1. Sial

2031 Words
"WOY! Badan doang gede tapi beraninya cuma sama cewek. Lawan gue sini kalau lo emang laki!" Preman berbadan kekar yang tengah memalak seorang wanita di depan gang itu lantas menoleh marah. Dia menjatuhnya begitu saja tas yang dia bawa lalu berjalan mendekati seorang cowok SMA bertubuh tinggi kecil yang mau sok-sokan melawannya. "Bocah ingusan jangan sok ikut campur!" "Kebiasaan orang sekarang yang hanya menilai dari cover tanpa melihat isinya." "Banyak bacot lo!" Cowok SMA itu tersenyum miring. "One by one om?" "Siapa takut!" Dan perkelahian itu tak bisa lagi dihindari. Dia adalah Ezzalian Bara Gelviore, panggil saja Eza. Murid SMA Pelita yang terkenal dingin, namun sekalinya bacot, semua kata-kata pedas akan keluar dengan sendirinya menyerbu setiap hati yang tengah mencari gara-gara. Eza tipikal cowok yang pintar dan disiplin, dia juga cuek, tapi secuek-cueknya Eza tak membuat cowok itu lupa akan kewajiban menolong sesama. Bugh! Eza berhasil membuat preman itu tersungkur karena tendangan telaknya yang mengenai perut. Nafas Eza naik turun kelelahan. Tatapan tajam menyoroti preman itu dengan menyeramkan. "Udah bau tanah tuh harusnya Om tobat. Cari uang yang halal! Bukan malah merampok cewek kayak gini." Uhuk! Preman itu terbatuk sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. "Saya rasa ini udah cukup buat Om sadar. Cabut sana sebelum saya patahin tulang-tulang keropos Om itu." Preman berbadan kekar itu berlari ketakutan. Pandangan Eza lalu tertuju kepada sosok perempuan yang kini sedang menatapnya dengan mulut bergetar. Eza lantas mendekat, memunguti setiap barang yang kececeran lalu memberikan semua itu kepada pemiliknya. "Huh! Untung masih lengkap," ujarnya. "Lain kali Tante kalau mau pamer perhiasan lihat tempat. Udah tau jalanan sepi gini, nggak bakal ada yang lihat juga kecuali preman sialan tadi," balas Eza. Merasa tersindir, perempuan itu menatap Eza tak suka. Hingga tak lama ada sebuah angkutan lewat, dan dengan cepat perempuan itu mengulurkan tangannya agar kendaraan itu berhenti. Dia meninggalkan Eza begitu saja. Eza kesal? Tentu saja! "BILANG TERIMA KASIH AJA CUKUP KALI TAN!" teriak Eza saat kendaraan itu mulai berjalan pergi. Eza dapat melihat si perempuan tadi menengok ke belakang, tak lama lalu dia kembali memalingkan muka. Terdengar helaan nafas dari Eza, dia melirik jam tangan hitam yang saat itu melingkar di lengan kirinya. Kedua bola mata Eza sontak membulat. "Anying! Udah jam sembilan aja." Dengan panik Eza segera berlari menuju motornya. Menyalakan mesin itu lalu melajukannya dengan kecepatan tinggi membela jalanan kota Jakarta. Dalam hati Eza terus mengumpati perempuan tadi, Eza menyesal telah membantunya. ***** Pukul sembilan lewat sepuluh menit motor Eza telah sampai di depan gerbang SMA Pelita. Kepanikan Eza kian bertambah saat melihat gerbang itu yang telah tertutup rapat. Lantas Eza segara turun lalu berjalan mendekat. Kakinya sesekali berjinjit untuk melihat ke dalam apakah ada orang yang bisa dia minta tolong untuk membuka gerbangnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dari dalam gudang perkakas muncul Pak Ali si tukang kebun sekolah berjalan ke depan mendekatinya sambil membawa selang panjang. "PAK ALI! Pak! Suut ... suut ...! Pak!" Pak Ali yang ada di dalam sekolah celingak-celinguk mencari sosok yang meneriaki namanya. Matanya memicing saat melihat ada seseorang yang melambai-lambaikan tangan di depan gerbang. Dengan cepat Pak Ali menghampirinya. "Ealah! Mas Eza toh, Bapak kira siapa!" ujar Pak Ali kecewa. "Ngapain jam segini masih di depan situ? Nggak masuk?" tanyanya kemudian. "Ini baru mau masuk, bukain dong Pak." Pak Ali melengkungkan bibirnya ke bawa saat melihat motor Eza juga ada di sana. "Baru datang ya? Telat ya?" "Iya, dikit doang." "Dikit doang, eh, kalau telat semenit dua menit saya bisa masih bisa bantu, tapi kalau dua jam? Mohon maaf banget Mas Eza, peraturannya kalau telat silahkan kembali pulang." Eza berdecak kesal mendengarnya. "Ck, saya tuh nggak telat, cuma tadi ada insiden kecil di jalan jadi ya datangnya agak lama." "Sama aja toh? Sampai sekolahan tetep jam sembilan? Lebih malah, kamu pikir ini sekolah milik kakek buyut kamu jadi bisa datang seenak jidat?" "Ayolah Pak kerja samanya," rengek Eza. "Saya juga minta kerja samanya, kalau saya masukin kamu ke dalam sekarang, bisa-bisa jabatan saya di cabut. Udah mending balik pulang sana," usir Pak Ali dengan teganya. Eza menghela nafas kasar, mengalihkan pandangan sambil berpikir bagaimana caranya dia agar bisa masuk ke dalam sekarang. Masalah waktu terus berputar, kalau dia sampai telat masuk hingga waktu istirahat lewat, bisa-bisa absennya hari ini dia tulis A. Mana mau Eza mengotori reportnya dengan tulisan seperti itu. "Pak?" panggil Eza kemudian. "Apa?" "Emm ... bentar," Eza lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. "Nah, ini saya ada duit 200 rebu, lumayan buat beli permen, kopi sama rokok. Mau nggak?" Seketika mata Pak Ali berubah ijo! Langsung dia mengangguk antusias. "Mau! Mau!" "Syaratnya biarin dulu saya masuk. Ya?" "Tapi ...." "Pak, rejeki nggak bakal datang dua kali, jadi jangan di tolak. Nih ambil." Benar juga, Pak Ali langsung hendak meraih uang yang ada di tangan Eza tapi dengan cepat Eza menariknya lagi. "Buka dulu gerbanganya," ujar Eza. Dengan malas Pak Ali pun nurut dan gerbang sekolah terbuka. Eza bersama motornya lalu masuk, tak lupa juga dia memberikan uang 200 ribu tadi kepada Pak Ali yaa anggap saja sebagi ucapan terima kasih. Saat sampai di parkiran, Eza kembali melirik jam tangannya. Sudah pukul 9.30 dan setengah jam lagi istirahat. Sangat nanggung kalau masuk kelas, belum lagi kalau ketahuan resikonya akan dua kali lipat. "Mendingan gue cabut aja," gumam Eza. Yah, Eza memilih untuk melanjutkan membolos, namun sebelum itu dia sempat memberi pesan dulu kepada kedua temanya untuk titip diabsenkan dengan alasan dia tengah berada di UKS. Eza lalu memakai tasnya hanya di satu bahu. Cowok itu berjalan mengendap-endap, harusnya di jam seperti ini semua guru sudah dan masih berada di dalam kelas. Karena terlalu fokus memperhatikan sekeliling Eza jadi lupa untuk melihat depan. Alhasil, Bruk! Eza terjatuh setelah menabrak sesuatu. Cowok dengan poni menutupi dahi itu meringis kesakitan, lalu pandangannya beralih melihat apa yang dia tabrak. Ternyata seorang cewek, dia juga terlihat sibuk memunguti bukunya yang berjatuhan. Segara Eza berdiri menatap cewek itu tajam. "Punya mata nggak sih lo!" bentaknya. Cewek itu mendelik tak terima. "Eh! Jelas-jelas lo yang jalan nggak pakai mata b**o!" "Nyolot lagi. Orang lo yang salah juga!" "Lah enak aja nyalahin gue. Eh gue tau ya lo jalan sambil lihat kanan-kiri tanpa lihat depan, sekarang siapa yang salah?" "Lo lah!" "Kok gue?" "Terus siapa? Eh, lo kan udah tahu gue mau lewat sambil meleng, kenapa nggak minggir? Cari-cari kesempatan lo ya?" Cewek itu mengeram kesal. "Cari-cari kesempatan juga lihat cowoknya. Kalau modelan kayak lo sih ogah!" katanya sambil memutar kedua bola mata jengah. "Serah! Minggir sekarang!" "Dih, lo aja yang minggir, samping lo masih lebar tuh!" "Minggir nggak?" "Emang cowok suka cari ribet ya." "Lo tinggal minggir apa susahnya sih!" bentak Eza kesal. "Lo sendiri tinggal lewat samping apa susahnya ha? Ngaca sebelum ngomong!" "KAYLA! EZA!" Damn it! Refleks keduanya langsung menatap ke satu arah. Dari arah belakang Eza berjalan seorang guru berpawakan gempal sambil membawa buku jurnal besar dan penggaris coklat panjang. "Mampus!" desis Eza. Melihat Eza yang ketakutan dan juga tas yang masih tersimpan di bahunya Kayla pun memiliki ide yang brilian. Tepat saat Eza akan kabur, cewek itu langsung menahan lengannya kencang. Bahkan Kayla sampai membiarkan bukunya berserakan karena saking niatnya untuk balas dendam. "Lo apa-apaan sih! Lepas nggak!" Bukannya melepaskan, Kayla malah mengulurkan lidahnya meledek. "Bodoh amat! Biar lo di hukum sama Pak Agung!" "Anjing lo ya!" umpat Eza. "I don't care." "Kena kamu! Pasti kamu telat kan?!" Kyaa! Kayla langsung melepaskan tangan Eza saat telinga cowok itu sudah berada di jeweran Pak Agung. Kayla tersenyum puas. "Rasain!" katanya. "Awas aja lo!" "Sekolah berangkat jam sepuluh kamu kira ini sekolah apa? Dasar anak nggak disiplin," omel Pak Agung sambil membawa Eza pergi dari hadapan Kayla. Kayla tertawa puas. "Siapa suruh mulai duluan," gumam Kayla. ****** Kelas XII-IPA2, kelas seorang Ezzalian kini tengah ribut karena jam istirahat tengah berlangsung. Terlihat Eza yang jalan dengan sempoyongan masuk ke dalam kelas lalu langsung menuju bangkunya dan duduk begitu saja dengan malas. Hukuman yang dia terima tadi sangatlah tak masuk di akalnya. Yang benar saja dia di suruh mengumpulkan dan membedakan warna daun yang berjatuhan dari pohon. "Sekolah masuk jam tujuh tapi anak ganteng ini malah berangkat jam sepuluh, emang bener-bener kayak anak Presiden lo lama-lama. Suka seenak jidat." Mendengar ocehan dari Leo langsung membuat cowok itu menatap Leo sinis. "Banyak bacot lo!" umpatnya. Leo dan Rendy, kedua temannya itu kini saling tatap tak mengerti. Kalau mereka sudah sering mendapatkan bentakan seperti itu mangkannya kebal. "Itu pelipis kenapa lagi lo plester?" tanya Rendi. Terdengar helaan nafas dari Eza. "Bisa nggak usah banyak tanya?" Rendi mengangguk anggukan kepalanya lalu dengan sengaja Leo memukul lengan Rendi pelan membuat cowok itu menatapnya. "Jangan banyak tanya Ren, kayak wartawan lo entar," ujar Leo. Rendi menghela nafasnya kasar. "Eh balok es, mau ikut gue nggak?" tanya Rendi. "Gak." Leo yang melihat itu refleks hampir tertawa. "Ck, padahal gue mau bawa lo berjemur di luar mumpung panas nih, siapa tau di sana es lo cair." "Lo kata si Eza es krim ha? Ngadi-ngadi nih anak," balas Leo. "Lagian heran banget gue sama diri sendiri, kenapa gitu loh bisa betah sama modelan kayak gini. Sungguh bukan tipe teman yang menyenangkan." "Eh, Ren, gini-gini si Eza itu beda dari yang lain, harunya lo bangga bisa temenan sama dia." Lalu Leo menatap Eza dengan sebelah alis terangkat. "Iya kan Ez?" tanya Leo. Eza melirik sekilas. "Nggak," jawabnya singkat. Saat itu juga tawa Rendi pecah, dia sampai kelepasan menggeplak kepala Leo. "Anjir sakit ogeb!" sentak Leo. "Sorry, lagian nih ya, Eza itu sebenernya nggak mau temenan sama lo, cuman dia itu kasihan." "Sembarangan!" protes Leo tak terima. "Gue juga sebenernya nggak sudi temenan sama lo Ren, mending Leo kemana-mana lah. Seenggaknya dia nggak tukang malu-maluin kayak lo," celetuk Eza tiba-tiba. "Ez? Katanya best friend?" balas Rendi dengan wajah sok sedih. Leo lalu sedikit mendekatkan kursinya kepada Rendi, tangan cowok itu lalu terulur penepuk pundak Rendi beberapa kali. "Sabar boy, masih katanya kan? Banyak orang bisa berkata tapi belum tentu juga bisa melakukan," ujar Leo. Rendi tersemyum miris, dia menjauhkan tangan Leo dari pundaknya. "Asem ye?" "Emangnya siapa yang mau temenan sama cowok nggak punya malu kayak lo. Mana ada cowok sini yang berani buka baju di tengah lapangan? Sixpack juga enggak." Hampir saja Leo menyemburkan liurnya ke wajah Rendi karena kesusahan menahan tawa. "Kan gue cuma gerah, emang salah?" tanya Rendi polos. "Yah salahlah Malih! Asal lo tau ya nyet, cuma elo yang berani kayak gitu. Selain lo nggak pernah tuh ada sejarahnya cowok Pelita telanjang d**a di tengah lapangan." "Mana banyak cewek cheers pada latihan juga, urat malu lo putus atau bagaimana mon maap?" sahut Eza. "Kalau giliran mojokin gue aja lo banyak omong. Dasar mulut-mulut julit netijen lo. Yakin gue kalau admin lambe turah tuh aslinya elo. Ngaku cepet!" balas Rendi kesal. Pluk! Refleks Eza melempar bulpoin yang kebetulan ada di atas mejanya tepat mengenai jidat Rendi. "Admin lambe turah your head!" umpat Eza. "Tapi Za, ada baiknya loh si Rendi kayak gitu. Lihat aja endors jalan sampai sekarang karena siapa kalau nggak karena keviralan dia yang nular ke kita?" ujar Leo yang sangat ada benarnya. Mereka lalu terdiam mengingat masa itu masih kelas X dan mereka juga masih berstatus murid baru. Kelas mereka tengah ada kelas olahraga saat itu, karena cuaca yang panas sekaligus guru yang tak main-main memberi tugas. Rendi yang ketika itu sudah sangat kegerahan akut langsung melepas kaos olahraganya di tengah lapangan, padahal tugas untuk memenangkan permainan basket belum selesai, karena ulahnya yang bermain basket tanpa baju itulah yang membuat Rendi viral bersama Eza dan juga Leo. Mereka jadi dikenal di SMA Pelita saat itu juga. Followers mereka yang awalnya hanya beberapa ratus kini sudah menginjak angka puluhan ribu, bahkan followers Eza sudah menyentuh ratusan ribu, keren bukan? "Tapi gue masih nggak terima, masa gue yang bantu kalian ikut terkenal tapi yang lebih fames sekarang cuma Eza, gue ini apa kabar? Dari seminggu lalu sampai sekarang followers gue cuma naik seratus biji bayangin aja? Apa ketampanan gue udah berkurang?" "Eh Malih! Sadar diri, lo sama Eza kagak ada apa-apanya!" balas Leo. "Gue jadi curiga, apa jangan-jangan followers gue salama ini hanya buangan dari fans Eza yang poteq hatinya?" "Bisa jadi sih," sahut Eza. Rendi menatap Eza kesal. "Diem lo es!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD