan yang telah menenggelamkan tubuh dan menyisihkan kepalanya, "k... Kau, istri Gerald?" Ariana kembali melangkah santai dan tersenyum manis.      "Lebih tepatnya mantan istri." Ariana menarik gagang pintu dan berlalu pergi.      Dua tubuh yang saling bertemu dengan sebuah pelukan hangat, tersenyum meluapkan emosi bahagia berupa sambutan taburan bunga di atasnya. Meriah ketika kehadiran saksi tuhan mengikatkan tali pernikahan dan Nessa terduduk dengan satu rasa yang berbeda ketika menatap secara jelas wajah tampan suaminya di dalam foto kenangan milik Ariana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD