Catatan No. XIII : “Penyihir Putih”

1286 Words
“Kubunuh kalian!” jerit Nida kalap. Amarah sang raja memuncak tak tertahankan. Sesuatu dalam dirinya seakan pecah. Berikutnya, tercipta semacam letupan dinding energi menyebar ke segala penjuru dengan Nida sebagai pusatnya. Empasan gelombang kejut terlihat menembus segala sesuatu, bahkan melewati kaca tak terhancurkan yang selama ini menghalangi. Orang-orang di dalam sana sontak diam mematung. Pikiran mereka dikuasai panik. Semuanya menoleh ke arah Nida dengan ekspresi kalut. Si penjagal bahkan berubah lemas. Lengannya melepas tubuh Maria hingga gadis itu menubruk lantai seperti boneka. Lengannya tergolek jatuh. Napas Nida tertahan seketika. Paru-parunya berkontraksi, menjerit sekuat tenaga mengeluarkan frustrasi disertai amarah. Raungan pilu menggema hebat memenuhi udara. Gelombang suara itu mencipta energi kinetik berdaya hancur tinggi. Kaca tangguh tadi pecah begitu saja, diiringi dengan embusan angin bak sapuan angin topan. Suara Nida terdengar seperti campuran manusia dan seekor singa perkasa. Salah seorang di perkumpulan itu bersumpah, jeritan Nida bahkan lebih menyeramkan dari sesosok Godzilla. Sekujur tubuh Nida mulai menggelap, seakan cahaya lampu tak lagi memantul di sana. Berikutnya, lima buah kepala jatuh begitu saja menuju lantai. Amis darah memancar tinggi hingga turun selayaknya air hujan. Semua orang terkesiap, menatap bilah pedang tajam mengacung angkuh. Keberadaan Nida berpindah begitu saja hingga kini berada di tengah-tengah kumpulan. Tak butuh waktu lebih dari tiga detik bagi pria itu untuk mengubah semua orang yang ada di sana menjadi potongan daging cincang. “Ya tuhan, Nida?!” Celine menampakkan diri di Lorong luar. Sorot mata bengis sang raja kemudian terarah kepada Celine. Detik itu, Celine bersumpah, ia seakan melihat seluruh kenangan hidupnya berputar cepat dalam satu detik saja. Bulu kuduknya bergidik, menyadari niat membunuh begitu menyengat meneror mentalnya. Tanpa diduga, Nida menyerangnya entah karena suatu alasan. Dia terlihat tak menguasai nalar dan logika. Dalam gerak refleks, beruntung Celine sempat mencipta sihir perisai tak kasat mata. Jika tidak, tubuhnya saat ini mungkin sudah terbelah dengan sempurna. Pun begitu, saat ini ia terpental keras setelah menerima hantaman energi kinetik dari ayunan pedang Nida. Ruang antara perisai mistis dan tubuhnya seakan berfungsi sebagai pegas yang menyerap sebagian entakkan. Gadis itu terjerembap menuju sudut lorong satunya, letih tak berdaya, merintih kesakitan. “Tidak mungkin… Griever?” ucap gadis itu lirih. Disebut Griever, sejatinya aura yang menguasai Nida adalah energi murni roh-roh kuno leluhur di planetnya. Kekuatan misterius yang menjadikan Nida, sebagai satu-satunya sosok yang pantas memimpin Exiastgardsun. Akan tetapi, sekali mengaktifkannya, tak ada jaminan orang itu akan bisa mengembalikan kewarasan sebagai manusia normal. Guncangan emosi hebat sering kali menjadi pemicu dari kebangkitannya. “… tidak…” Adiw terlihat lemas, menyadari kondisi Maria yang menggelinjang di lantai. Lehernya bersimbah darah dengan luka sayatan mengenaskan. Pria itu tak sedikit pun memedulikan Nida dan Celine. Seketika lengannya meraih Maria, membopong gadis itu untuk memberikan pertolongan. Maria tersedak oleh darahnya sendiri. Ia masih sadar, namun kehilangan banyak darah. Sempat Adiw memeriksa salah satu titik di leher Maria. Saluran Arterinya masih utuh. Maria masih memiliki kesempatan untuk bertahan hidup, hanya saja, dalam kondisi seperti ini, ia lebih mungkin meninggal karena kehabisan darah. Telapak tangannya ia tekan menutupi leher si gadis berambut biru, berusaha untuk menghentikan pendarahan hebat di sana. Di sisi lain, Celine sekuat tenaga berkelit dari tiap serangan Nida. Tidak— Pria di hadapannya bukanlah Nida. Monster ganas itu tak lebih dari seekor makhluk buas haus darah. Jarak Celine terpatri sekitar sepuluh meter dari posisi Nida. Akan tetapi, gadis itu sama sekali tak merasa aman. Lihat saja, satu ayunan horizontal dari Nida sanggup mengirim embusan energi Manna hingga termaterialisasi ke dalam bentuk serangan bilah tajam tak kasat mata. Celine menyadarinya tatkala tembok di kanan kiri hancur secara berurutan menuju posisinya. Sontak saja gadis itu berjongkok seraya mendekap kepalanya, menjerit ketakutan seraya bangunan tempatnya berada roboh secara perlahan. Tunggu dulu, bangunan? Detik itu, Celine tersadar, posisi saat ini sesungguhnya tidak lagi berada di lorong bawah tanah. Angin dari luar berembus kencang meniup rambutnya yang sepanjang bahu. Langit di tempat ini juga aneh sekali. Alih-alih biru menghias, Celine malah dibuat bingung oleh suasana temaram selayaknya di sore hari. Jangan bayangkan senjakala indah berwarna jingga. Nuansa sekitar malah terlihat angker dengan langit aneh semerah darah. Ada benda langit bertengger kokoh di angkasa, mengirim cahaya menuju daratan. Akan tetapi, sinarnya tidak cukup terang untuk bisa disebut sebagai matahari. Pun begitu, tidak serta merta seredup bulan di malam hari. Lalu, kenapa pula bintang-bintang terlihat jelas sekali? Satu lagi yang membuat Celine terperangah. Di salah satu sudut cakrawala, pandangan Celine menangkap sebuah daratan luas di balik atmosfer langit. Seperti planet kembaran bumi yang saling berdempetan satu sama lain. Sungguh, tempat ini benar-benar tak lazim. Raungan Nida kemudian menyadarkan Celine, menariknya dari lamunan beberapa saat. Telinga gadis itu juga menangkap sayup suara langkah dari salah satu sudut pepohonan, jumlahnya ada banyak sekali. Di kejauhan, muncul gerombolan makhluk tak tentu rupa. Ada kambing dengan wajah manusia, juga makhluk berbulu tebal seperti gorila. Celine bahkan menangkap sesosok anak kecil tanpa mengenakan celana. Tunggu dulu, anak kecil? Wajahnya malah terlihat seperti babi. “Makhluk apa itu..?” Napas Celine tertahan, bergidik ngeri kala menyadari makhluk-makhluk aneh itu bergerombol selayaknya pasukan hendak menyerang. Lihat! Ada makhluk melata seperti ular, namun bagian kepalanya berisikan wajah manusia. Rasa dingin kemudian menyergap dari tengkuk lehernya. Seketika itu Celine merasakan sumber marabahaya lain. Sontak saja ia menoleh. Benar! Masih ada Nida. Lihat saja, ia kembali menyerang lewat ledakan Manna jarak jauhnya. Celine harus menghindar. “Tak bisa!” Jangkauan ledakannya terlalu luas. Dinding energi itu akan meluluhlantakkan apa pun yang bisa dijangkau. Bagian pangkal tongkat sihir kemudian Celine hantamkan menuju tanah. Seketika itu muncul lingkaran sihir menyinari telapak kakinya. Dalam sekejap saja, posisi Celine berpindah tempat sejauh tiga puluh meter. Ia sengaja memosisikan diri di dekat Maria yang sedang sekarat. “Ukh…” Lutut Celine jatuh membentur lantai. Tubuhnya terasa lemas. Sihir teleportasi bukanlah sihir mudah. Bahkan ketika di Exiastgardsun pun, sihir bertipe spasial hanya bisa digunakan sekali saja, sebelum akhirnya sang pengguna akan roboh karena kehabisan Manna. “Hey, kau bisa sihir kan? Tolong sembuhkan Maria.” Adiw memelas. Pikirannya jelas dikuasai panik. Maria tak sanggup mengucap apa pun. Tenggorokannya terbuka, aliran udara dari paru-paru tak sanggup melewati pita suara untuk mencipta kata-kata. Jemarinya mencengkeram kerah lengan Celine, mengharap pertolongan seraya pipinya berlinang air mata. Detik itu, Celine baru tersadar akan betapa gawatnya kondisi Maria. Tanpa disuruh pun, ia sontak mempersiapkan diri memusatkan Manna yang tersisa. Jemarinya terbuka lebar, seakan hendak memberikan transfer energi tak kasat mata. “Practa bigi nar Tui gratia Iovis gratia sit… Cura!” Tubuh Maria perlahan ditutupi oleh semacam selubung tipis terbuat dari cahaya temaram. Denyut darah yang memuncrat perlahan terhenti. Jaringan tipis dari otot-otot di lehernya terlihat saling menganyam, dipaksa menutup seraya tiap selnya beregenerasi mencipta lapisan demi lapisan. Lengan Celine bergetar hebat. Napas gadis itu kian memburu. Mulutnya termengap-mengap berusaha menggapai oksigen di udara. Dia terlihat seperti habis berlari sprint sejauh 100 meter. Gadis itu merintih. Sekujur tubuhnya ngilu. Seisi kepala rasanya seperti diperas, seakan ribuan jarum menusuk dari segala sisi tiada henti. Sedikit saja ia kehilangan konsentrasi, detik itu bisa dipastikan ia akan roboh tak sadarkan diri. “Sedikit lagi…” lirih Celine. Luka itu menutup perlahan, seolah waktu berjalan mundur menuju saat ketika ujung pisau digoreskan. Aura semi transparan dari tubuh Maria kemudian lenyap. Sekujur tubuh Celine terasa pegal, lemas tak bisa digerakkan. Sulit baginya untuk sekadar menjaga keseimbangan. Gadis itu oleng, lalu ambruk hilang kesadaran. Untungnya, Adiw dengan sigap mendekap gadis itu agar kepalanya tak menubruk lantai. Apa pengobatan Celine berhasil? Maria terdiam. Posisi gadis berambut biru itu terduduk dengan sorot mata kosong. Lengannya kemudian bergerak memeriksa beberapa bagian leher. Sorot mata gadis itu menunjukkan rasa tidak percaya. Sedetik lalu ia masih meregang nyawa, didera rasa sakit tak tergambarkan. Sekarang, tak sedikit pun pedih ia rasakan. Sihir penyembuh ternyata luar biasa manfaatnya. Ia tak bisa melakukan itu. “Terima kasih, Celine.” Maria mengusap rambut gadis remaja di hadapannya. “Adiw, tolong jaga dia.” Pria itu mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD