Diandra berada di rumah Levania dan Ageng sampai menjelang siang, sehingga wanita itu memutuskan untuk pulang ketika siang hari telah tiba. Sepeninggal Diandra, Levania bingung ingin melakukan apa untuk mengisi kekosongan harinya ini. Ingin pergi ke luar, ia sungguh mager, tetapi jika ia tidak keluar, ia bingung ingin melakukan apa. Hingga tiba-tiba saja ada sebuah pesan yang dikirimkan oleh Ageng, yang mengatakan kalau pria itu akan pulang siang ini untuk makan siang bersama. Hal itu entah mengapa membuat tersenyum tersenyum, wanita itu pun berjalan menuju dapur. Levania mengecek sayuran yang ada di kulkas, ternyata bahan makanan hampir habis dan tinggal udang saja. Akhirnya Levania memutuskan untuk memasak udang asam manis saja.
"Akhirnya siap juga, tinggal nunggu Ageng pulang," ucap Levania tersenyum begitu manis saat ia selesai menghidangkan hasil masakannya.
Levania akhirnya memilih menunggu Ageng di ruang keluarga, wanita itu menyalakan televisi dan menonton drama korea yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Hingga tiba-tiba saja terdengar bel pertanda ada tamu, Levania mengernyit mendengarnya.
"Kalau itu Ageng mana mungkin dia bunyiin bel, biasanya dia langsung masuk karena pintu sengaja nggak dikunci," gumam Levania.
"Apa ada tamu ya?" Akhirnya Levania berjalan menuju pintu rumah.
"Siapa ya?" tanya Levania sambil membuka pintu.
Saat pintu terbuka, Levania terkejut melihat keberadaan seorang wanita yang merupakan tetangga baru rumahnya dan Ageng. Wajah Levania yang tadi tersenyum tulus pun berubah menjadi senyum paksa ketika melihat siapa tamu itu, yang tak lain dan bukan adalah Gendis.
"Hai, Nia." Dengan sok akrab, Gendis menyapa Levania.
"Oh, halo," sapa balik Levania penuh rasa terpaksa.
"Ada apa ya bertamu di siang hari seperti ini?" tanya Levania seakan menegaskan kalau kehadiran Gendis begitu mengganggu siang hari yang terik ini.
"Aku cuma mau ngasih ini, tadi mamaku bawa banyak makanan. Aku nggak akan habis kalau makan sendiri, eh aku ingat kalau punya tetangga. Jadi aku bawakan ini untuk kamu dan Ageng," ucap Gendis sambil memberikan kotak berisi makanan yang dibuat oleh mamanya.
"Eum, nggak usah repot-repot. Aku tadi sudah masak dan kebetulan—"
"Ada Gendis ternyata di sini? Apa kabar, Gen? Betah tinggal di lingkungan sini?" tanya Ageng yang tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Gendis.
"Hai, Ageng!" Saat melihat keberadaan Ageng, Gendis ceria luar biasa.
"Aku betah banget di sini, lingkungannya begitu aman. Suasananya juga bikin nyaman, apalagi tetangga-tetangganya super baik," ucap Gendis.
"Syukurlah kalau begitu." Ageng tersenyum ke arah Gendis, tak melihat kalau ada sosok wanita menyerupai macan yang kini menatapnya tajam.
"Kamu kapan pulang?" tanya Levania pada Ageng, sengaja agar dua manusia itu tidak terlibat obrolan yang lebih lanjut karena ia tak suka mendengar mereka mengobrol lama-lama.
"Baru saja, saat kalian mengobrol tadi. Memangnya kamu nggak dengar suara mobilku?" Levania hanya menggelengkan kepalanya dan itu membuat Ageng terkekeh pelan.
"Kamu terlalu gembira ngobrol sama Gendis ya sampai-sampai kedatangan aku aja nggak sadar gini?" Mata Levania melotot mendengarnya, enak saja ia dikira bahagia! Yang ada ia muak lama-lama bicara dengan Gendis yang kelihatannya kalah wanita ini suka caper.
"Nggak, kamu—"
"Kok tamunya dibiarin di luar gini? Harusnya disuruh masuk dong, Nia. Ayo, Gendis, masuk!" ajak Ageng berjalan memasuki rumahnya melewati tubuh Levania yang refleks menyingkir ketika Ageng lewat.
"Iya." Gendis berjalan melewati tubuh Levania dan memasuki rumah wanita itu untuk menyusul Ageng, Levania yang melihat itu mengernyit tak suka. Tak melihatkah Gendis kalau dirinya ada di sini? Benar-benar menyebalkan!
Akhirnya Levania menyusul mereka untuk masuk, ternyata mereka sudah duduk di sofa ruang tamu. Dengan perasaan kesal, Levania memilih duduk di samping Ageng.
"Oh ya, ada apa kamu ke sini, Gen?" tanya Ageng.
"Aku bawa ini untuk kalian, ini masakan Mamaku, dijamin enak. Kebetulan tadi Mamaku bawanya banyak, karena takut nggak habis aku bagi-bagi ke tetangga dekat termasuk kalian." Gendis menaruh kotak berisi masakan mamanya di atas meja.
"Wah, terima kasih ya. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot begitu," ucap Ageng.
"Sama sekali nggak repot kok, aku malah senang kalau bisa bagi-bagi. Tadi Mama juga berpesan untuk bagi-bagi ke tetangga." Gendis tersenyum begitu manis.
"Kamu sudah makan?" tanya Ageng tiba-tiba.
Levania yang mendengar pertanyaan itu terkejut, ia melotot ke arah Ageng yang bahkan tak melihatnya. Matanya fokus menatap Gendis, menunggu jawaban wanita itu.
"Belum." Gendis menggelengkan kepalanya.
"Kebetulan kalau begitu, aku dan Nia juga belum makan. Kamu mau makan siang bersama kami?" Levania mengumpat dalam hatinya saat Ageng menawarkan itu, ia berhitung dalam hati kalau Gendis tidak akan menolak tawaran itu.
"Boleh kalau nggak ngerepotin kalian," ucap Gendis.
Nah! Baru hitungan ke dua, Gendis sudah langsung menerima. Padahal, ia berpikir kalau mungkin saja Ageng hanya basa-basi menawarkan itu, tetapi Gendis langsung mau. Dasar tidak tahu malu! Rasanya Levania ingin memaki Gendis saat ini juga.
"Kamu tadi masak banyak 'kan, Nia?" tanya Ageng yang kini menatap Levania.
"Iya."
"Ayo, kita ke ruang makan." Dan lagi-lagi, Levania didahului oleh Gendis. Wanita itu berjalan di belakang Ageng sambil membawa kotak yang niatnya diberikan oleh pasangan itu, membuat dirinya berada paling belakang. Bukankah ini kebalik? Seharusnya ia yang ada di belakang Ageng karena ia adalah istri Ageng, mengapa Gendis seakan ingin menguasai posisinya? Ada Gendis di sini entah mengapa perasaannya menjadi sering kesal.
Hingga mereka bertiga akhirnya tiba juga di ruang makan, Levania langsung mengambil tempat di samping Ageng dengan langkah cepatnya sebelum si Gandus alias Gendis itu kembali merebut kursinya. Levania hanya tersenyum saat Gendis menatapnya, awalnya Gendis terlihat tidak suka, tetapi kemudian wanita itu tersenyum dan memilih duduk di depan Ageng.
"Wah, kamu masak udang asam manis ya," ucap Ageng dengan mata yang berbinar-binar ketika melihat masakan yang terhidang di atas meja.
"Iya, kamu harus cobain." Levania tersenyum, ia jadi ingat kalau Ageng memang suka sekali dengan udang.
"Wah, kok kebetulan sekali ya. Masakan yang aku bawa juga udang asam manis," ucap Gendis sambil membuka kotak yang ia bawa.
Dari warna makanannya, terlihat jelas kalau masakan yang dibawa Gendis lebih lezat daripada yang dibuat oleh Levania. Udang asam manis milik Gendis warnanya begitu cerah membuat nafsu makan meningkat bagi yang melihatnya. Lain halnya dengan yang dibuat Levania, warnanya cenderung pucat dan tak menarik.
Levania jadi minder saat melihat itu, ia yakin sekali kalau Ageng akan lebih menyukai masakan yang dibawa Gendis daripada masakannya yang tak ada apa-apanya. Ia 'kan baru saja belajar masak, sedangkan mama Gendis sudah dipastikan jago masak.
"Cobain ini, Geng," ucap Gendis yang langsung menaruh udang asam manis yang ia bawa ke dalam piring Ageng.
"Aku coba ya." Gendis mengangguk dan membiarkan Ageng mencoba masakannya sambil tersenyum begitu manis.
Levania yang melihat itu hanya diam saja, ia melihat hasil masakannya yang terabaikan. Entah mengapa hatinya sedih ketika Ageng lebih memperhatikan Gendis daripada dirinya, padahal ia lebih dulu mengenal Ageng. Namun, ia seakan tak dilihat oleh Ageng yang terus-menerus menanggapi Gendis.
Ageng melirik dari ekor matanya kalau saat ini Levania sedang sedih, ia peka dengan keadaan sekitarnya hingga akhirnya pria itu menarik piring berisi udang asam manis buatan istrinya membuat Levania refleks menoleh ke arah Ageng. Tanpa kata, Ageng langsung memakan masakan Levania. Meskipun sebenarnya lebih lezat masakan yang dibawa oleh Gendis, tetapi untuk menghargai istrinya dan ingin agar wanita itu tak bersedih lagi, Ageng lebih memilih menikmati masakan Levania.
"Eum, enak, rasanya pas di lidah aku. Aku lebih suka yang ini, maaf ya, Gendis, ternyata masakan istriku lebih cocok dilidahku, tetapi masakan Mama kamu enak kok." Mendengar perkataan Ageng, Levania tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Entah mengapa hatinya merasa lega mendengar perkataan Ageng yang ternyata pria itu lebih menyukai masakannya yang walaupun tidak sebanding dengan masakan mamanya Gendis.
"Nggak apa-apa, Ageng, selera orang 'kan beda-beda. Aku malah senang kamu bilang begitu, itu berarti kamu sangat menghargai istri kamu yang udah capek-capek masak. Kalau tahu Nia masak udang asam manis, aku nggak akan bawain ini untuk kalian. Aku akan bawa masakan yang lain, tetapi tadi berhubung aku ingatnya kamu suka sama udang asam manis. Makanya aku bawain untuk kalian," ucap Gendis panjang kali lebar.
Levania menatap Gendis tak suka ketika wanita itu mengatakan hal demikian, sepertinya Gendis sengaja ingin membuat hatinya panas. Apa-apa kata-katanya tadi? Mengapa wanita itu bisa tahu kalau Ageng suka udang asam manis? Bukankah mereka baru kenal belum lama ini? Terlihat sekali kalau Gendis begitu caper dengan Ageng dan Levania benar-benar tidak suka dengan kehadiran Gendis di sini.
"Sekali lagi maaf ya dan makasih kamu udah repot-repot bawain untuk kami. Ayo, kamu makan, kamu juga harus cobain udang asam manis buatan istri aku." Hati Levania berdesir ketika Ageng menyebut dirinya sebagai istri pria itu, entah mengapa hatinya merasa senang. Padahal, awalnya ia tidak suka dengan statusnya yang jadi istri Ageng, tetapi seiring berjalannya waktu, sepertinya Levania berubah pikiran.
"Eum, enak kok. Walaupun rasa masakannya standar, tapi lumayan lah." Levania jelas tersinggung dengan perkataan Gendis ketika wanita itu mengomentari masakannya.
"Sepertinya kamu sangat sayang sama istri kamu ya, Geng? Sampai-sampai makanan yang biasa aja kamu bilang enak. Aku maklum sih, soalnya mungkin kamu takut Nia marah-marah kalau kamu bicara jujur tentang rasa masakannya." Tangan Levania mengepal kuat, ia menahan dirinya untuk tidak meninju wajah menyebalkan Gendis saat ini.
"Tapi, menurutku kamu nggak boleh gitu, apapun hasilnya kamu harus bicara jujur supaya nantinya kesalahan itu bisa diperbaiki. Maaf kalau kata-kataku melukai kamu ya, Nia, tetapi aku cuma mau bicara jujur. Untuk masak, kamu harus belajar dari Ageng. Masakan Ageng itu enak banget, masa kamu kalah sama suami kamu?" Gendis sepertinya sengaja ingin menyindir Levania yang sudah naik pitam.
"Iya, nggak apa-apa kok. Aku ngerti apa yang kamu omongin. Maaf kalau masakannya kurang pas di lidah karena memang aku ini baru belajar masak. Aku terlalu sering ngandelin Ageng sejak dulu sih, dia memang jago masak dari dulu. Makanya aku malah sering bergantung sama dia dan jadinya malas belajar masak sendiri," balas Levania sengaja ingin mengatakan kalau ia dan Ageng sudah kenal dari lama sekali.
"Ayo dimakan, walaupun rasanya nggak seenak buatan Mama kamu tetapi aku menjalin kalau gizi dari udangnya nggak akan berkurang kok." Levania tersenyum dan mempersilakan Gendis untuk makan.
Hingga akhirnya ketiganya pun makan dalam diam, sesekali Gendis melirik ke arah Levania yang makan dengan tenang. Jelas saja tenang karena Levania sudah merasa senang karena tadi dibela oleh Ageng, sedangkan Gendis mungkin sedikit kesal karena ia sudah terang-terangan menyatakan keburukan Levania, tetapi Ageng masih tetap membelanya. Gendis berpamitan setelah ia selesai makan, membuat Levania senang karena pengganggu itu pergi dari rumah mereka.
Sepeninggal Gendis, saat ini Levania dan Ageng sedang duduk di ruang keluarga. Ageng sedang memangku laptopnya dengan Levania yang berada di sampingnya, Ageng mengatakan kalau ada pekerjaan yang urgent sehingga harus ia selesaikan saat ini juga.
Tiba-tiba saja Levania jadi teringat pembicaraannya dengan Diandra beberapa jam yang lalu, apakah ia harus menanyakan ini pada Ageng?
"Kalau lo nggak mau inisiatif, bisa-bisa nanti suami lo diambil cewek lain yang mau ngasih itu ke dia lagi." Ucapan Diandra selalu terngiang di kepalanya, hingga membuat Levania pusing.
"Eum, Ageng ...." panggil Levania membuat Ageng menoleh sekilas ke arah Levania.
"Ada apa?" tanya Ageng yang kemudian kembali fokus ke layar laptopnya.
"Aku mau nanya sesuatu sama kamu, tapi kamu harus jawab dengan jujur." Levania terlihat begitu gugup, semua itu nampak jelas karena suaranya yang sedikit bergetar.
"Mau nanya apa?" tanya Ageng.
"Eum, kita 'kan sering tidur bersama bahkan di satu ranjang yang sama. Cuma ada guling yang menjadi pemisah di antara kita, kamu pernah kepikiran nggak sih buat melakukan itu sama aku?" Mendengar pertanyaan Levania membuat Ageng terkejut, merasa heran karena tiba-tiba saja Levania bertanya hal ini.
"Kenapa kamu tiba-tiba nanya hal ini?"
"Y-ya nggak apa-apa, jawab aja!" Levania setengah mendesak Ageng.
"Gimana aku mau jawab kalau aku aja nggak ngerti sama pertanyaan kamu."
"Masa nggak ngerti sih?" Levania mendengkus keras, hilang sudah rasa gugupnya. Tergantikan dengan kekesalannya karena ia sudah penasaran dengan jawaban Ageng, tetapi pria itu malah tidak mengerti.
"Eum, gini ya, Ageng. Kita ini udah sama-sama dewasa, aku tahu kalau kamu itu pria normal yang punya nafsu. Ini menurut artikel yang aku baca loh ya, kalau biasanya cowok itu bakalan terangsang kalau dia dekat sama cewek." Menahan rasa malunya, Levania menanyakan hal itu agar ia tahu bagaimana jawaban Ageng.
"Aku nggak mungkin ngerasain hal itu sama kamu, kamu udah pernah bilang kalau kita ini sahabat. Mana mungkin aku merasakan hal itu pada sahabatku sendiri, kamu nggak usah khawatir tentang itu. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu," ucap Ageng.
Ageng sengaja berbohong karena ia tak ingin Levania tahu perasaannya, lagipula mana mungkin ia berkata dengan jujur karena ia hal yang memalukan.
Entah mengapa saat mendengar jawaban Ageng, bukannya merasa tenang atau leg Levania justru merasa dejavu. Kata-kata yang Ageng lontarkan sama seperti perkataannya beberapa hari yang lalu dan entah mengapa saat mendengarnya dari Ageng, hatinya terasa sakit.