Taman yang begitu indah, tergelar karpet berwarna biru tua, sepasang kekasih tengah duduk di atasnya dengan tawa menyelimuti mereka.
Sesekali sepasang kekasih itu saling mengelitik, saking gelinya mereka berguling di karpet tersebut dengan tawa.
Taman itu menjadi saksi cinta mereka yang bersemi. Seolah dunia milik mereka berdua. Cinta mereka sempurna, dua hati yang akhirnya melebur diatas perbedaan.
Cinta mereka pun tulus, mereka saling menerima, saling percaya dan saling memberi dukungan tanpa syarat.
Namun, cinta mereka dibuat cacat oleh keegoisan Nata. Yang mengakhiri hubungan mereka dengan alasan uang dan semacamnya yang tak dapat diberikan oleh Aeron.
Nata terus mengingat kenangan indah itu dan akhirnya lamunannya kembali buyar ketika Ken memeluknya dari belakang.
“Ma, Ken lapar. Ken mau burger.”
“Sayang, dokter kan melarang untuk makan makanan olahan tepung. Nanti penyakit Ken kambuh, gimana?” Nata mengelus rambut putranya.
Ya. Ken memang memiliki penyakit bawaan lahir. Jantung Ken lemah, pernafasannya juga tidak sempurna. Jadi, Ken harus bolak-balik rumah sakit untuk di rawat.
“Tapi, Ma, Ken pengen banget.”
“Ken, tapi mama—”
“Ma, kalau Ken mati penasaran gimana? Setidaknya Ken bisa makan makanan yang Ken mau. Sebelum Ken tiada,” rengeknya.
“Ken kok ngomong kayak gitu sih kalau Ken tiada, mama sama siapa dong? Mama hanya punya Ken di dunia ini, jadi Ken harus sembuh dan Ken harus berumur panjang. Ya udah. Nanti mama buatin, ya. Tapi kali ini aja, nanti mama panggil kalau burgernya udah jadi.”
Ken mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan sang Mama.
Terdengar notif dari ponselnya. Nata segera membuka pesan tersebut dan melihat ada email berdiri ia diterima bekerja di perusahaan yang ia lamar dan kehadirannya ditunggu sampai hari Senin besok. Alih-alih bahagia, Nata malah terlihat sedih.
“Nat,” panggilan terdengar.
Nata berbalik dan melihat Ola—sahabatnya—datang dengan wajah masam.
“Ada apa dengan wajahmu, La? Kayak belum di setrika aja.” Nata memandang Ola yang kini duduk di sofa tunggal dengan kaki dinaikkan di atas meja.
“Aku lagi sedih, mau nggak mau aku harus mau, tapi disisi lain aku bener-bener nggak suka dan nggak pengen balik kesana. Karena doi aku di Surabaya kan dan aku juga udah nyaman banget disini, terlebih lagi aku nggak bisa pisah dari kamu dan juga Ken,” keluh Ola.
“Kamu ngomong apa sih, La? Emang siapa yang suruh kamu pisah dengan kami?”
“Hari ini itu aku dapat panggilan, manajer aku menyuruh aku pindah tugas di Jakarta dan ini sudah menjadi keputusan yang wajib aku terima, kalau nggak aku terima aku harus keluar dari perusahaan, setelah akhirnya aku pindah ke Surabaya, aku malah harus balik ke Jakarta lagi.”
“Apa? Kamu dimutasi balik di Jakarta?”
“Yap. Aku harus gimana dong?”
“Ya kamu harus terima.”
“Ya kan? Aku kan udah kerja 3 tahun di perusahaan ini. Gak mau lah aku sampai keluar dan kembali jadi pengangguran. Ahh gak mau aku,” rengek Ola.
“Aku juga sebenarnya udah dapat kerja.”
“Apa? Serius?” Ola lalu kegirangan dan bangkit dari duduknya dan bergeol didepan Nata.
Nata hanya tertawa melihat tingkah sahabatnya.
“Ada apa? Kok kamu gak kelihatan seneng sih? Kan kamu udah lama nyari kerja. Dan akhirnya dapat, ‘kan?”
“Iya. Aku gak nyangka banget aku dapat panggilan kerja dengan penempatan di Jakarta.”
“What? Kamu dapat panggilan kerja di Jakarta? Whats wrong, Nat? Kita bareng kerja dan penempatan di Jakarta? Ada apa ini? Kenapa seolah dunia menyuruh kita balik ke sana? Kenapa coba? Ada apa sih ini?” Ola menghempaskan kembali dirinya ke sofa tunggal.
“Aku gak bisa kerja di Jakarta, La. Aku akan menolak.”
“Kamu jangan egois, Nat. Kamu harus ingat, kamu butuh uang untuk pengobatan Ken. Selama ini kamu sudah berusaha agar kamu bisa mengumpulkan uang untuk operasi Ken. Jika kamu kerja, itu bisa banyak membantu. Lagian, Petir pernah mengajakmu bertemu dengan dokter hebat di Jakarta, ‘kan? Anggap saja balik ke Jakarta itu demi Ken. Demi kesembuhannya. Jika Ken bertemu dengan dokter itu, Ken bisa aja sembuh. Dan semua itu butuh apa? Uang, ‘kan? Kamu sendiri yang menolak uang dari aku dan dari Petir. Jadi, mau nggak mau kamu harus usaha sendiri. Lupakan masa lalu, Nat. Lagian Jakarta kan luas, nggak mungkin deh kamu ketemu sama dia.”
Nata terdiam. Apa yang dikatakan Ola memang sepenuhnya benar. Ini demi Ken, ia tidak mau kehilangan Ken, setelah cari pekerjaan sana sini, akhirnya Nata mendapatkan pekerjaan, tidak mungkin Nata egois hanya memikirkan diri sendiri.
***
Tak butuh waktu lama, Nata, Ken, Petir juga Ola tiba di Jakarta. Petir langsung menunjukkan rumah pribadinya yang bisa menjadi tempat Nata dan Ken tinggal, namun Nata menolak niat baik Petir.
Nata malah memilih tinggal di kontrakan kecil bersama Ken dan Ola. Karena Ola juga belum mendapatkan tempat tinggal.
Setelah selesai pindahan, Petir langsung pamit pulang, Petir tetap harus ke Surabaya sesekali untuk mengecek pekerjaan.
Nata menemani Petir sampai di depan gang kontrakannya karena mobil tak bisa masuk, jadi mereka berjalan sampai didepan. Petir langsung pamit pulang dan naik ke mobilnya.
“Aku benar-benar hanya bisa mengucapkan terima kasih, Petir. Kamu sudah baik sama aku dan Ken.”
“Sudah lah. Itu lah gunanya aku ada di hidup kalian.” Petir tersenyum. “Aku akan sesering mungkin mampir.”
Nata mengangguk. Petir lalu menginjak pedal gas dan meninggalkan Nata yang saat ini tengah melambaikan tangannya.
Nata tersenyum, ia bersyukur mendapatkan perhatian dari orang-orang terdekatnya.
Antara bumi dan langit, kompleks di depan gang adalah kompleks elit yang rata-rata bangunannya gedongan, sementara gang tempatnya tinggal, hanya lah tempat kumuh yang diisi oleh orang-orang yang jauh dari kata sederhana.
“Ma, Papa udah pulang?” tanya Ken.
“Ken, kenapa keluar dari gang, Sayang?”
“Ken mau jajan, Ma. Kata orang di sini, ada swalayan di depan gang. Jadi, Ken ke sini deh.”
“Ya udah ayo mama antar ke swalayan depan sana.”
Ken mengangguk, mereka tiba di swalayan yang tak jauh dari gang, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang yang berhasil membuatnya spot jantung.
Nata lalu berbalik cepat agar tak sampai terlihat. Namun, Nata lupa jika Ken sudah terlepas dari genggamannya dan sudah ke toko itu.
Nata tak tahu harus bagaimana. Mengapa ia bisa bertemu dengan orang itu? Mengapa Nata harus bertemu di hari pertamanya berada di Jakarta. Kata Ola, tidak mungkin mereka bertemu karena Jakarta luas. Ternyata tak seluas itu.
“Mama, Ken mau ini,” teriak Ken.
Tak butuh waktu lama. Ola datang.
“Aduh syukurlah, aku mencari-cari Ken, aku pikir Ken pergi bukan sama kamu.” Ola mendesah napas halus.
“Ola, kamu temui Ken di sana. Aku mau pulang. Tolong aku.” Nata lalu berjalan cepat meninggalkan Ola.